Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32. Menyebalkan.
Di rumah keluarga Sanjaya.
“Bagaimana menurut mama?” Pak Antony bertanya pendapat sang istri, mengenai perjodohan William dengan Regina.
“Mama kan sudah katakan, terserah anaknya saja, pa. Mama tidak mau memaksakan kehendak.” Ucap nyonya Aurel, sembari meletakan secangkir kopi hitam di hadapan sang suami.
Mereka baru saja selesai menikmati makan siang, sudah menjadi kebiasaan untuk pak Antony, setelah makan siang ia akan meminum secangkir kopi
“Kita tidak memaksa kehendak, ma. Yang papa lihat, sepertinya mereka memang menjalin hubungan.” Pria paruh baya itu meraih cangkir yang baru di letakkan sang istri, kemudian menyeruput sedikit isinya yang masih mengeluarkan asap.
Nyonya Aurel yang hendak membawa piring kotor ke dapur, menghentikan kegiatannya. Ia hanya menggeser tumpukan piring kotor itu, ke sisi meja yang kosong.
“Mbak…” teriak wanita dua anak itu.
Seorang asisten rumah tangga mendekat, kemudian nyonya Aurel memintanya membawa piring-piring itu ke dapur.
“Maksud papa, apa?” Tanyanya, ia sedikit menggeser kursi yang di tempatinya agar lebih dekat dengan sang suami.
Pak Antony menghela nafasnya pelan. Ia kemudian menceritakan tentang keanehan gelagat William saat Regina mengikuti perawatan bersama di rumah Sanjaya.
Tak hanya itu, pak Antony juga menceritakan hal yang ia lihat di kantor, dimana William dan Regina hampir saja bersilaturahmi bibir.
Cerita pak Antony membuat nyonya Aurel menganga sempurna. Ia kemudian mengatupkan bibirnya, dan menelan ludahnya kasar.
“Mereka baru saling kenal, pa. Lagi pula, Regina masih memiliki kekasih, bukan?”
Pak Antony mengedikan bahunya tanda tak tahu.
“Itu kan baru pendapat papa, ma. Jika memang benar mereka ada hubungan, ya bagus toh.” Pria paruh baya itu terkekeh. Ia kembali meminum kopi buatan sang istri.
“Apa papa masih berniat mengerjai mereka?”
“Tentu saja. Papa masih belum puas mengerjai mereka. Enak saja di kantor di jadikan tempat pacaran. Mereka tidak tau, Antony Sanjaya itu siapa.”
Nyonya Aurel pun mencebikan bibirnya.
“Oh ya pa, minggu depan mama mau pulang kampung, ya. Sudah lama mama tidak pulang.” Pandangan nyonya Aurel menerawang jauh, sudah hampir 20 tahun wanita itu tidak pernah pulang ke kampung halamannya.
Hidup menjadi seorang yatim piatu sejak berusia 10 tahun, membuat nyonya Aurel tidak mempunyai alasan untuk sering mengunjungi kota kelahirannya.
“Iya, nanti papa temani. Papa juga ingin bertemu dengan Regan.” Pak Antony menyebut nama salah satu teman masa sekolahnya dulu. Teman yang mengenalkannya dengan sang istri.
“Apa kabar ya dia sekarang?”
“Mama juga tidak tau, pa.” Nyonya Aurel mengedikan bahunya.
Ia juga teringat dengan sahabatnya yang bernama Regan, mereka berdua bertemu di bangku SMP, dan menjalin pertemanan hingga masa kuliah. Regan pula yang mengenalkan Nyonya Aurel dengan pak Antony, saat itu pak Antony sedang melakukan kuliah kerja nyata, di kota kelahiran sang istri.
“Papa salut dengan pertemanan kalian. Biasanya laki perempuan kalau berteman, salah satunya pasti ada yang menyimpan cinta. Tetapi, mama dan Regan, justru saling mencarikan jodoh satu sama lain.” Pak Antony mengenang masa lalu.
“Ya, mama dan Regan kan sudah tau kejelekan masing-masing, pa. Kalau kami menikah, yang ada nanti saling gontok-gontokan.” Nyonya Aurel tergelak. Teringat dulu ia sering menyusahkan sabahatnya itu. Hingga pria itu ingin memutuskan pertemanan mereka.
“Ah. Mama jadi tidak sabar. Apalagi bertemu dengan putrinya Regan. Papa ingat, gadis kecil yang kumel, dan ingusan itu?”
“Ya papa ingat, gadis yang sering mengejar William, dan membuat anak itu trauma untuk mengunjungi kampung halaman mu.” Pak Antony ikut tergelak, kala teringat seorang gadis berusia 6 tahun, dengan rambut kepang dua, dan ingusnya yang meler, mengejar William hingga sang putra jatuh terjungkal ke dalam selokan.
“Papa heran, anaknya Regan itu, setiap kita pulang kampung, pasti dia selalu ingusan. Apa jangan-jangan anak kecil itu menderita pilek menahun?”
