Wanita tegar dan nampak kuat itu ternyata memiliki luka dan beban yang luar biasa, kehidupan nya yang indah dan bahagia tak lagi ada setelah ia kehilangan Ayah nya akibat kecelakaan 10 tahun lalu dan Ibunya yang mengidap Demensia sekitar 7 tahun lalu. Luci dipaksa harus bertahan hidup seorang diri dari kejinya kehidupan hingga pada suatu hari ia bertemu seorang pria yang usianya hampir seusia Ayahnya. maka kehidupan Luci yang baru segera dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahayu Dewi Astuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbaikan
Mobil hitam yang mirip dengan milik William tiba-tiba saja berbelok menuju sebuah jalan kecil dan sunyi. Hal itu tentu saja membuat dua orang penguntit itu kebingungan namun bagaimanapun mereka tak boleh kehilangan jejak William.
"Ikuti saja, jaga jarak."
"Baik." Sahut temannya yang sedari siang fokus menyetir mobil.
Sekitar 300 meter dari jalan utama, tiba-tiba Mobil William terhenti. Sontak hal itu membuat mereka terkejut karena harus menginjak rem dengan cepat. Namun insting mereka kuat, mereka menyadari jika William menyadarinya.
"Mundur, kita putar balik, sepertinya pria itu telah menyadari keberadaan kita."
Baru saja beberapa meter memundurkan mobilnya, tiba-tiba dua mobil diarah belakang menghadang mereka. Mereka sudah menyiapkan senjata tajam untuk melawan orang-orang yang kini mengepung mereka.
"KELUAR! JIKA TIDAK MOBIL INI AKAN MELEDAK." Mendengar hal itu mereka mengumpat kasar kemudian keluar dan mencoba menghajar pria didekatnya.
Satu dua pukulan berhasil mereka layangkan, namun selanjutnya merekalah yang habis dipukuli hingga babak belur.
"Ampun, kami menyerah." Dua pria itu memohon untuk dilepaskan. Tubuhnya sudah tak kuasa menahan rasa sakit.
"Siapa orang yang memerintahkan kalian untuk mengikuti Boss kami?" Tanya anak buah William.
Mereka bungkam, tak mau menjawab. Berkali-kali ditanya seperti itu tak ada jawaban, mereka hanya merengek minta untuk dilepaskan.
"Ambil bensin, dan siramkan pada mereka. Sebaiknya kita membakar manusia yang tidak berguna ini."
"To..tolong jangan, ampuni kami."
Pria itu membuka satu jerigen berisi bensin, kemudian menyiramkan bensin itu keatas tubuh dua pria yang penuh luka itu. Sedangkan Pria yang memerintahkan anak buah nya tadi sedang asik memainkan pematik api yang siap ia lempar kapan saja.
"Ba...baik aku akan mengaku." Ucap pria yang bertugas sebagai supir.
"Ya..! Kau akan menjadi pecundang?" timpal temannya yang masih tak mau mengaku.
"Aku masih ingin hidup, masih ada ibu yang menungguku dirumah, brengsek."
"Mau sampai kapan aku mendengar kalian berdiskusi bodoh seperti itu? sangat membuang-buang waktu." Ucap pria yang memainkan pematik api.
baru saja akan melemparnya, tiba-tiba salah satu dari pria terluka itu membuka mulutnya.
"Nyonya Maria, kami tidak tau bagaimana wajahnya dan siapa dia. Kami hanya bekerja atas perintah dia melalui telpon."
"Kau yakin dia yang memerintahkanmu?"
"Ya..yakin karena saat sedang menelpon dengan ku saat itu aku mendengar seseorang memanggil dia dengan sebutan Maria."
Mendengar nama itu, sudah tak mengejutkan apa lagi kejadian yang menimpa William beberapa terakhir. Wanita obsesi itu tentu saja ingin tau seluruh hal yang bersangkutan dengan William.
Sudah dapat jawaban, mereka semua meninggalkan dua pria terluka itu begitu saja. Dan membakar mobil mereka sebagai tanda bukti jika mereka terluka karena kecelakaan tunggal ditempat yang buta CCTV.
Pria berkacamata segera menghubungi William, melaporkan hal penting kepada Bossnya.
"Hallo, aku telah berhasil menangkap orang yang mengikutimu."
"Siapa mereka?" Tanya William penasaran.
"Mereka dua orang pria yang ditugaskan oleh Maria untuk mencari tau kemana saja anda pergi."
William terdiam sebentar sembari berpikir. Kemungkinan dua pria itu membuntuti William saat dirumah sakit dan melaporkannya pada Maria. Ia merasa khawatir akan terjadi apa-apa pada Ibu Luci.
