Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KESEDIHAN ALISHA
"Maaf, nona Alisha..." ucap salah satu dari mereka pelan, "...Nyonya Margaret baru saja dipindahkan ke... ruang jenazah."
Deg.
Kalimat itu menghantam kepala Alisha seperti petir menyambar di siang bolong. Tangannya gemetar. Pandangannya mengabur. Langkah kakinya lunglai.
"A—apa maksud Anda...?" bisiknya lirih. "TIDAK! Itu tidak mungkin! Hari ini jadwal operasi Ibu! Aku sudah... aku sudah bawa uangnya!" serunya sambil membuka amplop dan meletakkan isinya ke meja.
"Ini! Ini semua uangnya! Lima puluh ribu dolar! Cepat lakukan penanganan! Selamatkan ibuku!" ucapnya nyaris histeris, tangan gemetar menunjuk uang yang berserakan di meja.
Staf administrasi menunduk, terlihat tak tega.
"Kami sungguh minta maaf, nona... Tapi nyonya Margaret menghembuskan napas terakhirnya sekitar satu jam lalu. Kami sudah berusaha, tapi kondisi beliau terlalu lemah..."
Seakan bumi runtuh tepat di bawah kakinya. Alisha tak bisa berdiri lagi. Ia jatuh terduduk di lantai dingin rumah sakit, tubuhnya gemetar hebat, air matanya tumpah tak terbendung. Amplop uang yang tadi ia bawa dengan harapan penuh, kini berserakan di lantai tanpa makna.
"TIDAK...!! Ibu... Jangan tinggalkan aku... Aku sudah bawa uangnya... aku sudah bawa uangnya, Bu...!!" tangisnya pecah, melolong pilu seperti anak kecil yang kehilangan arah.
Orang-orang yang lalu lalang hanya bisa menatap iba. Beberapa memalingkan wajah, enggan larut dalam kesedihan orang lain. Tak ada yang mendekat. Hanya tatapan simpati, tanpa tindakan nyata.
Hingga seorang wanita paruh baya dengan wajah keras dan sorot mata sinis melangkah mendekat. Wanita itu mengenakan baju hitam ketat, seperti sedang berkabung berkabung, namun tak ada kesedihan di matanya.
"Dasar anak tidak tahu malu!" semprotnya tiba-tiba. "Dapat uang sebanyak ini dari mana? Kau menju4l dir!?! Kakakku sudah mati, tapi kau malah bersenang-senang di luar sana!"
Wanita itu—Rosa, adik dari mendiang Margaret—langsung menj4mbak rambut panjang Alisha. Tubuh gadis itu terhentak ke belakang, dan ia menjerit kesakitan.
"Bibi...!! Lepaskan...!!" Alisha memegangi tangan kasar Rosa yang mencengkeram kepalanya.
"Bungkus semua uang ini dan berikan padaku. Itu sebagai pengganti biaya pengobatan ibumu yang selama ini aku tanggung!" bentaknya sembari mendorong tubuh Alisha ke lantai. Wajah Rosa penuh amarah, namun jelas bukan karena duka. Melainkan keserakahan.
Dengan tangan gemetar dan air mata yang masih mengalir, Alisha mulai memunguti uang satu demi satu dari lantai. Harga dirinya sudah hancur. Harapannya pupus. Kini dia hanya gadis malang yang ditinggal mati ibunya dan dipaksa menyerahkan hasil kehorm4t4nnya.
Tiba-tiba, terdengar suara manja dari seorang gadis muda yang baru datang menghampiri mereka.
"Mommy... Mommy, Alisha dapat uang dari mana? Banyak sekali. Kita bisa belanja setelah ini," ujar gadis itu sambil tertawa kecil, tak menyadari kepedihan yang sedang terjadi di hadapannya.
Ia adalah Gracia, anak semata wayang Rosa. Sepupu Alisha yang selama ini tumbuh dengan segala kemewahan dan ego tinggi. Rambut pirangnya dicat dengan highlight terang, kukunya dihiasi nail art mewah, dan di tangannya menggantung tas berlogo LV.
Tatapan Gracia jatuh pada Alisha yang sedang berlutut di lantai dengan mata sembab dan rambut berantakan.
"Ck, kasian sekali hidupmu," katanya dengan senyum sinis.
Alisha mendongak, menatap wajah sepupunya itu dengan pandangan hampa. Tak ada kata yang keluar. Tenggorokannya tercekat. Semua rasa bercampur: sakit, dendam, malu, dan kehilangan.
Dengan susah payah ia bangkit, meraih uang yang tersisa, dan menyerahkannya ke tangan Rosa.
"Ambil saja. Uang ini sudah tidak ada gunanya lagi," gumamnya lemah, lalu berjalan pergi—tertatih, lunglai, seperti orang yang kehilangan arah dan tujuan hidup.
Langkahnya menjauh di lorong rumah sakit. Tak ada lagi yang tersisa dalam hidup Alisha. Ibu satu-satunya telah pergi, dan semua yang ia korbankan... kini terasa sia-sia.