Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asmara Tukimo Muda
Wong ayu tresnamu kinarya tamba~
Susah jroning batinku~
Tukimo muda melantunkan sebuah tembang Jawa 'Lintang Asmoro.' Membiarkan liriknya terbang bersama angin. Sambil duduk, suara itu mengalun pelan di tengah sawah.
Kemeja lusuh yang dikenakannya melambai-lambai ditiup angin, topi capingnya tergeletak di samping. Matanya sore itu tampak syahdu, menatap langit senja yang mulai turun perlahan di atas hamparan sawah yang berwarna keemasan.
Dan tanpa ia sadari, seorang gadis manis dengan keranjang berisi padi di tangannya menyambut nyanyiannya. Lembut, jernih, dan membawa senyum di antara desau angin. Rambutnya yang panjang tergerai diterpa angin sore, wajahnya berseri diterpa cahaya matahari terakhir.
Wong bagus antebna rasa atimu~
Tresnaku tulus jroning kalbu~
Kasandra Kinanthi. Waktu itu, ia berusia 18 tahun. Dan Tukimo berusia 22 tahun. Dua insan itu sedang memadu kasih. Tukimo menoleh, dan lantunan itu berlanjut,
Siang pantara ratri~
Mung eling manising ati~
Sedyaku bisa anduweni~
Marang Sang Dyah Sulaksmi~
Kasandra membalas,
Rasa kangen kang nglimputi~
Lintang bulan dadi seksi~
Ubayane datan mbalenjani~
Janji sebaya mukti sebaya pati~
Kasandra duduk bersisian dengan Tukimo, membiarkan kepalanya bersandar di bahu pemuda itu. Mereka melantunkan tembang itu sampai selesai.
"Mas Kimo, udah mau maghrib... ayo pulang," bisik Kasandra pelan.
Tukimo menoleh, matanya menatap langit yang mulai kehilangan cahayanya. "Kalau kamu di sini, rasanya aku ndak ingin pulang. Berharap... waktu bisa berhenti, biar aku bisa selamanya di sisimu."
Kasandra tertawa kecil, "Lah, gombalan dari mana lagi itu, Mas? Senengane gombalin aku ndak habis-habis."
"Iku tandane... aku tresno tenanan sama Kamu, Kasandra Kinanthi," katanya.
Waktu bergulir.
Duka itu datang tanpa mengetuk. Satu-satunya keluarga yang Kasandra miliki, neneknya menghembuskan napas terakhirnya. Gadis yang paling Tukimo cintai menunduk dalam lautan tangis yang tak bersuara.
Hari-hari berikutnya, Kasandra menjadi gadis yang sangat pemurung. Matanya kosong, langkahnya lemah. Dan Tukimo hadir untuk menghiburnya. Tak ingin membiarkan gadis itu terlalu lama larut dalam duka yang dalam.
Membawakan air minum, membawakan nasi, membawakan dirinya sendiri sebagai tempat bersandar, meski dirinya sendiri dihimpit kemiskinan, Tukimo selalu ada di dekatnya.
Suatu sore yang kelabu...
Tukimo duduk bersimpuh di hadapan Kasandra. Batinya bergemuruh oleh rasa takut akan kehilangan. "Kasandra," suaranya bergetar.
"Aku sadar diri... aku cuma tukang bajak sawah. Untuk melamarmu pun aku merasa ndak pantas. Tapi... maukah kamu mengarungi susahnya hidup ini bersamaku?"
Kasandra mengangkat wajahnya perlahan.
Matanya basah, wajahnya lusuh. Tersenyum penuh luka. "Aku... aku sudah ndak punya siapa-siapa lagi, Kimo. Aku pun ndak pantas bersandar sama lelaki sehebat kamu. Aku ini... cuma beban."
Air mata Tukimo jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tahu, dunia terlalu kejam untuk janji-janji kosong. Yang bisa ia tawarkan hanyalah dirinya sendiri, segenap kesetiaannya, dan cinta yang takkan pernah luntur.
