Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Hari Pertama Bekerja
Hari Pertama Bekerja
Sehari menunggu rasanya seperti seminggu buat Nadia, tak sabar ingin kembali beraktifitas sebagai seorang karyawan. Setelah kemarin ia diterima kembali bekerja di KQH, hatinya sungguh senang sekali. Rasanya seperti ia baru saja menang lotere.
Pagi ini seperti pagi sebelum-sebelumnya, Nadia sudah bersiap-siap hendak berangkat kerja. Untung saja seragam KQH masih ia simpan rapi, belum sempat ia jadikan sebagai keset.
“Selamat pagi.” Begitu Nadia menyapa dengan senyuman terkembang yang hampir memenuhi wajahnya setiap kali ia berpapasan dengan karyawan yang lain.
Hari pertama bekerja ia sudah berjanji dalam hati bahwa ia akan berkerja keras dan sebaik mungkin dalam melayani pengunjung. Serta ia akan bekerja semaksimal mungkin, bila perlu ia akan bekerja lembur setiap hari.
“Selamat ya, Nad.” Bu Nana, seorang HR Manajer yang ditemui Nadia pagi ini menyemangatinya usai memberinya arahan tentang apa yang harus ia kerjakan hari ini.
“Terima kasih, Bu. Saya akan bekerja sebaik mungkin. Saya juga siap lembur setiap hari.” Senyum Nadia terkembang sempurna. Dengan semangat empat lima ia mengangkat satu tangannya, menyemangati dirinya sendiri. Begitu besar rasa syukurnya bisa diberi kesempatan lagi bekerja di tempat ini.
“Itupun kalau kamu mampu, Nad. Kalau tidak, ya, tidak usah dipaksakan. Oh ya, ngomong-ngomong, berapa nomor henfon kamu? Kemarin-kemarin saya hubungi kok tidak pernah tersambung. Kamu sudah ganti nomor ya?”
Nadia menyengir lebar. Kemudian menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal itu. Ia sebetulnya terlalu malu menceritakan kesulitan yang ia alami belakangan ini. Akan tetapi, jika ia tidak terbuka, bagaimana mungkin Bu Nana akan mengerti dengan keadaannya.
“Saya sudah tidak punya henfon lagi, Bu. Sudah saya jual buat bayar kosan. Trus sisanya buat saya modal jualan kemarin. Mau beli yang baru juga uangnya belum terkumpul,” akunya malu.
Bu Nana membuang napas, merasa iba dengan nasib yang menimpa Nadia. Gadis muda itu harus berjuang sendirian melawan kerasnya dunia. Yang bisa ia lakukan untuk membantu gadis itu hanya dengan tidak mempersulit pekerjaannya. Apapun yang bisa ia bantu, akan ia bantu. Baginya Nadia itu sudah seperti anak sendiri.
“Ya ampun, Nad. Kasihan sekali sih, kamu. Yang sabar ya. Mudah-mudahan kamu diberikan rezeki yang lebih biar kamu bisa beli yang baru lagi. Semangat kerja ya?”
Nadia mengangguk dengan senyuman.
“Ya sudah. Sekarang tolong kamu naik ke lantai tiga. Kamu cek apakah kamar-kamar kosong yang sudah ditinggalkan pengunjung ,” titah Bu Nana.
“Baik, Bu. Siap dikerjakan.” Nadia lekas memutar tubuh, hendak mengayunkan langkahnya. Namun lekas pula ia urungkan karena hampir saja ia menabrak tubuh Yudha yang entah datang dari mana, persis seperti hantu yang muncul tiba-tiba.
Nadia sontak langsung menunduk. “Selamat pagi, Pak,” sapanya tanpa melihat wajah atasannya itu. Matanya malah melihat sepasang sepatu pantofel yang mengkilap yang dipakai atasannya itu.
Begitu pula dengan Bu Nana yang langsung menunduk sebagai tanda hormat, kemudian beranjak pergi untuk melakukan pekerjaannya. Namun sebelumnya ia sempat menoleh sebentar ke belakang sembari berbisik dalam hatinya.
“Tumben. Tidak biasanya Pak Yudha datang sepagi ini. Ada apa ya? Apa ada briefing dadakan lagi?”
“Pagi.” Tumben sekali Yudha membalas sapaan karyawan seperti ini. Biasanya ia hanya memberi anggukan kepala saja. Tapi kali ini Yudha terlihat jauh berbeda dari biasanya.
“Sudah menerima arahan dari Bu Nana?” tanyanya kemudian. Satu perubahan lagi dari Yudha, merupakan satu hal yang paling langka ia mengajak ngobrol karyawan seperti ini. Apalagi karyawan itu masih baru, bahkan posisinya pun lebih rendah. Namun dengan Nadia, ada saja pertanyaan yang ia lempar.
“Sudah, Pak.”
“Sudah mengerti apa yang harus kamu kerjakan hari ini?”
“Sudah, Pak.”
“Sudah sarapan kamu?”
Pertanyaan yang satu itu sontak membuat Nadia mengangkat kepala, memandangi wajah tampan Yudha yang datar tanpa ekspresi. Ia sedikit mengerutkan dahi lantaran tidak mengerti apa hubungannya sarapan dengan pekerjaannya.
“Su-sudah, Pak.” Nadia memaksakan senyum di wajahnya. Kedua tangannya langsung memegangi perutnya. Karena sebenarnya ia tidak sempat sarapan pagi ini. Saking bersemangat dan tidak ingin sampai telat, ia pun melupakan kewajiban yang satu itu walaupun hanya minum segelas teh hangat.
“Jangan salah paham. Aku bertanya seperti itu karena aku tidak ingin kalian tidak bekerja secara maksimal. Hotel ini tidak butuh karyawan yang loyo.”
“Saya akan bekerja sebaik mungkin, Pak. Saya pastikan saya kuat, tidak loyo walaupun saya tidak sempat sarapan. Ups!” Tangan Nadia langsung bergerak menutup mulutnya sendiri. Tak sengaja ia berkata jujur. Seketika itu juga ia merasa malu.
Yudha melirik arloji di pergelangan kirinya sejenak sebelum ia berkata, “Kamu punya 10 menit. Pergilah sarapan. Jangan sampai kamu pingsan saat sedang bekerja dan malah merepotkan karyawan yang lain,” titahnya, kemudian melenggang pergi.
Sepasang mata Nadia mengikuti pria itu, memandangi punggungnya sampai pria itu menghilang dibalik pintu lift yang dimasukinya menutup.
“Terima kasih banyak atas waktunya, Pak. Perutku memang sudah keroncongan sekarang.” Bergegas Nadia membawa langkahnya setengah berlari keluar dari gedung. Ia sudah merindukan bubur ayam langganannya yang sering mangkal di seberang jalan yang tidak jauh dari hotel ini. Selain harganya yang relatif terjangkau, rasanya juga tidak kalah enak dari bubur ayam yang dijual di rumah makan.
****
Terhitung mulai hari ini Nadia akan bekerja keras. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan bekerja sebaik mungkin demi masa depannya sendiri. Meskipun pekerjaan ini tidak akan membuat ia kaya raya, setidaknya pekerjaan bisa menghidupinya.
Sepanjang waktu Nadia bekerja, melawan rasa lelahnya sendiri demi kehidupan yang lebih baik. Ia sudah merasakan bagaimana rasanya tidur di jalanan, tidak punya uang sepeserpun untuk makan. Ia sudah pernah kelaparan tanpa ada apapun yang bisa dimakan.
Untuk satu kehidupan yang lebih baik, Nadia hanya harus bekerja keras. Ia tidak menyesali apa yang sudah pernah terjadi dalam hidupnya. Ia masih bisa bersyukur, walaupun hidupnya kesusahan, Tuhan sudah menjauhkan ia dari orang-orang yang menyakitinya dan Tuhan gantikan dengan orang-orang yang baik di sekelilingnya. Seperti Bu Nana misalnya.
Tanpa sepengetahuan Nadia, sepanjang hari ini, pekerjaannya ternyata diperhatikan oleh sepasang mata bersorot tajam melalui sebuah layar monitor di ruangannya. Orang itu terus memperhatikan Nadia, bola matanya bergerak mengikuti ke mana Nadia berpindah dari sudut tangkap kamera yang satu ke kamera yang lain.
Sore harinya, orang itu, Yudha, harus meninggalkan kantor karena membuat janji dengan Rizal. Ia sudah menghubungi Rizal, meminta bertemu sore ini di sebuah kafe di pinggiran kota.
Kini ia duduk sambil memangku sebelah kakinya, sembari sesekali melirik arloji. Ia duduk tenang menunggu Rizal datang serta menunggu jus yang ia pesan.
Sementara di lain tempat, di sebuah unit apartemen. Rizal sudah bersiap-siap hendak menemui Yudha yang sedang menunggunya di sebuah kafe. Kebetulan hari ini pasiennya tidak terlalu banyak sehingga ia bisa menyisihkan sedikit waktu untuk bercengkerama dengan sahabat baiknya itu.
Ia sudah membuka pintu apartemen. Namun ia dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu itu dengan wajah tersenyum manis.
“Maura?” gumam Rizal tak percaya.
Entah sudah berapa tahun lamanya sejak hubungan mereka berakhir, Maura tidak pernah lagi datang ke apartemen ini. Sore ini merupakan sebuah kejutan buat dirinya setelah sekian lama. Sayangnya kejutan itu kurang begitu menyenangkan. Sebab hubungan mereka sudah tidak seperti dulu lagi.
“Boleh aku masuk?” pinta Maura.
“Maaf, Ra. Aku ada janji.”
“Katanya kamu mau ngasih jadwal program kehamilan.”
“Nanti aku kirim via email. Sekarang aku barus pergi.”
Maura menghela napas kecewa mendapat penolakan dari pria yang dulu pernah mengisi hatinya. Ia kemudian mengambil kacamata milik Rizal yang tak sengaja terbawa olehnya dari dalam tas kecilnya.
“Aku mau mengembalikan ini. Sekalian aku mau bicara sama kamu. Sekarang aku boleh masuk kan?”
Tanpa menunggu persetujuan Rizal, Maura langsung menerobos masuk. Membuat Rizal kesal, lalu menarik lengan Maura.
“Tolonglah, Ra. Jangan seperti ini. Kamu tidak boleh datang menemui aku seorang diri. Ajak serta suamimu,” omel Rizal sedikit naik pitam.
“Aku rindu sama kamu. Buat apa aku mengajak dia?”
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh
malah suaminya selingkuh di dalam istri mengandung anak k 3....
biasa kita bayangkan..suami selingkuh ketika istrinya hamil...tentu hatinya sakit sekali...pedih tak tertolongkan...
kasian janin yg dikandungnya...yang akhirnya janin itu harus meninggal dalam kandungnya ibunya karena pikiran dan hati ibu itu yg selalu sedih dan galsu /Cry//Cry//Cry/