Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Kedatangan Olivia
Siang itu di kediaman keluarga Enthart
Di bawah langit cerah yang dihiasi awan tipis, sebuah kereta kuda berwarna hitam mengilat berhenti tepat di depan gerbang besar mansion keluarga Enthart. Dari desain ukirannya, tampak jelas bahwa kereta tersebut milik seorang bangsawan—elegan namun menuntut wibawa.
Beberapa pelayan yang tengah membersihkan halaman seketika menghentikan aktivitas mereka, lalu menoleh dengan tatapan heran.
Tak lama, seorang pelayan senior bergegas menghampiri dan membuka pintu kereta dengan sopan. Dari dalam, muncul sosok wanita dengan penampilan memikat. Gaun panjang berwarna biru gelap berhiaskan renda keemasan membalut tubuhnya, menyatu anggun dengan rambut pirang panjang yang tergerai lembut. Matanya berwarna kuning terang—dingin dan menelusur bangunan yang berdiri megah di hadapannya.
Ia menghela napas pelan, lalu bergumam dengan suara nyaris tak terdengar, “Heh... pada akhirnya, aku kembali juga.”
Olivia Enthart. Anak sulung keluarga Enthart, yang selama ini menetap jauh di utara Elestial. Kini, langkah kakinya perlahan membawa dirinya kembali ke rumah yang pernah ia tinggalkan dengan luka yang belum sembuh.
Tanpa banyak bicara, ia pun melangkah masuk melewati lorong utama, menyisakan keheningan yang seolah mengikuti di belakangnya.
Di dalam mansion - Ruang kerja Astalfo
Ketukan tergesa mengetuk pintu ruangan Astalfo. Seorang prajurit muda masuk dan menunduk memberi hormat.
“Tuan Astalfo, mohon maaf. Saya baru saja menerima laporan dari penjaga gerbang... Nona Olivia telah tiba. Saat ini, beliau berada di ruang tunggu utama.”
Astalfo yang tadinya duduk tenang di kursinya, seketika membelalakkan mata. Tanpa pikir panjang, dia berdiri dengan cepat dan tangannya menghantam meja kerja keras-keras hingga tinta dalam wadah nyaris tumpah.
“Apa? Olivia datang sekarang?!”
Nada suaranya tinggi, nyaris tak percaya. Tatapannya menerawang, seperti mencoba memahami maksud di balik kedatangan itu. [Kenapa sekarang? Kenapa bukan kemarin, saat semua keluarga berkumpul untuk perayaan Clara?]
Rasa campur aduk mulai mengaduk dadanya—antara lega, marah, dan cemas. Undangan resmi telah dikirimkan padanya jauh-jauh hari. Ia berharap sang putri hadir di pesta itu, bahkan sempat menunggunya hingga malam berakhir. Namun kini, tanpa aba-aba atau pemberitahuan, Olivia datang... di saat semua sudah selesai.
Astalfo menghela napas dalam-dalam. Wajahnya kini serius.
“Hermas,” panggilnya cepat. Sang kepala pelayan yang setia berdiri di sisi kanan langsung menatapnya siaga.
“Segera siapkan para pelayan. Aku ingin penyambutan yang pantas. Ini pertama kalinya Olivia kembali ke rumah ini setelah bertahun-tahun.”
“Baik, Tuan,” sahut Hermas, kemudian melangkah keluar bersama si prajurit yang tadi melapor.
Kini ruangan itu hanya tinggal menyisakan Astalfo, yang berdiri diam, termenung di depan jendela.
***
Di lorong utama mansion Enthart
Riuh langkah kaki menggema di seluruh penjuru mansion. Suara sepatu para pelayan yang bergegas turun dari berbagai penjuru menciptakan ketegangan aneh yang terasa bahkan hingga ke sudut terjauh koridor. Semua bergerak seakan-akan bangsawan agung dari luar negeri tengah datang berkunjung. Namun kenyataannya, semua ini hanya karena satu orang—Olivia Enthart.
