“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
“Ah~”
Suara desahan mulai menggema di ruangan sempit—tempat para karyawan kantor membuang hajat.
Meski dalam keadaan terpaksa dan terancam, Puspa melenguh nikmat ketika pensil inul milik Pak Dika menghentak-hentak di liangnya yang sudah basah.
Pak Dika menatap punggung Puspa yang berkeringat—fokus menunggangi wanita itu dari belakang.
‘Dasar pelacur bodoh! Mau-maunya kau ku kadalin! Asal kau tau, video mesum mu itu sudah menyebar ke penjuru sosmed! Sebentar lagi, kau pun akan ditendang dari perusahaan ini. Rugi dong, kalau sampai aku tak sempat mencicipi tubuhmu! Hahaha!’ Tawa si pemilik perut buncit di dalam hati, pria yang pernah terancam di pecat karena melakukan pelecehan kepada cleaning servis di perusahaan itu.
Benda tumpul milik Pak Dika semakin cepat geraknya. Puspa sampai tak kuasa menahan suaranya, ruangan sempit itu kini amat berisik.
Hasrat tengah di puncak, tubuh hampir bergetar. Namun, aktivitas tak bermoral itu mendadak harus dihentikan ketika suara dentuman pintu menggema keras.
BUM!
“SIAPA DI DALAM?!” Suara berat bertanya di luar pintu. Pemilik suara itu terus menerus menggedor.
Puspa dan Pak Dika seketika membeku—wajah mereka pias.
Pak Dika buru-buru mencabut benda keramatnya dari sepetak sawah milik Puspa. Pria penuh peluh itu lekas mengenakan celananya kembali.
‘Sial! Padahal udah di ujung!’ maki Pak Dika di dalam hati.
...****************...
“Astaga, sudah saya katakan berkali-kali ... Saya tidak pernah mengirim email pengunduran diri tersebut. Sepertinya email saya masih tertaut di hp istri saya—mungkin ini kerjaan dia. Harap maklum lah, dia lagi salah paham sama video yang beredar. Masa’ Anda nggak ngerti-ngerti sih?!” Harry berkacak pinggang di depan salah satu tim HRD.
Pria itu masih tak menerima fakta bahwa kini dia bukan lagi karyawan dari perusahaan D’ Group.
“Maaf, Pak Harry. Permasalahan Anda dengan istri Anda, tidak ada hubungannya dengan perusahaan. Email pengunduran diri Anda ... masuk ke email resmi perusahaan, saya hanya menjalankan tugas sesuai dengan prosedur—membantu cetak surat pengunduran diri Anda dan langsung menyerahkan ke atasan. Dan beruntungnya, atasan kita pun langsung menyetujui dengan SENANG HATI.”
“Arrgghh! Masalahnya—”
“Apalagi, Anda sudah mencoreng nama perusahaan. Anda tau, kan? Kelakuan Anda yang melanggar norma asusila, akan berdampak buruk pada citra perusahaan.” Sang HRD cepat-cepat memotong ucapan Harry. “Jadi, perusahaan harap—Anda dapat menanggung konsekuensinya. Termasuk tidak lagi bekerja di D’ Group.”
“Haaaaaah! Asuuuu!” Harry menendang panel depan meja kerja HRD, kemudian ia lekas berbalik badan. Hendak meninggalkan ruangan yang terasa semakin pengap.
Namun, niatnya terpaksa urung ketika melihat Satpam perusahaan sedang menyeret paksa dua orang yang dikenalnya. Puspa dan Pak Dika.
Harry buru-buru menghampiri.
“Eh, Pak, kenapa mereka diseret-seret begini?!” tanya Harry. Ia berusaha melepaskan cengkraman tangan si satpam dari lengan Puspa. “Lepasin dulu, Pak!”
“Mas, toloooongin,” rengek Puspa. Ia mengguncang manja pergelangan tangan Harry.
“Tolong Anda jangan ikut campur, Pak Harry. Kedua orang ini kedapatan mesum di toilet wanita.”
Perkataan sang satpam terdengar seperti petir di siang hari. Tubuh Harry seketika mematung di tempat, kerongkongan nya serasa tercekat.
“A_pa? Me_sum?” Harry terbata-bata. “Maksud Anda, mereka berdua—sudah melakukan tindakan yang tidak senonoh?”
Harry mengalihkan pandangannya ke arah Puspa, kilat matanya menyala—memerah.
Kedua lutut Puspa sampai lemas bergetar. “Mas, ini nggak yang kayak kamu pikirin. Pak Dika mengancam aku, Mas! Aku terpaksa!”
“Terpaksa, tapi, kok kuat kali kau mendesah?! Udah kayak mau mintak nambah!” nyinyir Pak Satpam.
Bola mata Harry semakin membelalak marah, ia menepis tangan Puspa.
“Mas!” Buru-buru Puspa meraih kembali jemari Harry. Menggenggamnya dengan erat.
Namun, sekali lagi, Harry menepisnya—kali ini lebih kasar. Pria itu memejamkan matanya sejenak.
“Dengar, Puspa. Semua ini gara-gara kamu. Kalau kamu nggak hadir di dalam hidupku, nggak akan sampai sekacau ini hidupku. Kamu tau? Aku pengangguran sekarang! Di tambah lagi—hubungan ku dan Ara sudah di ujung tanduk! Semuanya gara-gara kamu!” Ujung jarinya menunjuk kening Puspa.
Harry berbalik badan, melangkah gontai—meninggalkan Puspa yang terus-terusan memanggil namanya.
“Kacau! Semuanya kacau!”
Sementara itu, di ruangan yang cukup luas dan di fasilitasi benda-benda mewah—Davin duduk di belakang meja, memadamkan api rokoknya di atas asbak.
Ia memandangi salah satu orang yang ia percayai di perusahaan itu.
“Jadi, bagaimana dengan dua orang yang ketangkap mesum itu, Pak Davin?”
“Lebih tepatnya yang terjerat dalam permainan ku itu? Bukannya sudah jelas? Pecat saja keduanya. Si wanita tak ada bedanya dengan wanita murahan yang sudah jelas berpotensi merusak citra perusahaan lagi. Lagian, dia masuk jalur orang dalam, bukan karena prestasinya. Sedangkan si pria buncit itu—aku memang berniat menendangnya dari perusahaan setelah permasalahan ini terselesaikan. Aku hanya memanfaatkan pria mesum itu agar permainan ini semakin menarik. —Singkirkan keduanya dari perusahaan ini.”
Pria yang sejak tadi menatap Davin dengan penuh hormat, mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya pastikan hari ini keduanya akan segera keluar dari perusahaan ini.”
*
*
*
“Si Hina itu pasti ada di rumah ibunya! Ayo kita ke sana, Har!”
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