Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
SELAMAT MEMBACA
Zevanya merasa tidak lagi memiliki muka di hadapan pria yang selalu menekankan dan mengingatkan bahwa dia adalah suaminya, seolah dirinya adalah pasien yang amnesia, lupa telah memiliki suami.
“Makan dulu,” ujar Wira, berpapasan dengan Zevanya yang keluar dari kamar mandi. Lelaki itu baru saja selesai menjemur seprei dan beberapa baju kotor yang ia bawa pulang.
Zevanya menggeleng, “Kita makan bersama,” suaranya lirih, namun masih bisa di dengar. Hari mulai gelap dan sebentar lagi akan magrib.
“Tapi makanannya akan dingin, nanti tidak enak.” Katanya, karena ia menyiapkan makanan sejak tadi sore.
“Tidak apa-apa, saya bisa memanaskannya.” Zevanya melirik meja makan yang di penuhi masakan, tampak lezat dan menggugah selera.
“Hm, kalau begitu saya mandi dulu.” Wira berlalu di hadapan Zevanya dengan senyum tipisnya menuju kamar untuk mengambil baju ganti, sekembalinya untuk memasuki kamar mandi ia melihat Zevanya yang tengah sibuk memanaskan makanan yang bisa di panaskan.
Pandangan Wira intens di punggung rapuh gadis itu, ia berharap Zevanya bisa melupakan kejadian tadi di mana ia hampir saja di lecehkan.
Merasa diperhatikan, Zevanya menoleh ke belakang. “Hmmm?” Gadis itu menaikkan salah satu alisnya, tanda bertanya.
“Oh yaa... saya hanya khawatir perutmu masih nyeri,” kelip Wira seraya mengusap perutnya sendiri.
Diingatkan kembali membuat wajah gadis itu kembali memerah, ia dengan cepat berbalik dan mempersingkat pembicaraan itu. “Sudah mendingan. Mas Wira cepatlah mandi,”
Telinga Wira bergerak mendengar panggilan itu lagi, rasa asing kembali menyelimuti hatinya. Ia memegang dadanya dengan bibir tersenyum, langkah kakinya mulai berlalu menuju kamar mandi.
***
Zevanya menyendok nasi dan lauk pauk, lalu diberikannya pada Wira yang senantiasa menunggu sejak tadi. Momen ini ada momen yang paling Wira tunggu, bisa kembali makan bersama dengan gadis di depannya dan merasa tersanjung karena dilayani seperti ini.
“Terima kasih,” ucap pria itu dan mendapatkan anggukan Zevanya.
Zevanya kembali mengambil piring untuk dirinya, tetapi fokusnya teralih pada Wira yang belum menyentuh makanannya. “Kenapa?” tanya gadis itu.
“Tidak ada, saya hanya menunggumu agar bisa makan bersama.” Jujur pria itu, Zevanya menggeleng pelan. Ia pun melanjutkan gerakan tangannya, dan duduk berhadapan dengan Wira. Keduanya menikmati makan malam dalam keheningan.
Wajah Zevanya tidak bisa menyembunyikan betapa rasa masakan ini sangat enak, padahal makanan dingin yang di panaskan.
“Kamu suka?” Wira senang melihat Zevanya makan dengan lahap.
“Mmmm, sangat suka. Seperti makan di restoran,” Zevanya terkekeh dengan jawabannya sendiri, padahal ia sama sekali tidak pernah makan di restoran. Tetapi ini sungguh, masakan Wira sangat enak.
“Kalau begitu, makanlah lebih banyak.” Wira menambahkan sayur di piring gadis itu, ia bertekad membuat Zevanya lebih berisi. Tidak kurus seperti saat ini, entah kesulitan hidup seperti apa yang telah dia lewati di luar sana.
Setelah menghabiskan makan malam, keduanya berpindah ke ruang tamu. Duduk bersisian pada satu-satunya sofa di sana. Wira memaku tas, mengeluarkan laptop ukuran sedang. Ia akan menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertinggal.
Zevanya menatapnya dengan penasaran, tidak menyangka ternyata Wira memiliki benda tersebut.
“Saya membelinya saat kuliah,” beritahu Wira. “Oh ya, maaf. Saya tidak bisa memberikanmu kabar kemarin, karena tidak memiliki nomor teleponmu.” Wira pun meminta nomor telepon Zevanya.
Zevanya menggeleng pelan, ponselnya hilang. Sepertinya terjatuh tanpa ia sadari saat berusaha melarikan diri dari Adrian beberapa waktu lalu.
“Ponselmu?” tanya Wira mengadakan tangan, ia berniat memasukkan nomor istrinya di ponsel.
Zevanya menggeleng, “Sepertinya hilang saat kejaran tadi,”
Pria itu terdiam sejenak, menyelami kembali rasa bersalah. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain meminta permohonan maaf.
Tidak membiarkan hal tersebut berlarut, Wira menyalakan laptopnya, dan mulai berkutat dengan benda tersebut.
Zevanya mengintip, melihat diagram yang tidak dimengerti lalu kembali pada posisinya. “Pekerja yang tidak sempat saya selesaikan di sana, jadi saya bawa pulang.” Wira kembali menjelaskan tanpa diminta. Membuat Zevanya bertanya pekerjaan seperti apa, namun hanya tersangkut di tenggorokan karena sungkan dan tidak ingin mengganggu.
Zevanya menyender dagunya dengan satu tangan, lalu berupa posisi melipat tangannya di dada, kemudian memeluk lutut dan menyenderkan wajahnya di sana. Ingin masuk ke kamar, tetapi belum mengantuk. Lagi pula ia akan kembali bosan jika di dalam sana, tidak ada yang bisa di lakukan.
Wira menyunggingkan senyum tipis, melihat Zevanya di sampingnya yang tampak kebosanan. Ia meraih ponselnya, dan memberikan pada gadis itu setelah membuka fitur permainan.
“Hm?” Zevanya menatapnya dengan kebingungan.
“Ini mainlah, sekalian kamu menemani saya bekerja.” Kata pria itu dengan kekehan pelan.
Zevanya memalingkan wajah, tetapi tangannya tak urung menerima benda pipih tersebut. Wira kembali terkekeh melihat betapa antusiasnya Zevanya bermain. Ia tak lain seperti bocah yang baru saja mencoba hal baru.
Keesokan harinya, Wira sudah mendapati Zevanya di dapur tengah memasak. Tampilannya segar, karena gadis itu telah mandi.
Wira tidak ingin mengganggu, ia lebih memilih menuju ruang tamu dan mulai membersihkan dan merapikan. Ketika memasuki kamar untuk menyimpan selimut dan bantal, terlihatnya kamar telah rapi. Wira berjalan menuju lemari, ia mengambil baju ganti berniat membersihkan diri sebelum makan.
“Mmmm, hanya telur dadar dan sayur bening. Stok makanan di kulkas telah habis.” Wira mengangguk lalu menarik kursi untuk ia duduki. Zevanya seperti biasa menyimpan nasi dan lauk pauk di depannya, gadis itu juga menuangkannya air minum. Aktivitasnya diamati begitu lekat oleh sang pria, membuat Zevanya gugup.
“Saya memang berniat berbelanja hari ini untuk stok mingguan kita. Perutmu bagaimana, masih keram?” tanyanya penasaran.
Zevanya menggeleng, “Tidak lagi, hanya di hari pertama saja.” Jelasnya dengan wajah berpaling. Membahas hal tersebut, kembali membuatnya malu. Mengingat bagaimana Wira memperlakukannya saat itu.
“Syukurlah, kalau begitu kita bisa pergi bersama untuk berbelanja.” Ucap Wira terlihat misterius.
Dan benar saja. Bukannya menuju tempat penjualan sayur dan sebagainya. Mereka malah menuju toko elektronik.
Pria itu menanyakan dan melihat-lihat merek smartphone, lalu menanyakan pendapat Zevanya.
“Jadi, mana menurutmu yang paling bagus?” tanya pria itu karena Zevanya selalu menjawab bagus ketika ia menunjukkan beberapa smartphone.
“Semuanya bagus,” Jawabnya tanpa memilih salah satu pun, ia tidak berani bermimpi memiliki ponsel semahal itu. Zevanya sama sekali tidak berbohong, semua ponsel tersebut tanpa bagus dan canggih.
“Hm,” Wira berdehem singkat, tidak lagi menanyakan pendapat Zevanya karena jawaban tetap akan sama.
“Saya beli yang ini, tolong dibungkus.” Pegawai pun dengan cepat membungkus pesanan Wira. Ia juga mempromosikan silikon dan anti gores.
“Kamu suka warna apa?” tanyanya pada Zevanya yang tengah mengagumi benda-benda elektronik. Gadis itu tanpa curiga menjawab pertanyaannya.
“Biru,” Wira pun dengan segera menunjuk silikon berwarna biru yang tanpa elegan dan mengilat oleh warna silver di pinggirannya.
Setelah membayar barang yang diinginkan, Wira tanpa sadar menggenggam tangan Zevanya. Menuntunnya menuju penjual sayuran dan bahan makanan lain.