Dante, pria kejam yang hidup di dunia kelam, tak pernah mengenal rasa iba. Namun segalanya berubah saat ia bertemu Lea, gadis lugu yang tanpa sengaja menjadi saksi pembunuhannya. Lea, seorang guru TK polos, kini menjadi obsesi terbesarnya—dan Dante bersumpah, ia tidak akan melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Kini dante dan dion saling berhadapan,tangan dante sudah terkepal erat seolah-olah siap meninju.
Berbeda dengan dion,dia menunjukan raut wajah yang santai,tidak ada wajah ketakutan di sana. Tangan yang di lipat ke depan membuat kekesalan dante bertambah.
"kenapa kau membawa nya pergi?"tanya dante dengan tatapan nyalang.
"aku hanya menyelamatkan nya."jawab dion dengan enteng.
Rahang dante mengeras,gigi nya bergemerutuk. Jika saja yang di depan nya adalah orang lain,mungkin sejak tadi dante akan langsung menghabisi nya.
"kamu telah menyakiti nya dante."ucap nya lagi ,kali ini dengan nada yang tegas.
"berhenti ikut campur dengan segala urusan ku!"
Dion menghela nafas panjang,"jangan egois dante. Semua yang kau ingin kan tidak bisa di beli dengan uang."jelas dion berusaha memberi pengertian kepada adik nya itu.
Dante tersenyum sinis,lalu dia terkekeh. "salah....uang membuat sesuatu hal menjadi mudah."balas nya dengan menaikan satu alis nya,seolah -olah sedang mengejek perkataan kakak nya.
"keras kepala."lirih nya pelan,dengan raut wajah yang datar.
"cukup kak...aku tidak mempunyai banyak waktu,di mana kau menyembunyikan gadis itu."ucap dante dengan cepat. Dia sangat marah kepada sang kakak,akan tetapi dia tidak bisa menyakiti nya. Dante sudah berjanji kepada mendiang ibu nya bahwa dia akan selalu menjaga kakak nya.
...----------------...
17 tahun yang lalu
anak laki-laki berusia 7 tahun menangis di dalam ruangan rawat inap. Pria kecil itu menggenggam tangan seorang ibu muda,tiada lain adalah ibu nya.
"berhenti menangis jagoan.ibu tidak apa apa."ucap seorang perempuan dengan suara yang sangat lemah.
"ibu...cepatlah sembuh,aku rindu berkumpul dengan mu....hiks...hiks..."anak laki-laki itu menangis terisak di hadapan sang ibu nya.
Pintu rawat inap di buka dengan lebar,anak itu dengan cepat menoleh.
"ayah...bagaimana apa uang nya sudah ada?kita harus segera melakukan operasi agar ibu cepat sembuh!"ucap anak itu dengan cepat,raut wajah nya benar-benar menghawatirkan sang ibu.
Sang ayah menggeleng pelan,"ayah belum menemukan pinjaman dante. Semuanya menolak memberikan pinjaman."keluh sang ayah kepada anak bungsu nya.
"sudahlah ayah...aku baik-baik saja."sela sang ibu membuat dante dan sang ayah secara kompak menggelengkan kepalanya,mata mereka berdua berkaca-kaca.
"apa kau meninggalkan dion di rumah sendirian ?"tanya sinta kepada suaminya,terlihat ada kekhawatiran di raut wajah nya.
Sang ayah mengangguk pelan,"biarlah bu..dion hanya demam,ayah sudah meminta ijin kepadanya untuk menengok ibu sebentar."jawab nya dengan senyum yang di paksakan.
Sungguh ironi. Hidup dalam kemiskinan membuat mereka kesusahan, bahkan dion adalah anak yang sakit-sakitan,di tambah dengan sang ibu yang mengalami kanker membuat keluarga itu harus menghadapi ujian bertubi-tubi.
dante adalah putra bungsu dari pasangan sinta dan anton. Dante memiliki otak yang cerdas dan fisik yang kuat,bahkan dante sering kali membantu sang ayah mencari nafkah,setiap pulang sekolah dante akan menyusul sang ayah berjualan sayuran di pasar.
di usia nya yang baru menginjak 7 tahun membuat dia lebih dewasa dari usianya. Bahkan dante memiliki sikap yang dingin terhadap orang lain,tidak ada raut wajah keceriaan di dalam diri dante.
Sementara dion,dia adalah anak pertama. Fisik nya sangat lemah,bahkan sering kali dante selalu melindungi sang kakak jika ada yang membully nya,dion selalu gampang lelah dalam melakukan sesuatu.
Hari kehari ,keadaan sang ibu memburuk,bahkan sang ayah sama sekali belum mempunyai cukup uang untuk menjalani operasi,hingga akhirnya sang ibu tiada.
Sebelum sinta menghembuskan nafas terakhir nya,dia sempat berbincang sebentar dengan anak bungsu nya,hanya berdua di ruangan itu.
Sinta menggenggam erat tangan dante,tatapan nya menyirat permohonan .dante hanya bisa menangis terisak melihat sang ibu yang semakin hari keadaan nya memburuk.
"nak...apa ibu boleh meminta sesuatu?"tanya sinta dengan suara yang mulai serak.
