Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keanehan Setelahnya
Sumi terdiam mendengar pertanyaan itu. Tentu saja ada hal yang sangat mengerikan terjadi, bahkan lebih mengerikan daripada sekadar penampakan arwah atau makhluk gaib yang ia takutkan sebelumnya.
Ia telah mengkhianati suaminya, merusak sumpah pernikahannya, dan jika sampai ketahuan, seluruh hidupnya akan hancur.
Alih-alih bercerita, Sumi hanya menggeleng. "Tidak ada, Mbok. Hanya ritual biasa."
"Alhamdulillaah," Mbok Sinem menghela napas lega. "Saya sempat khawatir, Ndoro. Malam tadi si Mbok mengantuk sekali, tidak seperti biasanya. Padahal si Mbok berniat menunggu sampai Ndoro kembali. Tanah sekitar sendang sepertinya memang aneh. Tidak pernah seumur-umur si Mbok bangun kesiangan."
Sumi menatap abdinya dengan penasaran. Mbok Sinem memang sudah tua, tapi daya tahannya sangat kuat.
Selama bertahun-tahun menjadi abdinya, ia tak pernah mengeluh lelah atau mengantuk saat bekerja.
Bahkan saat menunggui Sumi menemani melahirkan anak sepupunya yang berlangsung selama tiga hari tiga malam, Mbok Sinem tetap terjaga.
"Mungkin si Mbok terlalu lelah," ucap Sumi akhirnya. "Kita jangan langsung pulang ke rumah, Mbok. Kita pergi ke pasar dulu, lalu dari sana menyewa delman untuk pulang. Agar orang-orang tidak curiga."
Mbok Sinem mengangguk, lalu mengikuti majikannya keluar dari gubuk kecil itu. Selama perjalanan menuju pasar terdekat, ia tak bisa mengenyahkan rasa aneh yang mengganggunya.
Mbok Sinem yakin ada sesuatu yang terjadi malam itu, sesuatu yang tidak ingin diceritakan oleh majikannya.
Dan sebagai abdi yang setia, tugasnya adalah melindungi Ndoro Ayu—dari apapun, termasuk dari rahasia yang mungkin bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Martin kembali ke rumahnya saat matahari mulai naik lebih tinggi. Setelah menambatkan kudanya di kandang, ia masuk melalui pintu belakang, menghindari tatapan para pelayan yang mungkin bertanya-tanya mengapa tuan muda mereka terlihat begitu berantakan.
Perutnya terasa lapar luar biasa, seperti tidak makan selama berhari-hari. Tapi sebelum melahap sarapan, ia harus membersihkan diri.
Martin bergegas ke kamar mandi, melepaskan pakaiannya yang kotor oleh tanah dan lumut, dan membenamkan tubuhnya ke dalam bathtub berisi air hangat.
Saat air menyentuh kulitnya, bayangan malam yang ia lewatkan bersama Sumi kembali memenuhi benaknya.
Cara perempuan itu menyentuhnya, suara lembutnya yang berbisik di telinganya, dan bagaimana tubuh mereka menyatu. Martin memejamkan mata, menikmati kilasan-kilasan memori tersebut.
Selesai mandi, ia berdiri di depan cermin untuk berpakaian. Matanya tertuju pada lehernya yang pucat, kini dipenuhi tanda-tanda kemerahan yang mengingatkannya betapa liar Sumi semalam. Pemuda itu tersenyum, jemarinya menyentuh bekas-bekas itu dengan perlahan.
"Siapa sangka seorang Raden Ayu bisa begitu …," gumamnya pada bayangan di cermin. “Atau mereka memang hanya terlihat lemah lembut di luar saja?”
Sepanjang pagi itu, kepalanya dipenuhi dengan bayangan Sumi. Cara rambutnya tergerai basah, kulitnya yang berkilau di bawah cahaya bulan, dan matanya yang menatap Martin dengan hasrat yang tak tertahankan. Ia bahkan sudah merindukan perempuan itu, ingin kembali merasakan kehangatannya.
