Ellara, gadis 17 tahun yang ceria dan penuh impian, hidup dalam keluarga yang retak. Perselingkuhan ayahnya seperti bom yang meledakkan kehidupan mereka. Ibunya, yang selama ini menjadi pendamping setia, terkena gangguan mental karena pengkhianatan sang suami bertahun tahun dan memerlukan perawatan.
Ellara merasa kesepian, sakit, dan kehilangan arah. Dia berubah menjadi gadis nakal, mencari perhatian dengan cara-cara tidak konvensional: membolos sekolah, berdebat dengan guru, dan melakukan aksi protes juga suka keluyuran balap liar. Namun, di balik kesan bebasnya, dia menyembunyikan luka yang terus membara.
Dia kuat, dia tegar, dia tidak punya beban sama sekali. itu yang orang pikirkan tentangnya. Namun tidak ada yang tahu luka Ellara sedalam apa, karena gadis cantik itu sangat pandai menyembunyikan luka.
Akankah Ellara menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan? Akankah dia menemukan jalan keluar dari kesakitan dan kehilangan?
follow ig: h_berkarya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya bagian dari kalimat penenang
“minum dulu, kamu menangis sejak pagi tadi” Gavin memberikan sebotol air mineral uang dia ambil dari dalam mobilnya.
Saat ini mereka berdua tengah berada di halaman belakang Rumah Sakit tersebut. Halaman yang cukup asri, dengan pohon serta rumput berwarna hijau yang begitu memanjakan mata.
Ellara menerima minuman itu, meneguknya hingga tandas. Gavin mendudukkan bokongnya di samping Ellara, pandangan mata keduanya melihat ke arah depan, di mana ada banyak pasien yang juga sedang berada di sana di temani para suster mereka masing - masing.
“Apa mama pernah di bawa kesini sama seperti mereka?” tanya Ellara dengan suara pelan. Itu sebenarnya bukan pertanyaan untuk Gavin, gadis itu hanya sedang berpikir jauh.
“Sudah lama, tapi tidak ada perkembangan yang signifikan padanya. Malah terkesan lebih parah, apalagi jika sudah di periksa kalau kata suster yang menanganinya..” entah kenapa, Ellara berbicara panjang lebar, tapi tatapannya masih mengarah ke depan.
“Apa tidak akan ada harapan lagi untukku? Apa mama akan selamanya berada di sini?”
“Bagaimana menurutmu?” dia menoleh, memperhatikan Gavin yang ternyata terus menatapnya sejak tadi. Pria itu bahkan tak beralih saat Ellara memergokinya diam diam mencuri pandang.
Mendengar pertanyaan Ellara yang tiba tiba, Gavin menghela nafas berat, “Tidak selamanya, dia masih bisa di sembuhkan” jawab Gavin dengan mantap. Tidak ada keraguan dari setiap kalimat yang dia lontarkan, seolah olah hal itu benaran terjadi ke depannya.
Ellara tersenyum kecut, bukan hanya Gavin, sudah banyak orang yang mengatakan hal itu sebelumnya. Arkana, para suster bahkan dokter yang menangani mama nya membicarakan hal yang sama bertahun tahun lamanya.
Kalimat tersebut sudah biasa masuk ke telinga Ellara, dan bagi gadis itu, kalimat itu hanyalah bagian dari kalimat penenang untuk gadis yang perlu di kasihani.
“Kenapa tidak kamu bilang saja yang sebenarnya, kalau memang penyakit mental mama nggak bakalan sembuh?” desisnya dengan suara tertahan. Dia menatap dalam manik mata Gavin. Pria itu membalasnya, bahkan tubuhnya sampai ikut menoleh, duduk bersila menghadap pada Ellara.
“Aku bicara serius, Ellara, mama kamu masih bisa sembuh, kemungkinannya sangat besar. Jadi, jangan pernah patah semangat!” balas Gavin, tangannya memegang bahu gadis itu, meyakinkan Ellara dengan sungguh sungguh.
“ckkk, kamu tahu Gavin, kalimat yang baru saja kamu keluarkan sudah berkali kali aku dengar, dan kamu adalah orang kesekian yang mengatakan hal tersebut. Sudah memasuki tahun ke tujuh, itu adalah kalimat yang selalu terdengar dari orang orang, tapi_” Ellara berhenti sejenak, menarik nafasnya yang dalam.