“Mama juga tidak tau, pa. Padahal kita pulang di musim panas. Tetapi anak itu selalu saja pilek.”
Saat tengah asyik mengenang masa lalu, perhatian nyonya Aurel teralihkan dengan Willona yang turun tergesa-gesa dari kamarnya.
“Sayang, ada apa? Kenapa terburu-buru begitu?” Nyonya Aurel bangkit, mendekat ke arah sang putri.
“Ma, aku harus ke luar kota. Ada pemotretan dadakan.” Willona mencium pipi sang mama. Ia kemudian mendekat ke arah sang papa pun melakukan hal yang sama.
“Kalau dadakan begini, mending tidak perlu, Na. Papa masih sanggup membiayai hidup kamu. Daripada kamu ada apa-apa di jalan.”
“Tidak kok, pa. Pemotretannya besok pagi, aku dapat flight dua jam lagi.” Adik William itu menjelaskan, ia pun permisi meninggalkan kedua orang tuanya.
“Sudah lah, pa. Cukup doakan saja, semoga putrimu selamat dimana pun berada. Menjadi model itu, sudah menjadi cita-cita sejak kecil.”
Pak Antony mengangguk pasrah, ia lebih baik melihat sang putri duduk manis di rumah, daripada kejar-kejaran waktu begini.
****
“Sudah? Aku mau kembali ke depan. Banyak pekerjaan yang belum selesai.” Regina bangkit dari atas pangkuan sang atasan. Ia hendak mencuci piring bekas makanan pria itu.
“Sebentar lagi, Hon. Aku masih kangen sama kamu.” Pria itu menahan pinggang sang sekretaris.
Regina menghela nafasnya pelan.
“Nanti malam, ya? Kita selesaikan dulu pekerjaan kita. Lebih cepat selesai, lebih cepat juga kita pulang.”
William menyeringai mendengar ucapan Regina. Terlintas ide-ide gila di benaknya. Pria itu kemudian membiarkan Regina bangkit dari pangkuannya.
“Putri Regina Prayoga. Aku pastikan, kamu akan menjadi milikku. Dan akan aku pastikan, kamu akan segera mengandung anakku.”
William bermonolog setelah Regina keluar dari ruangannya. Ia sudah sangat jatuh cinta pada wanita itu.
Pria itu kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi orang suruhannya yang bertugas mengikuti Alvino dan Tamara.
“Bagaimana?”
“Pria itu lebih banyak menghabiskan malam di apartemen sekretarisnya, bos. Aku akan mengirim beberapa gambar. Tetapi, hanya gambar saat pria itu memasuki pintu. Untuk hal yang di lakukan di dalam, aku tidak tau.”
William menghela nafasnya pelan.
“Ya sudah, kirim segera.”
Pria itu memutus panggilan begitu saja. Sangat sulit melabrak Alvino jika bukan di apartemen pria itu.
“Sial.”
*****
Willona memasuki areal bandara dengan terburu-buru. Ia berjalan sembari merogoh ponsel di dalam tasnya. Sementara tangan kirinya mengeret sebuah koper berukuran sedang, yang berisi segala keperluannya.
“Mana sih?” Wanita itu menggerutu. Ia terus saja berjalan tanpa memperhatikan sekitarnya, hingga tanpa sadar tubuhnya menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.
“Maaf, maaf.” Ucapannya namun ia sama sekali tak menoleh, karena sibuk mencari ponsel di dalam tasnya.
Sementara orang yang ia tabrak, masih mematung pada tempatnya. Saat Willona hendak berlalu, orang itu menghadang jalannya. Membuat Willona mencari jalan lain, namun kembali di hadang.
“Apa-apaan sih?” Wanita itu merasa kesal. Ia kemudian melihat orang yang telah menghalangi jalannya.
“Mak—.” Willona tak mampu melanjutkan kata-katanya, kala mendapati seorang pria tampan sedang berdiri menatapnya dengan lekat.
“Lain kali, kalau berjalan gunakan kakimu untuk melangkah, dan matamu untuk melihat. Tindakkan seperti tadi bisa membahayakan orang lain, dan juga dirimu.”
Mata Willona membulat sempurna. Pria tampan itu menceramahinya dengan nada suara tinggi. Wanita itu pun melihat ke sekitarnya, ada beberapa pasang mata yang tengah memperhatikannya kini.
“Aku sudah minta maaf.”
“Maaf mu tidak ada gunanya jika di ucapkan dengan tidak memandang lawan bicaramu.”
Astaga.. Willona ingin sekali mengumpat pria di depannya ini. Apa tidak bisa bicara dengan nada yang lebih rendah? Malah semakin meninggi, dan membuat mereka semakin menjadi pusat perhatian.
“Kamu—.”
Belum sempat membalas pria itu, ponsel wanita itu berdering, dan terlihat nama sang asisten yang menghubunginya.
“Maaf, aku buru-buru.” Wanita itu pun berlalu begitu saja.
Pria tampan itu menatap tak percaya. Apa seperti itu kelakuan orang-orang di ibukota?
“Menyebalkan.”
.
.
.
Bersambung.