Martin menggeleng, mencoba mengingatkan dirinya sendiri bahwa Sumi adalah istri orang lain.
Ia tak seharusnya merasakan hal ini. Tapi hati kecilnya berbisik, "Istri yang segera diceraikan."
Dari apa yang ia dengar di pesta semalam, pernikahan Raden Mas Soedarsono dan Raden Ayu Sumi tidak akan bertahan lama.
Dengan pikiran itu, Martin bergegas ke ruang makan. Perutnya semakin memberontak minta diisi. Entah karena aktivitas malamnya atau hal lain, ia merasa jauh lebih lapar dari biasanya.
Di ruang makan, ia terkejut mendapati ibunya duduk di sana. Nyonya Van der Spoel adalah perempuan paruh baya yang anggun, dengan rambut pirang dihias uban yang selalu tertata rapi.
Namun pagi itu, ia tampak pucat dan lelah, tampak baru saja sembuh dari sakit. Ia menyesap teh dengan perlahan, matanya yang biru terkejut melihat putranya muncul dengan langkah tergesa.
"Martin?" Nyonya Van der Spoel meletakkan cangkirnya. "Di mana kau semalam? Penjaga bilang kau keluar larut malam."
Martin mengedikkan bahu dengan santai, mengambil tempat di seberang ibunya. "Hanya mencari udara segar. Aku tidak bisa tidur. Terlalu panas."
Ia menuangkan teh untuk dirinya sendiri, menghindari tatapan penuh selidik ibunya. Martin tak pernah pandai berbohong, terutama pada ibunya yang begitu peka.
"Dengan pakaian formal?" Nyonya Van der Spoel mengangkat alisnya. "Naryo bilang kau mengenakan setelan lengkap, seperti hendak ke pesta."
"Aku baru pulang dari rumah Karesidenan," jawab Martin cepat. "Lupa memberitahu Ibu. Ada jamuan makan malam di sana."
Nyonya Van der Spoel mengangguk pelan, meski matanya masih menyiratkan keraguan. "Dan kau baru pulang pagi ini?"
Martin menelan ludah. "Pestanya berakhir sangat larut. Aku berjalan-jalan sebentar setelahnya, menikmati udara malam. Tidak ada salahnya, bukan? Aku sudah dewasa."
Ibunya menatapnya lama, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik sikap santai putranya.
Akhirnya, ia hanya menghela napas. "Baiklah. Tapi lain kali beritahu lebih dulu jika kau akan pergi semalaman. Aku khawatir."
Martin mengangguk, lega ibunya tidak bertanya lebih jauh. Ia mulai mengisi piringnya dengan roti, telur, dan daging asap yang tersedia di meja.
Dalam diam, ia melahap sarapannya dengan nafsu yang luar biasa, seolah tidak makan selama berhari-hari.
"Kau sangat lapar," komentar ibunya, mengamati putranya dengan seksama.
"Mmm," Martin mengangguk tanpa mengangkat wajah dari piringnya. "Sangat lapar. Mungkin karena aktivitas semalam."
"Aktivitas apa?" tanya ibunya cepat.
Martin tersedak sedikit, menyadari kecerobohan kata-katanya. "Maksudku ... banyak berdansa di pesta."
Nyonya Van der Spoel tidak berkomentar lebih jauh, tapi matanya terus mengawasi putranya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Ada kekhawatiran di sana, campuran dengan kecurigaan dan sesuatu yang lebih dalam ... ketakutan.
"Martin," ucapnya akhirnya, suaranya merendah. "Kau tidak pergi ke arah Kedung Wulan, kan?"
Tangan Martin yang sedang mengiris daging terhenti. Ia mengangkat wajah, menatap ibunya dengan ekspresi yang ia usahakan tetap tenang.
"Tentu saja tidak, Mama. Kau tahu aku tidak pernah ke sana malam-malam."
Kebohongan itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Martin tak pernah menyangka akan berbohong pada ibunya seperti ini.