“Aku benci mendengar kalimat itu, sangat benci— sebuah kalimat omong kosong, mama bahkan tidak pernah mau untuk berobat lebih lanjut, gimana bisa sembuh Gavin!!” air mata gadis itu sudah tampak tergenang. Dia mendongak, berusaha keras untuk mempertahankan air matanya agar tidak terjatuh lagi.
Saat ini, Ellara merasa sangat malu. Malu pada dirinya sendiri yang begitu mudah menangis, padahal beberapa tahun terakhir dia sengaja menampilkan sisi kuat agar tidak ada yang mengasihaninya.
“Sudah aku bilang, menangis tidak akan menjatuhkan harga dirimu!” ujar Gavin begitu pelan, sepelan tangannya yang bergerak untuk mengusap lelehan air mata Ellara.
“percaya sama aku, kali ini kalimat tersebut bukan lagi kalimat omong kosong, kamu bisa pegang kata kataku, Ella” kembali, pria tampan itu meyakinkan Ellara dengan tampang seriusnya.
“Bagaimana caranya? Kamu tahu Gavin, mama tidak pernah mau untuk di rawat di luar rumah sakit ini, sudah banyak yang menyarankan untuk dia berobat di tempat lain, tapi hasilnya, dia enggak mau”
“Satu lagi, dia begitu takut pada dunia luar sekarang, aku bingung hendak bagaimana aku meyakinkan mama, sementara dia bahkan menganggap aku bagian dari musuhnya, wanita itu” tidak ada lagi yang Ellara tutupi di depan Gavin. Semuanya sudah terlanjur, pria itu mengetahui fakta besar yang Ellara sembunyikan selama ini.
Gavin mengangguk pelan mendengarnya, dia bahkan tidak mencela. Membiarkan gadis itu bercerita semuanya.
“Sudah?” tanya Gavin saat tidak lagi mendengar Ellara bercerita. Gadis itu mengangguk pelan.
“kamu percayakan semuanya pada ku, tapi tidak dalam waktu dekat, pengobatannya bertahap, kita akan memantau langsung perkembangannya” Ellara hanya mengangguk. Entah dia harus percaya atau enggak, yang jelas gadis itu tidak terlalu berharap banyak dari janji Gavin tersebut.
.
.
“Sweetie..” obrolan mereka harus terjeda kala mendengar Arkana memanggil Ellara. Gavin memperhatikan Ellara, membaca tatapan gadis itu terhadap rivalnya. Ya, Gavin menganggap Arkana sebagai rivalnya dalam merebut hati Ellara.
“kalian disini? Kenapa tidak menungguku?” tanyanya dalam mode merajuk. Dia menarik tubuh Ellara untuk bergeser, kemudian duduk di tengah antara Gavin dan Ellara.
“kenapa lo natap gue gitu amat? Nggak suka?” memperbaiki posisi duduknya, Arkana tersenyum penuh kemenangan, saat melihat wajah masam Gavin.
“lo datang datang nyempil disini, nggak mau cari tempat lain?” tanya Gavin yang sudah mulai mengepal tangannya kuat.
“Tidak, aku mau terus berada di sisi my sweetie. Lagian ya, lo kan sudah punya gandengan baru tuh kemarin, ngapain ada disini?” tanya Arkana blak blakan, berhasil membuat Ellara kembali teringat dengan kejadian tadi pagi. Kejadian di mana Gavin datang ke rumahnya untuk menjemput Melody.
Seketika mood Ellara jadi tambah buruk. Dia berdiri, menarik tangan Arkana “ayok pulang” ujar gadis itu. Arkana tersenyum tipis, antara senyum senang sekaligus mengejek.
Dia ikut berdiri, merapikan penampilannya.
“Maaf Gavin, My Sweetie mau pulang, jadi sorry, gue tidak ada waktu untuk menemani lo mengobrol disini. Oh iya, dari pada bosan, mending lo telepon si murid baru itu, biar tidak jadi nyamuk seperti ini terus” kelakar Arkana dengan tawa yang menggema. Ellara menutup mulutnya, tawa pria itu mengundang perhatian para suster dan pasien di sana.
“Kami pulang” dengan kalimat ketus, Ellara pamit dan berlalu dari sana, meninggalkan Gavin yang duduk seorang diri, memperhatikan dua orang itu sampai hilang dari pandangannya.
“Apakah kamu mencintainya?” lirih Gavin dengan suara sendu. Dia ikut bangkit, bukan ke mobil, tapi pria itu kembali ke dalam area Rumah Sakit.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kenapa diam? Anda sudah menyadarinya? Ya sudah, aku ke kam—"
Koreksi sedikit ya.