Herald yang saat itu sedang menemani Clara berjalan-jalan, menghentikan langkahnya. Pandangannya mengikuti derap para pelayan yang menuruni tangga besar menuju ruang tengah.
[Apa yang sebenarnya terjadi?]
Di sampingnya, Clara menghentakkan tongkat kayu kecil yang biasa ia gunakan untuk meraba sekeliling. Ia memang tidak dapat melihat dengan jelas, tapi pendengarannya sangat tajam. Riuh itu jelas membangkitkan kepekaannya.
"Herald?" panggilnya, pelan tapi jelas, sembari menggenggam tongkat itu dengan lebih erat. Herald pun menoleh padanya.
"Tenang, aku akan cari tahu."
Tepat saat itu, seorang pelayan wanita dengan celemek hijau lumut—Susan—melewati mereka sambil tergesa-gesa. Herald langsung memanggilnya.
"Susan! Tunggu!"
Suara Herald berhasil menghentikan langkah cepat Susan. Ia menoleh dengan wajah cemas yang bercampur antara terburu-buru dan bingung.
"Herald? Ada apa?"
"Apa yang sedang terjadi? Kenapa semua orang terlihat seperti hendak menyambut raja?"
Susan menoleh ke arah tangga utama, menelan ludah sebentar sebelum menjawab, "Anak pertama Tuan Astalfo... Nona Olivia, datang. Dan kedatangannya mendadak, tanpa kabar lebih dulu. Itu sebabnya kami harus segera mempersiapkan penyambutannya."
Herald terdiam sejenak. Nama itu jelas tak asing lagi baginya.
[Olivia... jadi dia akhirnya datang.]
Baru saja pikiran itu selesai terbentuk, sebuah sensasi aneh terasa dari tangannya. Tongkat yang terhubung padanya—yang sebagian dipegang Clara—mulai bergetar pelan. Tapi bukan karena dirinya. Ia menoleh, dan melihat tangan mungil Clara yang menggenggam tongkat itu... gemetar.
Perlahan, Herald mengalihkan pandangannya ke arah Clara. Gadis itu menunduk, membiarkan poni menutupi sebagian besar wajahnya, seolah mencoba menyembunyikan ekspresi.
[Dia gemetar... apakah ini karena Olivia?]
"Clara," panggilnya lembut.
Clara mengangkat wajahnya perlahan, tidak menjawab, hanya menoleh. Tatapannya kosong, tapi gelisah itu jelas terpancar.
Herald menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya. "Tidak usah takut. Ada aku di sini."
Kata-kata sederhana itu terasa seperti pelindung yang turun dari langit. Clara tidak menjawab, hanya maju selangkah, lalu meraih lengan Herald dan menggenggamnya erat—meninggalkan tongkatnya yang tergantung di sisi.
Ia mengangguk kecil. Tak sepatah pun kata terucap, tapi gestur itu sudah lebih dari cukup.
Susan yang tadi menunggu dengan sabar akhirnya bicara, "Maaf, aku harus pergi! Kami harus menyambutnya sekarang!" Setelah memberi salam kecil, ia pun berlalu, kembali bergabung dengan barisan pelayan lainnya.
Herald memalingkan wajahnya sejenak, mengamati sekeliling, lalu membimbing Clara. "Ayo, kita ke bawah. Lihat sendiri seperti apa Olivia itu."
Clara diam. Tapi langkahnya mulai mengikuti Herald. Perlahan, mereka berjalan menyusuri lorong, menuruni tangga menuju lantai utama. Sementara itu, di bawah sana... seseorang yang telah lama menghilang dari rumah, kini tengah menunggu dengan senyum dingin dan mata tajam yang menyimpan kisah lama.
***
Ruang Tunggu, Lantai Satu
Suasana menjadi lebih formal daripada biasanya. Di sepanjang karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke jantung ruangan, para pelayan berdiri tegak, membentuk barisan sempurna. Wajah mereka menunjukkan keseriusan, mencerminkan betapa pentingnya tamu yang akan mereka sambut. Dan saat pintu besar itu terbuka perlahan, seisi ruangan seolah menahan napas.
Olivia Enthart muncul di ambang pintu, dengan langkah pelan namun mantap. Gaun panjang berwarna biru gelap berhiaskan renda keemasan membalut tubuhnya. Rambut pirangnya tertata anggun, dan matanya—iris kuning menyala—menyapu ruangan dengan tatapan tajam namun penuh kendali.
Dari atas tangga, Herald dan Clara memperhatikan dalam diam.
Herald menelan ludah. “Glup.”
[Dia sungguh cantik…]
Olivia dan Clara jelas memiliki kemiripan. Tapi ada perbedaan mencolok dalam aura mereka. Jika Clara memancarkan kelembutan dan kehangatan yang menyelimuti, Olivia terasa seperti api tenang yang bisa membakar siapa saja dalam satu lirikan. Dia tak hanya anggun—dia memiliki wibawa.
[Wajar kalau Tuan Astalfo sangat menaruh harapan padanya…]
***
Olivia berjalan melewati para pelayan dengan tenang, seolah langkahnya melukis garis tak kasatmata yang membelah ruang. Ia akhirnya berhenti, hanya beberapa langkah dari pria yang menantinya dengan senyum canggung dan tangan terlipat di belakang punggung.
Astalfo.
“Olivia,” sambutnya, “kenapa kamu tidak memberitahu ayahmu ini kalau ingin datang berkunjung?”
Nada suaranya hangat, tapi jelas ada kegelisahan di baliknya. Mungkin karena kunjungan Olivia terlalu mendadak, atau mungkin karena… ada hal yang belum selesai di antara mereka.
Olivia mengangkat bahu dengan elegan. Suaranya terdengar santai, bahkan sedikit menantang.
“Apakah salah jika seorang anak ingin berkunjung ke rumah ayahnya tanpa pemberitahuan terlebih dulu? Seharusnya ayah senang. Karena terus terang saja, aku bahkan sempat tak ingin kembali.”
Ucapan itu menusuk, tapi Astalfo mencoba tetap tersenyum. Ia tahu, dengan Olivia, selalu ada duri di balik kata-kata.
“Yah… Ayah memang senang kamu datang. Kamu sudah lama tak ke sini. Ayah sempat rindu. Hanya saja, kalau kamu memberi kabar lebih dulu, kami bisa menyambutmu dengan lebih layak.”
Olivia mengalihkan pandangan sesaat, lalu mengangguk pelan. “Iya, iya… lain kali akan kuusahakan.”
Nada datarnya menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tak semua orang bisa baca. Tapi dari atas tangga, Clara mendengarnya… dan menggenggam lengan Herald sedikit lebih erat.
Herald menyadarinya, dan tanpa berkata apa-apa, dia sedikit memiringkan tubuhnya agar Clara merasa lebih terlindungi.
[Hubungan mereka... tak sederhana.]
Clara diam, tapi raut wajahnya mulai berubah. Ketegangan yang dia rasakan bukan tanpa alasan. Ia tahu, momen berikutnya... akan menentukan segalanya.
Herald masih memperhatikan interaksi antara Olivia dan Astalfo dari atas. Matanya menyipit sedikit, menangkap kejanggalan dari setiap nada bicara wanita yang tampak anggun itu.
[Apa-apaan dengan dia? Kenapa cara bicaranya tidak selaras dengan penampilannya...]
Kecantikan Olivia bisa menyihir siapa pun. Namun begitu dia berbicara, ada kontras tajam—nada suaranya terdengar sinis, menusuk, seperti tak ada beban dalam kata-katanya. Di dalam ruangan sebesar ini, kata-kata tajamnya seakan menggema, menebarkan hawa dingin yang menyusup sampai ke atas tangga.
Dan dalam sunyi itulah, Herald merasakan sesuatu.
Kain gaun Clara yang menyentuh pakaiannya. Lembut, tapi penuh ketegangan.