Tapi ada sesuatu tentang malam yang ia lewatkan bersama Sumi yang terasa terlalu pribadi, terlalu berbahaya untuk dibagi dengan siapa pun.
"Bagus," Nyonya Van der Spoel mengangguk, meski kekhawatiran tak juga lenyap dari matanya. "Jangan pernah pergi ke sana sendirian, Martin. Terutama di malam hari."
"Kenapa?" Martin mencoba terdengar santai, meski jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Apa yang terjadi pada Johanna?"
Wajah ibunya seketika berubah pucat. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan tangan gemetar.
"Jangan bahas itu, Martin. Sudah berulang kali kukatakan, kita tidak membicarakan Johanna atau Kedung Wulan di rumah ini."
"Tapi Mama, aku perlu tahu," desak Martin. "Sudah dua puluh tahun, lebih … dan aku bukan anak kecil lagi."
"Tidak!" suara ibunya meninggi, sesuatu yang sangat jarang terjadi. "Kita tidak akan membahasnya. Tidak sekarang, tidak nanti, dan tidak akan pernah!"
Dengan itu, Nyonya Van der Spoel bangkit dari kursinya dan bergegas meninggalkan ruang makan, meninggalkan putranya yang masih termangu dengan sejuta pertanyaan di benaknya.
Martin menatap punggung ibunya yang menghilang di balik pintu, kemudian beralih ke makanan di piringnya.
Entah kenapa, ia merasa lebih lapar dari sebelumnya. Tangannya bergerak cepat, melahap sisa makanan di piringnya, dan bahkan mengambil porsi kedua.
Sumi yang akhirnya tiba di pasar tampak semakin lemah. Tubuhnya yang biasanya tegap kini sedikit membungkuk, kakinya gemetar.
Ia berhenti di bawah sebuah pohon beringin besar di mana beberapa pedagang sarapan menggelar dagangannya di atas tikar pandan.
"Kita istirahat sebentar, Mbok," ucapnya pada Mbok Sinem, suaranya lemah. "Saya perlu makan sesuatu."
Sumi duduk di bangku panjang yang sudah berjamur dan menarik selendangnya hingga menutupi sebagian wajah, menjadikannya seperti kerudung.
Namun pakaiannya yang bagus—kebaya beludru dan kain batik berkualitas tinggi—tetap menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Beberapa pedagang dan pembeli segera mengenali sosoknya.
"Ndoro Ayu," sapa seorang pedagang buah dengan hormat. "Tumben sekali pagi-pagi sudah di pasar.”
Sumi hanya tersenyum tipis. “Iya, Mbok. Mau ke toko emas sambil melihat-lihat, pasarnya semakin bagus.”
Sumi diam, tidak berminat untuk bercakap lebih. Ia memesan semangkuk bubur sumsum dari pedagang terdekat, yang dengan cepat menyajikan pesanannya dalam wadah mangkuk tanah liat sederhana dengan sendok dari daun pisang yang dilipat.
Tangan Sumi gemetar saat menyendok bubur ke mulutnya. Ia makan dengan terburu-buru, tidak seperti kebiasaannya yang selalu menjaga etika makan seorang bangsawan—perlahan dan anggun.
Bubur putih lembut itu tandas dalam hitungan menit, namun perutnya masih terasa kosong. Rasanya ia bisa menghabiskan tiga mangkuk lagi, tapi Sumi menahan diri untuk tidak meminta tambah. Terlalu banyak makan di depan umum akan semakin menarik perhatian.
Mbok Sinem memperhatikan majikannya dengan heran. Selama bertahun-tahun melayani Sumi, ia tahu betul bahwa perempuan itu makan sangat sedikit. Dan tidak pernah sekalipun, ia melihat majikannya makan dengan terburu-buru seperti ini.
"Ndoro sangat lapar," komentar Mbok Sinem yang berdiri di belakangnya, mengipasi Sumi dengan kipas milik pedagang. "Jangan-jangan Ndoro ... isi?”
puaaanaaaskan
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri