Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Tentang keluarga Raya
"Siapa yang sakit, Ray?" Adrian melaju kecepatan tinggi, sebab melihat kepanikan yang terpampang di wajah Raya.
"Putriku," jawab Raya. Dan saat itu, Adrian langsung mengerem mendadak ditengah jalan.
"Siapa?" Adrian kembali bertanya, dengan raut wajah syok.
"Putriku," jawab Raya dengan tegas, bahkan menatap Adrian dengan percaya diri, "aku sudah pernah menikah, dokter."
"Tung .... Tunggu!" Adrian mengusap wajahnya dengan kasar. Kaget dan syok bersamaan. "Kamu sudah pernah menikah? Kenapa kamu tidak bilang padaku?"
Raya menatap nanar, reaksi yang diberikan Adrian setelah mengetahui statusnya. Ia tahu, pria itu akan seperti ini pada akhirnya. Tapi, mengapa terasa sakit?
"Dokter. Kita hanya berteman, tidak lebih. Saya tidak mungkin memberitahu semua masalahku kepadamu. Jika Anda merasa kecewa. Saya minta maaf. Saya turun disini saja."
"Tidak. Aku akan mengantarmu." Adrian kembali melaju, dengan perasaan gundah. Semua terlalu mendadak, seperti seseorang yang tidak mempersiapkan diri akan datangnya masalah.
Raya berlari masuk dalam rumah sakit, setelah berpamitan. Sementara, Adrian termenung dalam mobil. Entah harus bagaimana. Sesekali ia menatap gedung yang didominasi warna putih itu. Apakah ia harus masuk atau tidak?
Adrian menekan dirinya, tentang perasaan yang sebenarnya kepada Raya. Jika memang takdirnya seperti itu, untuk apa dia menyalahkannya. Setelah berdiam diri cukup lama, ia masuk menyusul Raya.
"Bagaimana Lily, Bu?" Raya langsung menghampiri putrinya yang terlelap. "Dia sakit, apa?"
"Duduk dulu, Nak." Ibu menarik tangan putrinya. "Lily muntah-muntah dan diare dari subuh. Ibu langsung membawanya ke rumah sakit, sama ayahmu."
"Lalu, sekarang bagaimana? Mana ayah?"
"Dia sudah minum obat, lalu tidur. Tadi, sempat muntah lagi, tapi cuma sekali. Lalu, tidur lagi. Ayahmu keluar sebentar."
Raya kembali bangkit dan memeluk Lily. Terisak tanpa suara. Kecupan demi kecupan ia berikan, untuk meluapkan rasa rindu. Ia mengusap rambut Lily dan merasa iba dengan jarum infus yang menancap dipunggung telapak tangannya yang mungil.
"Maafin, Mama, Nak." Raya kembali mengecup dahi Lily. "Mama, minta maaf, sayang."
Tok tok tok
Semua menoleh. Dokter Adrian muncul dengan membawa keranjang berisi buah. Ia menyapa ibu Raya dengan sopan dan memperkenalkan diri.
"Saya Adrian, Tante. Saya teman Raya," ujar dokter Adrian. Ibu hanya menatap putrinya, meminta penjelasan dari sorot matanya.
"Anda belum pulang, dokter?" Raya menatap bingung.
"Kenapa aku harus pulang?" jawab Adrian, yang menghampiri bed tempat Lily terbaring, "lucunya," Adrian mengusap-usap pipi Lily yang tembem.
"Tapi, Anda harus bekerja, dokter."
"Pasienku sudah selesai." Adrian menatap Raya. "Apa kamu sedang mengusirku?"
"Tidak. Bukan maksud saya seperti itu. Saya hanya tidak ingin mengganggu pekerjaan Anda."
Disaat itu, ayah Raya muncul dengan membawa kresek berisi makanan. Ia mematung sejenak, melihat ada pria asing dalam ruangan.
"Raya," panggil ayah dengan sorot mata meminta penjelasan.
"Dia temanku," jawab Raya. Namun, dengan cepat Adrian justru memperkenalkan diri.
"Jadi, kamu seorang dokter?" tanya ayah, sembari memberikan kantong kresek pada ibu.
"Iya, Om. Saya dan Raya satu tempat kerja."
"Baiklah. Nak Adrian, bisa kita bicara sebentar diluar."
Ayah mengajak Adrian keluar ruangan. Hanya pembicaraan biasa antara lelaki beda usia, tetapi ayah memilih taman rumah sakit.
"Sudah berapa lama, mengenal Raya?"
"Baru sebulan, Om."
"Kalau begitu, .... "
Lily yang sudah bangun, tidak mau melepaskan pelukannya dari sang ibu. Meski, Raya sudah didepan mata, Lily masih terisak seolah takut ditinggalkan.