Dante mengangguk cepat,dengan tangan yang masih di genggam sang ibu dante menghapus air matanya dengan cepat.
"jagalah kakak mu. Dion...dia butuh kamu nak,walaupun kamu seorang adik,tapi fisik mu lebih kuat dari nya. Jagalah dia jangan pernah menyakitinya,hanya kamu yang bisa ibu percaya."suara sinta semakin tersendat-sendat.
Namun ada satu kejanggalan yang membuat dante berfikir keras,namun dia tidak berani menanyakan nya.
"hanya kamu yang bisa ibu percaya!"
Perkataan itu terus terngiang di benak bocah berusia 7 tahun itu.
genggaman erat di tangan dante melemah,dan lepas. Membuat dante terbelalak.
"IBU....."
Teriak dante dengan histeris,dante melihat layar monitor,yang menunjukan garis datar. Dengan cepat dante memencet tombol yang berada si sebelah sang ibu,dan tidak lama para dokter masuk kedalam ruangan tersebut.
Dante dan dion menangis tersedu-sedu di atas tumpukan tanah yang basah,dan di taburi bunga yang banyak.Dion dan Dante berdiri di depan makam ibu mereka, tubuh mereka terasa kaku, seolah dunia berhenti berputar. Mata mereka masih menatap batu nisan yang kini menjadi satu-satunya tanda keberadaan Sinta di dunia ini.
dante menyandarkan sekeliling nya,dia baru menyadari di sana tidak ada sosok ayah nya,bahkan semua kerabat sang ibu semua nya telah datang.
"kemana ayah?"gumam nya pelan.
Dion menoleh,dia menghapus air matanya,"aku belum melihat nya,tapi malam tadi saat aku tidur ayah memasukan beberapa pakian kedalam koper."jelas nya dengan suara yang masih serak.
Dante mengerutkan dahi nya,dia merasa bingung,"apa?"
Dion mengangguk kecil,"iya...aku... Kira ayah mengambil beberapa pakaian ganti untuk ibu,tapi sesaat setelah ayah pergi aku mulai berfikir,kenapa ayah memasukan pakaian kedalam koper yang besar."ucap dion dengan polos nya.
Saat dante merenung,mencerna setiap perkataan kakak nya,dante mengepal tangan nya dengan erat.
Langkah kaki terdengar mendekat dari belakang. Dion dan Dante tidak menghiraukannya sampai tiba-tiba mereka merasakan kedua pundak mereka ditekan dengan kuat. Sentuhan itu bukan sesuatu yang asing bukan juga sesuatu yang pernah mereka rasakan sebelumnya.
Mereka menoleh perlahan.
Seorang pria tua berdiri di sana. Rambutnya putih bersih, raut wajahnya dingin dan tajam, matanya menyimpan ribuan cerita yang tak terucapkan. Jas hitam yang ia kenakan tampak mahal, jauh berbeda dengan tamu lain yang hadir dalam pemakaman ini.
"kalian putra dari mendiang sinta?"tanya pria itu.
Dante dan dion saling pandang,hingga akhirnya mereka mengangguk pelan.
pria tua itu tersenyum,wajah nya menandakan kelegaan.
"Kalian tidak sendirian," suaranya dalam, penuh wibawa.
Dion menatap pria itu dengan alis berkerut. "Siapa Anda?"
Pria itu menarik napas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang seharusnya sudah ia ucapkan bertahun-tahun lalu.
"Aku Arman," katanya pelan. "Kakek kalian."
Dante membeku. Kakek? Kakek dari pihak ibu mereka?
Sinta tidak pernah menceritakan banyak tentang keluarganya. Yang mereka tahu, ayah Sinta—kakek mereka—tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Ibu mereka selalu menghindari pembicaraan tentang masa lalunya.
"Kenapa baru sekarang muncul?" suara Dion terdengar tajam. "Di mana Anda selama ini? Saat ibu masih hidup? Saat ibu membutuhkan seseorang?"
Arman menatap mereka dalam-dalam. "Karena ibumu memilih pria yang salah."
Dion mengepalkan tangannya. Sementara itu, Dante hanya bisa diam, matanya mengamati pria tua itu dengan penuh selidik.
"Aku melarang pernikahan itu," lanjut Arman. "Anton bukan pria yang pantas untuknya. Aku memberinya pilihan, tetapi ibumu lebih memilih mengikuti kata hatinya. Aku tidak bisa menerima keputusan itu, jadi aku menjauh."
Dion mencibir sinis. "Jadi sekarang ibu sudah meninggal, dan Anda tiba-tiba ingin hadir dalam hidup kami?"
"Ya," jawab Arman tanpa ragu. "Karena aku tidak akan membiarkan kalian jatuh seperti ibumu. Kalian adalah darah dagingku, dan aku akan memastikan kalian mendapatkan kehidupan yang layak."
Dante akhirnya membuka suara. "Apa maksud Anda? Anda mau membawa kami?"
"Aku tidak hanya ingin membawa kalian," kata Arman. "Aku ingin menjadikan kalian penerusku."
Dion dan Dante saling berpandangan. Mereka tidak mengerti maksud dari kata-kata itu, tetapi satu hal yang mereka tahu hidup mereka baru saja berubah selamanya.