"Kau tidak salah dengar bukan?" Tanya William meyakinkan.
"Benar Tuan, mereka bersumpah."
"Adahal yang perlu kalian lakukan sekarang, lakukan penjagaan dirumah sakit. Alamatnya akan aku kirimkan lewat pesan."
"Baik, Tuan."
Bip....
telepon berakhir, Luci yang baru saja selesai mandi menghampiri William karena samar-samar ia mendengar tentang rumah sakit.
"Siapa yang Daddy telepon?" Tanya Luci sembari menuangkan air kedalam gelasnya.
"Bukan siapa-siapa, anak buahku membahas pekerjaan padahal sudah larut malam." William mencoba mengelak tak bicara terus terang pada Luci.
"Aku tak sengaja mendengar kenapa kau memerintahkan anak buahmu berjaga dirumah sakit? Siapa yang sakit?" Luci semakin mengulik ingin lebih tau.
William mendekat, mengecup kening Luci, "Bukan siapa-siapa kau mungkin salah dengar." William kini bergelayut manja pada Luci.
"Daddy, diamlah itu sangat menggelikan." Luci meronta sembari tertawa karena William tiba-tiba menggelitiki pinggang Luci.
"Apa kau sudah tak marah padaku?"
"Entahlah, aku akan memikirkannya terlebih dahulu." Luci pergi kekamarnya.
Bukannya William memberikan ruang terlebih dahulu pada Luci, nyatanya pria itu malah membuntuti Luci kekamarnya. Ia hanya menatap Luci tanpa suara sedangkan Luci kini sedang duduk didepan meja riasnya untuk mengeringkan rambut.
"Apa yang sedang kau lakukan? pergi tidur saja, bukannya kau kelelahan?" Luci sedikit mengusir William jujur saja ia merasa canggung dan sedikit malu ditatap seperti itu.
"Aku menyukai warna rambutmu, sehingga tak bisa mengalihkan pandanganku padamu." Goda William.
Wajah Luci memerah, bahkan hair dryer saja sempat terjatuh karena ia merasa salah tingkah dengan godaan William.
"Apa menggoda wanita adalah kebiasaanmu?" Luci berkata seperti orang marah namun itu hanya pengalihan agar William tak tau jika dirinya sedang tersipu.
"Apakah aku terlihat seperti pria penggoda? mungkin kebenarannya para wanitalah yang berlomba menggodaku." William tertawa sembari mendekat ke arah Luci. Ia mengambil hair dryer dari tangan Luci dan membantu mengeringkan rambutnya.
"Ya...ya..yaa dan kau pria yang mudah tergoda." Luci berdecak.
"Tapi kini hanya kau yang mampu membuatku tergoda." Bisik William yang membuat bulu kuduk Luci bergidik.
"Jika Daddy tidak berhenti maka keluarlah."
"Baik-baik aku hanya bercanda." Jawab William sembari mengecup rambut Luci yang wangi.
Perlakuan William begitu lembut, perdebatan serta pertengkaran mereka tadi rupanya cepat mereda. Rasa cemburu yang Luci rasakan pun mulai lupa. Luci menyukai sikap William, meskipun sedikit menakutkan namun ia juga pria yang lembut dan mau mengalah.
Selesai mengeringkan rambut, William tidak segera pergi kekamarnya, ia justru memilih untuk duduk diujung ranjang sembari melihat Luci yang sedang mengenakan skin care malamnya. Luci menyadari hal itu namun ia memilih untuk tetap diam pura-pura tak menyadari sesuatu.
"Bolehkan malam ini aku tidur disini?" Pertanyaan William membuat Luci terkejut.
"Tidak!! Daddy memiliki kamar sendiri. Ayo... sebaiknya kamu segera pergi kekamarmu." Luci mencoba menarik tangan William keluar namun usahanya gagal.
William justru menarik Luci dengan tenaga yang jauh lebih besar, hingga tubuh Luci sangat dekat dengan William. Pria itu memeluk wanitanya dengan erat entah mengapa ia tak mau sendiri malam ini.
"Aku tak ingin tidur sendiri malam ini, rasanya aku masih takut jika aku membuka mata besok kamu sudah pergi."
Mendengar hal itu membuat hati Luci terenyuh, mengapa William begitu takut kehilangan dirinya? gadis miskin yang tak punya keluarga. Bahkan seharusnya Luci yang harus merasa ketakutan karena William kehidupannya lebih ceria, lebih berwarna dan tentunya ekonomi Luci lebih terbantu.
"Ta..tapi ranjangnya tak seluas milikmu." Luci menjawab gugup.
"Tak masalah, apa itu artinya kau mengizinkanku tidur disini?" Tanya William dengan suara yang berat namun pelan.