Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Salah satu pria berjaket hitam melayangkan pukulan ke arah Eleanor, tapi ia dengan cepat merunduk dan membalas dengan sikutan keras ke perut pria itu. Pria itu terhuyung ke belakang, dan mengerang kesakitan.
Namun, sebelum Eleanor bisa bergerak lebih jauh, sebuah batang besi menghantam pundaknya dari samping. Dentuman keras menggema di udara, diikuti rasa nyeri tajam yang menjalar di bahunya.
Eleanor menggertakkan giginya, menahan rasa sakit itu. "Sial."
Ia berbalik dan menangkap pergelangan tangan pria yang memegang besi itu, lalu menendang lututnya dengan keras. Pria itu jatuh berlutut, mengumpat kesakitan.
Dari belakang, satu dari mereka mengayunkan pisau ke arahnya. Eleanor refleks menghindar, tapi ujung pisaunya tetap sempat menggores kulit di pinggangnya, membuat kain bajunya robek dan darah mulai merembes keluar.
Eleanor menyeringai meski merasakan perih yang menyengat di pinggangnya. "Hanya segini kemampuan kalian huh?"
Pria yang memegang pisau tampak kesal. "Bangsat! biar aku yang menghabisimu sekarang juga!"
Ia kembali menyerang dengan pisau terhunus, tapi Eleanor sigap menangkap lengannya dan memelintirnya ke belakang.
Pria itu berteriak kesakitan sebelum Eleanor menghantamkan lututnya ke wajah pria tersebut, membuatnya roboh ke tanah.
Sementara itu, tiga pria lainnya mulai terlihat ragu. Meski Eleanor sudah mendapat beberapa luka, ia masih berdiri tegak, napasnya berat, tapi sorot matanya tetap tajam dan penuh perlawanan.
Salah satu dari mereka melirik kawannya yang sudah tergeletak, lalu mengumpat. "Sial! cewek ini bukan manusia!"
Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya salah satu dari mereka berteriak, "Kita pergi sekarang! enggak wort it, lawan nih cewek."
Tanpa menunggu lebih lama, mereka membantu kawan-kawan mereka yang sudah babak belur, lalu bergegas menaiki motor dan melaju pergi meninggalkan Eleanor dalam keheningan malam.
Eleanor mengusap sudut bibirnya yang sedikit berdarah, lalu menghembuskan napas panjang.
Tubuhnya terasa sakit, pundaknya berdenyut, dan luka di pinggangnya perih. Ia mendongak, menatap langit malam yang gelap.
"Sialan." Gumam Eleanor terkekeh miris.
***
Dua jam kemudian, Eleanor tiba di rumahnya. Begitu ia keluar dari mobil, ia langsung di sambut oleh Sergey yang sudah menunggunya di teras rumah.
Sergey langsung berdiri dari tempatnya duduk begitu melihat Eleanor keluar dari mobil. Matanya membelalak saat menyadari kondisi istrinya bibir yang sedikit pecah, luka di pelipis, dan robekan di bajunya yang memperlihatkan goresan berdarah di pinggangnya.
"Eleanor!" Sergey melangkah cepat mendekatinya, ekspresi di wajah pria itu campuran antara marah, cemas, dan frustasi. "Apa yang terjadi? siapa yang melakukan ini padamu?"
Eleanor hanya mengangkat alis santai, seolah luka-luka di tubuhnya bukanlah hal besar. Ia menutup pintu mobilnya dengan satu tangan, lalu melangkah ke arah rumah tanpa menjawab pertanyaan Sergey.
Sergey semakin kesal. Dengan cepat, ia meraih lengan Eleanor, menghentikan langkahnya. "Jangan diam saja! aku bertanya, Eleanor!"
Eleanor menoleh, matanya yang kelelahan menatap Sergey tanpa emosi. "Lepaskan aku, Sergey. Aku capek."
"Tidak! sampai kamu menjelaskan kenapa kamu pulang dalam keadaan begini!"
Sergey semakin menggenggam lengannya, tatapannya penuh tuntutan. "Sialan, Eleanor! aku sudah cukup gila mencarimu, dan sekarang aku melihatmu berdarah-darah seperti ini? kamu pikir aku bisa diam saja?"
Eleanor mendengus kecil, lalu tertawa pelan bukan tawa bahagia, tapi lebih seperti tawa seseorang yang sudah terlalu lelah untuk peduli.
"Lucu sekali. Kamu tiba-tiba peduli setelah aku memilih acuh?"
Sergey terdiam, tertegun oleh kata-kata itu. Eleanor menarik napas dalam, lalu menepis tangannya. Kali ini, Sergey tidak bisa menahan tindakan istrinya.
"Jangan pedulikan aku, karena aku bisa mengurus diriku sendiri," katanya, sebelum melangkah melewati Sergey dan masuk ke dalam rumah.
Sergey hanya bisa menatap punggungnya dengan rahang mengatup erat, kepalan tangannya gemetar. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar kehilangan Eleanor, meski wanita itu masih berdiri di hadapannya.
Sementara itu, di dalam kamarnya. Eleanor baru saja mengobati luka di tubuhnya dengan antiseptik dan membalutnya dengan plester.
"Siapa orang yang menyuruh para pria itu mendatangiku?" gumamnya.
Eleanor bukan wanita bodoh yang mengira jika perkelahian yang terjadi tadi adalah kebetulan, ia jelas tahu bahwa tempatnya tadi menepi jelas jalan yang jarang di lalui oleh berandalan.
Karena area itu milik seorang pria yang memiliki kedudukan di dunia bawah, namun Eleanor sendiri belum tahu seperti apa sosok pria itu.
Eleanor duduk di tepi ranjang, menatap plester yang baru saja ia tempelkan di pinggangnya. Pikirannya berputar cepat.
Tidak mungkin itu hanya kebetulan. Lima pria berandalan muncul di tempat yang hampir tidak pernah dilalui orang biasa? itu terlalu janggal.
Ia menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang, mengingat-ingat semua detail yang bisa ia tangkap.
Area itu bukan sembarang tempat. Itu wilayah yang dikenal sebagai salah satu titik kekuasaan seorang pria yang namanya sering disebut dalam dunia bawah, seseorang yang memiliki kendali atas banyak hal yang berjalan di balik bayangan kota.
Tapi siapa dia?
Eleanor menggigit bibirnya, frustrasi karena tidak punya jawaban. Ia memang sering mendengar desas-desus tentang sosok yang menguasai area itu, tetapi informasi mengenai pria tersebut selalu samar, seakan orang-orang lebih memilih diam daripada menyebut namanya secara langsung.
Dan jika ia benar-benar target dari serangan tadi malam, itu berarti ada seseorang yang menginginkan kematiannya secepat mungkin.
Eleanor menutup matanya sesaat, mengatur napasnya. Ia tidak takut, sebenarnya tidak pernah sekalipun ia merasa takut untuk mati. Tapi satu hal yang membuatnya kesal adalah kenyataan bahwa ia belum tahu siapa musuhnya.
"Baiklah," gumamnya, membuka matanya dengan sorot yang lebih tajam. "Kalau dia ingin bermain, aku akan cari tahu siapa dia."
***
Pukul satu dini hari, di sebuah bangunan megah di area komplek perumahan elit tampak sunyi, hingga sebuah mobil hitam muncul dan masuk ke halaman rumah besar tersebut.
Seketika semua bodyguard yang berjaga langsung berkumpul dan menyambut kedatangan tuan rumah mereka.
Seorang pria dengan jas hitam rapi keluar dari mobil. Wajahnya tegas, dengan sorot mata dingin yang mengintimidasi. Begitu ia melangkah keluar, kepala keamanan segera maju dan membungkuk sedikit.
"Selamat datang, Tuan Muda," ucapnya dengan nada hormat.
Pria itu hanya mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa banyak bicara. Sepatu kulitnya menapak di lantai marmer, menimbulkan gema di lorong yang sepi. Di dalam, seseorang sudah menunggunya di ruang tamu.
"Selamat datang, Tuan Muda." Sapa orang tersebut langsung bangkit dari sofa dan membungkuk hormat.
"Ya, duduklah. Ada hal penting yang ingin aku tanyakan padamu, Vincent." Jawab pria tersebut.
Vincent mengangguk, "Baik Tuan."
Mereka berdua duduk di sofa dengan saling berhadapan, "Katakan, kenapa Eleanor bisa terluka?! bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menjaga istriku, Vincent?!"
Seketika ruangan terasa begitu dingin, Vincent menelan salivanya kasar. Ia menatap wajah pria yang selama ini menjadi pemimpin mafia The Black Revenants, Sergey Ivanov.
Pria yang selama ini menyembunyikan identitasnya demi sesuatu yang ingin ia temukan, bahkan ia rela di salah pahami oleh istrinya demi melindungi wanita itu dari seseorang.
"Jawab! apa kamu mengabaikan perintahku, Vincent?!" bentak Sergey marah.
Sorot matanya begitu tajam dan menusuk, seolah pria itu bisa menembus tulang belulang milik Vincent.
thor 😄😄😄😄😄😄