Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Licik Nakula
Di kedalaman malam, di balik gedung-gedung pencakar langit Kota Jakarta, sekelompok pria duduk dalam ruangan remang-remang. Mereka adalah para penguasa korup kota ini—politisi kotor, taipan serakah, dan para mafia yang mengendalikan kejahatan dari balik layar. Malam ini, mereka memiliki tamu yang tidak biasa.
Dewa Nakula berdiri di tengah ruangan, mengenakan jubah hitam dengan motif angin berputar di bahunya. Wajahnya tampak tenang, namun ada kilatan licik dalam sorot matanya.
“Kalian semua berkuasa di dunia ini, namun ada satu ancaman baru yang akan mengguncang keseimbangan yang telah kalian bangun,” ucap Nakula dengan suara tenang, namun penuh wibawa.
Salah satu pria, seorang pejabat tinggi dengan perut buncit dan wajah rakus, menyipitkan mata. “Ancaman? Kota ini sudah dalam kendali kami. Tidak ada yang bisa menantang kami.”
Nakula tersenyum tipis. “Benarkah? Bagaimana jika aku katakan bahwa seorang ‘dewa’ kini berjalan di antara kalian? Seseorang yang kelak bisa menghancurkan segalanya. Seorang pria bernama Arjuna.”
Para pria itu saling bertukar pandang. Mereka tidak langsung percaya. Namun, ketika Nakula mengangkat tangannya dan menyalurkan sedikit kekuatannya—sebuah gelombang angin tajam menghancurkan meja di hadapan mereka—ketakutan pun menyebar di wajah mereka.
“Kalian tidak perlu takut,” lanjut Nakula. “Aku ada di pihak kalian. Aku akan memberi kalian kekuatan… cukup untuk mengalahkannya. Namun, kalian yang akan bertindak. Jika aku melakukannya sendiri, ayahku akan curiga.”
Salah satu mafia yang lebih muda menelan ludah. “Dan… apa yang kau inginkan dari kami?”
Nakula menyeringai. “Pastikan Arjuna tidak pernah merasa nyaman di dunia ini. Pastikan dia hancur sebelum dia menyadari potensi sebenarnya.”
Mereka semua mengangguk, meskipun beberapa masih tampak ragu. Nakula menatap mereka satu per satu. “Bersiaplah. Dalam waktu dekat, kalian akan memiliki kekuatan yang tidak pernah kalian bayangkan.”
---
Di Gunung Meru, Nakula kembali ke istana dengan ekspresi tenang. Dia melangkah menuju aula utama, di mana Dewa Arka Dewa masih duduk di singgasananya, menatap artefak Cakra Nawasena.
“Nakula,” suara Arka Dewa menggema. “Kau ingin membicarakan sesuatu?”
Nakula tersenyum, penuh kepalsuan. “Ayah… aku ingin berbicara tentang Arjuna. Aku khawatir dia tidak akan mampu bertahan di dunia manusia. Mungkin sudah waktunya kita menyusun rencana lain.”
Arka Dewa menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau maksud?”
Nakula menundukkan kepalanya sedikit, berpura-pura penuh kepedulian. “Aku hanya berpikir… jika dunia manusia terlalu keras untuknya, mungkin kita bisa mengujinya lebih jauh. Mungkin, dia butuh lebih dari sekadar pelajaran. Dia butuh tantangan yang nyata.”
Dewi Laksmi yang berdiri di dekat sana, menatap Nakula dengan sedikit curiga. “Tantangan seperti apa?” tanyanya.
Nakula tersenyum samar. “Sesuatu yang akan membantunya menemukan tempatnya… atau menghancurkannya.”
Arka Dewa terdiam sejenak. “Aku akan mempertimbangkannya.”
Senyum Nakula semakin melebar dalam hati. Rencananya mulai berjalan.
Arjuna berdiri di depan gedung tempat Kirana bekerja, menatap lalu lalang kendaraan yang memenuhi jalanan Jakarta di sore hari. Cahaya matahari mulai redup, meninggalkan semburat jingga di cakrawala. Udara terasa hangat, bercampur dengan suara klakson dan hiruk-pikuk orang-orang yang bergegas pulang.
Sejak tadi siang, Arjuna hanya duduk-duduk di luar gedung dengan perasaan bosan yang semakin menjadi-jadi. Baginya, menunggu adalah sesuatu yang tidak biasa. Di Gunung Meru, waktu adalah hal yang bisa ia kendalikan sesuka hati. Namun di dunia manusia ini, ia terikat pada aturan yang membosankan dan melelahkan.
“Berapa lama lagi Kirana akan keluar?” gumamnya dengan nada kesal, melipat tangan di dada.
Beberapa wanita yang melewati tempatnya berdiri sempat meliriknya, berbisik-bisik sambil tersenyum malu-malu. Tidak bisa dipungkiri, ketampanan Arjuna masih memancarkan aura yang sulit diabaikan, bahkan tanpa kekuatannya.
Saat ia mulai berpikir untuk masuk dan menyeret Kirana keluar, pintu gedung akhirnya terbuka. Kirana melangkah keluar bersama beberapa teman kerjanya. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya terlihat lelah, tetapi masih sempat tersenyum saat melihat Arjuna.
“Maaf ya, lama nunggu,” ucap Kirana sambil merapikan tasnya. “Hari ini kerjaan lebih banyak dari biasanya.”
Arjuna mendesah pelan, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang dipinjamkan Kirana padanya. “Dunia manusia ini benar-benar membosankan.”
Kirana tertawa kecil. “Ya, kalau kau cuma berdiri dan menunggu, tentu saja membosankan. Tapi kalau bekerja, seperti kami, kau tidak akan punya waktu untuk bosan.”
Arjuna hanya mendengus pelan. Mereka berdua mulai berjalan menuju halte untuk mencari transportasi pulang. Sementara itu, langit semakin gelap, dan di kejauhan, di salah satu gedung tinggi Jakarta, sepasang mata sedang mengamati mereka dalam diam.