"Mama," celotehnya sembari sesegukan. Ia melingkarkan kedua tangannya dileher sang ibu.
"Mama disini, sayang. Mama tidak akan pergi."
"Kamu tidak bekerja, Nak?" tanya ibu, yang melihat jam dinding sudah hampir jam dua siang.
"Aku sudah izin, Bu. Besok saja, kalau Lily sudah agak baikan."
Adrian dan ayah kembali. Entah apa yang mereka bicarakan sampai selama itu. Raya tidak ingin menerka, toh keduanya tidak punya hubungan apa-apa.
"Maaf, Tante. Saya harus pamit," ujar Adrian yang bersalaman kepada ibu.
"Ray, aku pamit." Adrian menghampiri Lily dan mengusap rambutnya. "Cepat sembuh, Nak."
Ayah duduk di sebelah sang istri. Meski, hubungan mereka tidak sama lagi, ibu tidak pernah membentak sang suami didepan anak-anaknya. Ia memang terluka, namun seiring waktu, ia mulai berdamai dengan takdir. Apalagi, sang suami mulai menunjukkan kepedulian, sejak Raya menikah.
"Kau sudah makan? Aku sengaja membelikan makanan kesukaanmu," ujar ayah, yang menatap bungkusan makanan masih utuh.
"Aku tidak selera."
"Makanlah sedikit saja, kau bisa sakit. Bagaimana kau akan menjaga Lily, jika kau sakit."
Dengan terpaksa, ibu meraih bungkusan makanan itu.
"Ayah, membicarakan apa, kepada dokter Adrian?" Raya menepuk-nepuk punggung Lily dengan lembut, agar segera tidur.
"Menjauhimu! Dia terlalu tinggi untuk kamu gapai. Sudah cukup, Arya merendahkanmu."
"Kami tidak ada hubungan apa-apa. Dia temanku."
"Raya. Kau sudah pernah menikah sekali. Seharusnya, kau paham, bagaimana dia memperlakukanmu, memperhatikanmu. Hubungan pertemanan yang baru terjalin sebulan, tidak akan seintens itu."
Raya tidak menjawab. Ia memilih diam, karena apa yang dikatakan sang ayah, memang benar. Jika hubungan itu terus berlanjut, ia akan terluka untuk kedua kali.
"Nak, ayah kamu benar. Dia seorang dokter dan ibu yakin dia pasti dari keluarga berada."
"Bu, ayah. Aku tahu diri. Aku sudah bilang kami hanya berteman. Dia hanya memberikan tumpangan, tidak lebih."
"Raya. Maafkan ayah, Nak. Seharusnya, kamu tinggal di rumah sampai masa iddahmu selesai. Maafkan ayah, yang seharusnya membantumu di masa sulit."
"Sudahlah, ayah. Semua sudah terjadi, yang penting aku tidak melakukan apa-apa, selain bekerja. Biar Tuhan yang memutuskan. Apa aku berdosa atau tidak?"
Memang seharusnya, Raya menghabiskan masa iddah sebelum bekerja. Namun, apalah daya, situasi memaksanya untuk bekerja. Arya tidak peduli kepada putrinya, jadi mustahil dia akan memberikan nafkah. Mau tidak mau, Raya harus banting tulang.
Malam hari, ibu tiri Raya datang membawakan mereka makanan. Sudah bertahun-tahun berlalu, ibu Raya akhirnya menerima kehadiran madunya. Dulu sekali, mereka sering bertengkar. Istri sah yang tidak ingin menerima kehadiran wanita lain. Dan si wanita, yang merasa berhak memiliki segalanya, karena ayah Raya selalu berpihak padanya.
Lambat laun, ibu Raya mengalah, meski tidak pernah ikhlas. Apalagi, saat itu ia kesulitan mendapatkan nafkah dari sang suami.
Mungkin Tuhan, mendengar doa Ibu yang setiap malam, terbangun di tengah lelapnya orang-orang yang bermimpi indah. Sang ayah yang telah menikah lagi, nyatanya tidak dikaruniai seorang anak. Hingga, perlahan ia mulai kembali, meski tidak melepaskan sang istri muda.
"Kamu mau pulang?" tanya ibu kepada madunya.
"Iya, Mbak. Saya hanya antar makanan. Kebetulan, dekat sini ada adik saya tinggal. Kalau perlu apa-apa, telpon saja. Saya akan tinggal disana, sampai kalian pulang."
Raya hanya memperhatikan situasi didepannya. Si madu yang dulu ia benci, kini benar-benar berubah. Mungkin waktu dan umur, bisa mengubah sifat seseorang.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat