Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arka Ditemukan
Berita hilangnya bayi Amira yang bernama Arka menyebar dengan cepat di lingkungan sekitar. Banyak yang turut bersimpati pada Amira, termasuk Angga, yang merasa bersalah meskipun tidak tahu harus berbuat apa. Namun, dorongan untuk membantu mantan istrinya itu segera dipatahkan oleh Nia.
“Mas, kalau kamu benar-benar ingin kembali ke Amira, bilang saja!” seru Nia dengan nada tinggi ketika Angga menyebutkan keinginannya untuk membantu Amira.
“Nia, aku hanya ingin membantu mencari anak Amira yang hilang. Itu tidak ada hubungannya dengan hubungan kita,” jawab Angga dengan nada frustrasi.
“Jangan sok jadi pahlawan, Mas! Anak itu bukan urusanmu lagi!” bentak Nia sambil membanting pintu kamarnya.
Ratna, yang mendengar pertengkaran itu, segera memihak Nia. “Masih banyak masalah di rumah ini, Angga! Jangan buang waktumu untuk perempuan itu. Fokus urus keluargamu sendiri,” ujar Ratna tegas.
Angga hanya bisa menghela napas panjang. Di dalam hatinya, ia merasa terbelah antara rasa tanggung jawab dan tekanan dari keluarganya saat ini.
Sementara itu, di kontrakan kecilnya, Amira tidak pernah berhenti menangis setiap malam. Bu Sari dan Reza selalu ada untuk menguatkan, meskipun mereka sendiri merasa kehilangan harapan.
“Amira, polisi sedang bekerja. Kita harus percaya pada mereka,” kata Bu Sari suatu malam ketika Amira terlihat putus asa.
“Tapi bagaimana kalau Arka nggak pernah ditemukan, Bu?” jawab Amira dengan suara serak.
“Jangan berpikir seperti itu, Kak. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Reza sambil memberikan segelas air hangat kepada Amira.
Loli, yang diam-diam terus mencari informasi tentang keberadaan Arka, merasa frustrasi karena semua usahanya tidak membuahkan hasil. Ia menyebarkan poster di berbagai tempat, bertanya kepada orang-orang, dan bahkan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang kehilangan bayi itu.
Namun, setiap langkah yang ia ambil berakhir dengan jalan buntu. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat, dan seolah-olah bayi itu menghilang begitu saja dari dunia.
Di sisi lain, Ratna menjalani harinya dengan tenang, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Setiap kali ada percakapan tentang pencarian Arka, ia selalu ikut menunjukkan rasa simpati yang palsu.
“Kasihan Amira. Kalau aku tahu siapa yang menculik anak itu, pasti sudah kulaporkan ke polisi,” ujarnya kepada tetangga, yang membuat Amira semakin percaya bahwa Ratna tidak terlibat.
Namun, di dalam hatinya, Ratna merasa puas. Rencana gilanya berhasil, dan ia yakin tidak ada yang akan mencurigainya.
Hari-hari berlalu, dan keputusasaan mulai menyelimuti Amira. Kehilangan Arka adalah pukulan terbesar dalam hidupnya, dan meskipun banyak yang mendukungnya, ia merasa sangat sendirian.
“Bu Sari, bagaimana kalau Arka benar-benar nggak kembali lagi?” tanya Amira suatu malam, air matanya mengalir deras.
“Jangan pernah berkata seperti itu. Kita akan menemukannya,” jawab Bu Sari sambil memeluk Amira erat.
Reza, yang mendengar percakapan itu, hanya bisa menggenggam tangan Amira. “Aku janji, Kak Amira. Kita nggak akan berhenti mencari sampai Arka kembali,” ucapnya dengan suara penuh keyakinan.
Meskipun merasa aman, Ratna tidak bisa sepenuhnya tenang. Setiap kali melihat poster yang disebarkan oleh Loli atau mendengar pembicaraan tentang pencarian Arka, ada ketakutan kecil yang muncul di dalam hatinya.
“Apa aku benar-benar aman?” pikirnya suatu malam.
Namun, ia segera menepis rasa takut itu. “Nggak akan ada yang akan tahu. Semua sudah berjalan sempurna,” yakinnya pada dirinya sendiri.
Namun, ia tidak menyadari bahwa setiap langkahnya akan meninggalkan jejak, dan kebenaran selalu memiliki cara untuk terungkap.
****
Satu bulan berlalu, kabar tentang anaknya yang hilang kini benar-benar raib. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut.
Sore itu Amira dan Loli yang sedang berbelanja di salah satu minimarket terhenti langkahnya ketika mata Amira tertuju pada seorang pria yang sedang mendorong troli bayi. Awalnya, itu tampak seperti pemandangan biasa, tetapi naluri seorang ibu membuat Amira langsung merasa ada sesuatu yang berbeda.
Amira mendekati pria itu perlahan, dan semakin dekat ia melihat bayi tersebut, hatinya langsung bergetar. Itu Arka! Tak salah lagi, bayi itu adalah anaknya.
“Maaf, Pak,” ucap Amira dengan suara bergetar, “bolehkah saya melihat bayi Anda?”
Bram, pria yang membawa bayi itu, merasa bingung. “Ada apa, Bu?” tanyanya sopan.
“Ini anak ku... Dia anak ku!” teriak Amira tiba-tiba, membuat beberapa orang di minimarket menoleh.
Bram menarik troli bayinya sedikit mundur, merasa curiga dengan Amira yang mulai terlihat emosional. “Bu, saya rasa Anda salah. Ini anak saya,” ujar Bram dengan nada tegas.
“Nggak, Pak. Saya nggak salah! Saya tahu itu anak saya. Dia punya tanda lahir di dekat pergelangan tangannya. Boleh saya lihat?” pinta Amira sambil mendekat, air matanya mulai mengalir deras.
Loli yang berada di sebelah Amira ikut bicara. “Pak, mohon maaf. Kami kehilangan anak beberapa waktu lalu, dan bayi ini sangat mirip. Tolong beri kami kesempatan untuk membuktikan.”
Melihat ketulusan dan kepanikan Amira, Bram akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi beri saya waktu sebentar.”
Bram memeriksa pergelangan tangan bayi itu, dan ia memang menemukan tanda lahir yang dimaksud oleh Amira. Wajah Bram berubah serius. “Apa ini berarti... bayi ini benar-benar anak Anda?” tanyanya pelan, suaranya mulai goyah.
Amira mengangguk sambil menangis. “Dia Arka. Saya ibunya, Pak.”
Bram menghela napas panjang, lalu berkata, “Ibu, saya tidak tahu apa-apa soal ini. Saya hanya diberi tahu bahwa bayi ini diberikan oleh orang tuanya yang tidak mampu membesarkannya. Saya mengadopsinya secara legal melalui tangan kanan saya. Kalau benar ini anak Anda, saya ingin semuanya dijelaskan.”
Amira dan Loli sepakat untuk membawa masalah ini ke pihak berwajib. Bram, yang ingin memastikan semuanya, ikut bersama mereka. Setelah berbicara dengan pihak kepolisian dan memeriksa dokumen adopsi yang dimiliki Bram, kecurigaan mulai mengarah pada tangan kanan Bram sebagai dalang dari kejahatan ini.
Polisi segera menghubungi pria tersebut, yang akhirnya mengaku bahwa ia mendapatkan bayi itu dari seorang wanita bernama Ratna.
“Dia bilang itu cucunya, tapi ibunya tidak mampu merawatnya. Saya hanya membantu menjual bayi itu kepada Pak Bram,” ujar pria itu dengan nada takut.
Amira terkejut mendengar nama Ratna disebut. Apakah itu Mertuanya sendiri yang telah menculik anaknya?
Ketika polisi datang ke rumah Ratna untuk meminta keterangan, Ratna awalnya menyangkal. “Aku nggak tahu apa-apa soal ini! Kalian pasti salah paham!” ujarnya dengan nada tinggi.
Namun, setelah polisi menunjukkan bukti dari pengakuan tangan kanan Bram dan transfer uang yang mengarah kepadanya, Ratna tak bisa lagi mengelak.
Ratna akhirnya mengaku. “Ya, aku yang melakukannya! Tapi saya hanya ingin memberikan masa depan yang lebih baik untuk anak itu. Amira nggak pantas menjadi ibu!” teriaknya penuh emosi.
Betapa terkejutnya Angga saat mengetahui kalau Ibunya sendiri yang telah menjual anaknya Amira.
"Ibu, kenapa setega itu dengan Amira? Saat Amira tak lagi menjadi istri ku pun, Ibu masih begitu jahat kepadanya," ucap Angga hampir menangis, dia tidak menyangka dengan itu semua.
Ratna hanya bisa diam sambil menahan malu saat kedua tangannya telah di borgol oleh polisi dan akan segera dibawa ke kantor polisi. Banyak tetangga yang melihat hal itu, terdengar teriakan para tentangga menyoraki Ratna.
Ratna ditangkap atas tuduhan penculikan dan perdagangan anak. Angga yang mengetahui hal ini merasa sangat kecewa dengan ibunya sendiri. Nia, di sisi lain, merasa lega karena hal ini tidak lagi menyangkut dirinya.
Bayi Amira, Arka, akhirnya kembali ke pelukan ibunya setelah perjuangan panjang. Bram, yang merasa bersalah meskipun ia juga menjadi korban, meminta maaf kepada Amira. “Aku nggak tahu bayi ini hasil penculikan. Kalau aku tahu, aku nggak akan pernah melakukannya.”
Amira menerima permintaan maaf Bram dengan lapang dada. “Yang penting sekarang, Arka sudah kembali. Terima kasih karena kamu telah merawatnya selama ini.
"Nggak masalah, tapi bolehkan aku meminta nomor mu? hanya untuk menjalin silaturahmi," ucap Bram.
Amira mengangguk setuju dan mereka saling bertukar nomor.
Sementara itu dii tengah semua kekacauan itu, hubungan Loli dan Reza semakin dekat. Reza selalu ada untuk mendukung Loli yang merasa malu dengan perbuatan ibunya.
“Loli, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Kamu udah banyak membantu Kak Amira,” kata Reza suatu hari.
“Terima kasih, Reza. Aku nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada kamu di sisiku,” jawab Loli dengan senyum kecil.
Reza hanya membalas dengan senyuman, menyadari bahwa perasaannya kepada Loli semakin tumbuh setiap harinya.