Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang
“Syaratnya tidak sulit, Ndoro Ayu. Hanya harus seperti bulus,” ucap Ki Jayengrana dengan suaranya yang berat dan pelan.
Ia duduk bersila di atas tikar pandan, di dalam sebuah gubuk tua yang reot. Nyonya Sumi berdiri di hadapannya, anggun dengan kebaya beludru hitam dan kain batik sogan yang membalut tubuh rampingnya.
Wajahnya cantik dan tenang, namun dari matanya yang tajam terselip kegelisahan. Ia perempuan bangsawan dari trah Prawiratama, terpandang dan disegani. Namun satu hal mencemari nama baik keluarganya—ia tak kunjung memiliki keturunan.
"Bulus?" tanyanya lirih, seperti memastikan ia tak salah dengar.
Dukun itu mengangguk pelan. Ia mengusap janggutnya, lalu menatap perempuan di depannya tanpa sungkan.
Matanya yang keruh tapi tajam mengikuti setiap gerakan Sumi—leher jenjangnya, pinggul yang membulat, dan jemari halus yang memegang erat tas kecil mewah.
"Benar, Ndoro. Telur bulus dikubur dalam tanah, lalu menetas sendiri, tanpa bantuan sang induk. Anak-anaknya lahir dari kubur. Jika Ndoro ingin seorang anak, maka Ndoro pun harus melahirkan di tanah."
Angin mendesir, membuat lampu minyak bergoyang. Bayangan mereka bergerak-gerak di dinding bambu, seperti dua arwah yang sedang bernegosiasi dalam senyap.
"Apa lagi syaratnya?" tanya Sumi, kali ini dengan suara yang lebih tegas, meski ada gemetar halus di ujung nadanya.
"Syarat awal, Ndoro harus menelan telur bulus mentah-mentah, selama tujuh hari berturut-turut."
Pria tua itu berhenti sejenak, mengamati reaksi Sumi yang tampak jijik.
"Selanjutnya, Ndoro harus mandi di sendang tua selama tujuh malam berturut-turut, Tanpa busana, hanya dihiasi bunga kenanga, melati, dan mawar. Air sendang akan membuka jalan antara tubuh dan tanah."
Ia berhenti lagi, tersenyum saat Sumi mengangguk.
"Itu saja, mudah, bukan?”
“Tidak ada tumbal?” tanya Sumi ragu-ragu.
“Tidak ada. Seperti yang disebutkan di awal, Ndoro tidak mau ritual yang ada tumbalnya, to?”
"Dan anakku ... akan lahir di tanah?"
"Ya," jawab sang dukun. "Di liang yang akan Ndoro gali. Seperti bulus. Bukan di tempat tidur Ndoro yang mewah."
Perempuan ningrat itu menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap sang dukun penuh keraguan, namun juga harapan.
Mungkin ini satu-satunya cara. Ia sudah lelah dengan ramuan tabib, doa para pemuka agama, dan tatapan mengejek dari istri muda suaminya yang katanya mulai menunjukkan tanda mengandung.
"Aku setuju," ucap Sumi akhirnya.
Dukun itu mengangguk. Sebelum ritual dimulai, sang dukun mengambil lipatan kain hitam yang disimpan dalam wadah tanah liat, dan menyerahkannya kepada Sumi.
Kain itu berbau aneh—seperti campuran kemenyan, tanah basah, dan anyir. Dilipat rapi, namun saat disentuh, terasa seperti berlumpur dan licin.
"Ndoro Ayu balut tubuh Panjenengan dengan kemben dan jarik ini. Biarkan tubuh menyatu langsung dengan tanah, air, dan angin."
Sumi mengernyit pelan, menatap kain di tangannya. Tapi ia tidak bertanya, satu hal yang ia inginkan adalah lebih cepat menyelesaikan ritual pertama, dan lebih cepat meninggalkan tempat itu.
Di sudut gubuk, hanya disekat dinding anyaman bambu tipis dan tirai goni, terdapat bilik kecil yang merupakan tempat tidur Ki Jayengrana.
Sumi melangkah masuk ke sana dengan jijik, dan menutup tirainya perlahan. Di dalamnya gelap, hanya diterangi cahaya lampu minyak yang menerobos lubang-lubang di dinding.
Ia mulai melepaskan kebayanya. Lalu stagen yang membelit pinggangnya, satu demi satu dilucuti. Kulitnya yang hangat menggigil saat dibelai angin tipis dari sela dinging bambu.
Sementara itu, dari luar bilik, Ki Jayengrana pura-pura sibuk menyiapkan sesaji. Tapi matanya mengintip pada lubang di dinding anyaman bambu yang telah berjamur.
Ia tahu kapan harus berpaling jika terdengar suara langkah. Tapi sekarang sunyi. Sunyi dan menggoda.
Dari sela bambu itu, ia melihat—kilasan kulit kuning langsat, bahu yang terbuka, bayangan lekuk indah yang hanya terbingkai kemben tipis dan kain lusuh pemberiannya.
Ia menarik napas dalam-dalam, pelan, seperti mencicipi aroma tubuh perempuan yang dulu hanya bisa ia dengar lewat cerita orang-orang pasar tentang kecantikan garwo padmi dari keluarga Prawiratama.
Samar-samar wangi melati itu memenuhi indera penciumannya, menggugah hasrat yang semakin sulit ditahan.
Dengan cepat, sang dukun berbalik dan berpura-pura menabur bunga di atas tikar saat Sumi selesai melilitkan kain.
Tatapannya tenang, meski jantungnya masih berdebar oleh apa yang baru saja ia lihat.
Sumi keluar dari bilik. Tubuhnya kini terbungkus kemben dan jarik hitam basah yang melekat ke tubuh, membentuk siluet yang menggoda disorot cahaya lampu minyak.
Ki Jayengrana berdiri, mengambil telur bulus dari wadah tembikar yang diselimuti kain hitam.
"Ndoro Ayu… sudah siap, to?" Suaranya terdengar serak, di jari-jarinya yang panjang dan kurus, tergenggam sebutir telur bulus sebesar kepalan anak kecil.
Sumi menelan ludah. Ia duduk di atas tikar pandan yang sudah usang, di tengah gubuk tua itu, diterangi nyala lampu minyak yang redup.
"Telur ini," ucap sang dukun sambil menimang, "adalah pintu. Pintu untuk perjanjian yang tak bisa dibatalkan."
Ia berjalan mengelilingi Sumi tiga kali, menaburkan bunga kenanga, melati, mawar, dan tanah.
"Selama tujuh malam berturut-turut, Ndoro Ayu harus menelan satu telur bulus mentah. Tidak boleh dikunyah. Tidak boleh diludah. Langsung telan. Jika gagal … kita ulang dari awal."
Sumi mengangguk pelan, meski wajahnya memucat.
"Apa tak ada cara lain?" bisiknya, hampir tak terdengar.
Tidak ada, ini agar Ndoro ketularan subur seperti bulus."
Sumi memejamkan mata, mencoba menahan geli yang menyelinap dari tengkuknya ke lambung. Bayangan telur itu pecah di dalam mulut membuat perutnya mual, tapi … harga dirinya lebih besar dari rasa jijik itu.
Ia adalah garwo padmi—istri utama keluarga Prawiratama. Di luar sana, istri muda mulai menumbuhkan harapan pada rahimnya. Ia tak bisa dikalahkan oleh perempuan dari kampung yang hanya dimenangkan oleh gairah suaminya.
"Aku sanggupi."
Sang dukun mengangguk. Ia kemudian mulai menata sesajen: kemenyan, kembang telon, kendi tanah liat berisi air sendang, dan satu helai rambut milik Sumi sendiri yang telah ia gulung dan simpulkan dalam bentuk pusaran.
"Duduklah bersila, menghadap langit-langit. Buka mulut Ndoro lebar-lebar. Biarkan telur ini menyuburkan rahim Ndoro."
Ia mengangkat telur bulus itu tinggi-tinggi, berbisik dalam bahasa Jawa kuno. Lantunan mantranya mendayu.
Lalu menatap ke bawah, memandangi leher jenjang Sumi, mulutnya yang terbuka, dan dada yang naik turun dengan berat.
Tangannya menyentuh dagu Sumi—terlalu lama untuk sekadar membetulkan posisi agar lebih mendongak, terlalu pelan untuk dianggap wajar.
Telur di tangannya menggantung di atas mulut Sumi, hanya berjarak sejengkal. Ia memejamkan mata, lalu—"Krek!"
Kulit telur pecah tepat di atas bibir Sumi. Lendir kental dan kuning telur jatuh ke mulut terbuka itu.
Sumi tersentak, hampir tersedak, tapi ia menahan diri. Rahangnya kaku saat ia menelan bulat-bulat telur bulus pertama dari tujuh yang dijanjikan.
"Bagus …," gumam sang dukun. "Satu sudah masuk. Enam lagi menuju rahim."
Ia menyeka sisa lendir di ujung bibir sang nyonya dengan ujung jarinya, lalu menjilatnya diam-diam saat Sumi masih memejamkan mata.
"Ndoro Ayu harus kuat … tubuh panjenengan terlalu indah untuk disia-siakan oleh nasib.
Sumi membuka mata, ia tak bisa berkata apa-apa. Dadanya naik turun semakin berat, rasanya telur itu masih menyangkut di tenggorokannya, membuatnya sesak napas.
Jemarinya yang lentik membekap kuat mulutnya sendiri, menahan keinginan muntah yang semakin kuat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
hai kk thor aq mampir yaaa
2025-05-17
1
Tati st🍒🍒🍒
kalau cerita misteri,horor,otor yg satu ini memang g diragukan lagih,karya2nya selalu bagus
2025-05-04
1
ian
pembahasan yang sungguh senditif kalau bahas soal keturunan,
2025-05-03
1