Tanpa sepatah kata pun, tangan Clara menyelinap masuk ke sela tangannya, lalu memeluk lengan Herald erat-erat. Gerakannya ragu-ragu, tapi menyiratkan satu hal: ketakutan.
Herald menunduk sedikit dan menatapnya. Clara masih menunduk, tapi raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Dia tak bicara, hanya memeluk erat—seolah tubuh Herald adalah satu-satunya jangkar yang bisa menahannya agar tidak runtuh.
[Dia ketakutan…]
Herald tidak berkata apa-apa. Ia hanya membiarkan Clara bersandar padanya, dan kembali mengarahkan pandangannya ke bawah.
**
Olivia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang, matanya tajam menilai, menyapu setiap sudut dengan ekspresi yang sulit ditebak. Lalu dia berkata,
“Jadi... ke mana dia? Katanya dia sudah keluar dari kamarnya. Sudah lama aku tidak melihat wajah sedihnya itu. Apakah dia... masih sama seperti dulu?”
Nada bicaranya nyaris seperti cemoohan, namun dibalut dengan topeng kekakuan yang sopan.
Astalfo mengangguk pelan. “Oh, Clara. Saat ini dia sedang berjalan-jalan di sekitar mansion. Mungkin sebentar lagi akan datang. Apakah kamu ingin—”
Namun Olivia tidak menjawab. Matanya sudah tertuju ke arah lain.
Ke atas.
Ke tempat Clara dan Herald berdiri.
Raut wajahnya berubah. Datar, namun penuh analisa. Pandangannya tertuju bukan hanya kepada Clara, tapi kepada pria yang berdiri di sisinya—Herald. Matanya menyipit sedikit, menyelidik.
[Lelaki berambut perak itu... siapa dia? Kenapa mereka tampak begitu dekat?]
Pikiran Olivia bergerak cepat. Laki-laki asing itu terlihat akrab dengan Clara. Terlalu akrab. Apalagi dengan cara mereka berdiri, tangan yang saling bertaut...
[Apakah dia kekasihnya?] pikir Olivia, namun dengan cepat menepisnya. [Tidak mungkin. Siapa juga yang mau menjadi kekasih anak itu?]
Namun ragu itu tetap membekas.
“Olivia? Olivia, apakah kamu mendengar?” Astalfo memanggil lagi, menyadarkan Olivia dari lamunannya.
Dia mengibas pelan tangannya ke samping. “Tidak perlu, Ayah. Aku sudah melihatnya.”
Sekali lagi, dia menatap Clara dari jauh, kali ini dengan sorot mata yang sulit diartikan—mungkin amarah, mungkin penilaian, mungkin... rasa ingin tahu yang berbahaya.
Setelah itu, Olivia menoleh ke arah para pelayannya yang membawa koper-koper elegan berwarna coklat tua. Dia melangkah maju.
“Ayah, aku akan menginap di sini selama beberapa hari. Jadi aku ingin langsung ke kamarku untuk membersihkan diri.”
Astalfo mengangguk. “Baiklah, biarkan Hermas yang mengantarmu.”
Tanpa menunggu lebih lama, Olivia dan para pelayannya menaiki tangga. Langkahnya tetap elegan dan ringan, tapi terasa seperti desiran pisau yang meluncur di udara.
Dan akhirnya—momen itu tiba.
Mereka berpapasan.
Olivia, Herald, dan Clara. Di tengah tangga lebar, tepat di sisi jendela kaca berbingkai ukiran emas.
Tak ada kata. Tak ada sapa. Hanya tatapan.
Mata Olivia bertemu dengan milik Clara, lalu sedikit melirik Herald. Tidak ada senyum, tidak ada salam, tidak ada rasa hangat keluarga yang menyapa. Hanya... ketegangan yang menekan udara di antara mereka.
Dan momen itu berlalu.
Langkah-langkah sepatu Olivia menjauh, meninggalkan Herald dan Clara dalam diam yang lebih berat dari sebelumnya.
Herald menarik napas pelan. [Ini akan jadi rumit…]