Cinta Tukimo kepada Kasandra adalah cinta yang keras kepala. Cinta yang berakar di tanah keras, tumbuh di bawah panas membakar, namun tetap hidup meski digerus oleh angin kemiskinan.
Di tengah perjuangan cinta mereka yang rapuh itu, takdir mempermainkan dengan cara yang paling kejam. Tragedi tragis menghantam gadis malang tersebut.
Dikromo, kakak Tukimo sendiri yang seorang pria beristri dan dikenal berlidah manis namun berhati busuk diam-diam menaruh hasrat kotor pada Kasandra. Setiap kali melihat gadis itu, Dikromo dirasuki nafsu hina yang tak bisa ia kendalikan.
Dan pada suatu malam, ketika langit menggelap tanpa bintang, tragedi itu terjadi. Di saat dunia terlelap dan suara-suara sunyi membungkam, dosa besar itu tercatat di bumi. Dikromo menyeret Kasandra ke tempat tak ada satu pun mata yang menjadi saksi selain bulan yang bersembunyi di balik awan.
Dikromo menodai gadis polos itu. Memaksa, menghancurkan, menginjak-injak harga diri dan kehormatan yang selama ini dijaga Kasandra sekuat hati. Jeritan Kasandra menghilang dalam malam. Tangisannya tak pernah sampai ke telinga siapa pun.
Hanya tanah, angin, dan langit malam yang menjadi saksi bisu atas kehancuran seorang gadis yang bahkan belum sempat merasakan manisnya dunia. Jiwanya hancur, hatinya pun patah.
Tukimo mencari. Langkah-langkahnya membelah dinginnya malam, menembus kabut tipis di antara pematang sawah.
Dan akhirnya, ia menemukannya.
Di sudut ladang, di bawah cahaya bulan yang muram, Kasandra terduduk lemas dengan pakaian yang berantakan. Matanya kosong, seolah seluruh cahaya dalam dirinya telah dicabut paksa.
Darah Tukimo mendidih dalam sekejap saat kebenaran pahit itu perlahan terkuak. Kasandra mengaku tentang kekejaman yang menimpanya. Tentang penghinaan yang dipaksakan ke tubuh suci yang selama ini hanya ia persembahkan untuk cinta.
Dan nama itu disebut.
Dikromo.
Kakaknya sendiri.
Seperti disambar petir, Tukimo meledak dalam amarah membabi buta. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri rumah Dikromo dan menyeret pria bejat itu keluar, ke tanah terbuka. Pukulan demi pukulan mendarat telak. Dikromo meraung, berdarah-darah, namun Tukimo tak peduli.
Setiap tinjunya adalah pelampiasan atas rasa sakit Kasandra, atas kehormatan yang telah diinjak, atas cinta yang dihancurkan. Tukimo seperti sudah bukan dirinya lagi. Amarah, luka, dan cinta bercampur menjadi badai yang tak bisa dihentikan.
Apalagi, Dikromo yang sudah beristri berani berjanji akan menikahi Kasandra. Keputusan itu membuat Tukimo semakin muntab. Penghinaan itu bisa menyeret nama Kasandra menjadi pelakor di mata orang lain.
Akhirnya, dengan tubuh gemetar karena amarah dan tangis yang tertahan, Tukimo kembali memeluk Kasandra yang masih menangis tanpa suara. Kasandra telah hancur. Dunia tak akan pernah membiarkan mereka bahagia dengan jalan yang mudah.
Tukimo menggenggam tangan Kasandra erat-erat. Dengan suara serak menahan tangis, Tukimo berjanji, "Aku akan menjagamu, Kasandra... dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku tak akan membiarkan satu jari pun lagi menyakitimu."
Tukimo benar-benar membuktikan sumpahnya. Ia menjadi benteng bagi Kasandra. Menghadapi cemoohan dari orang-orang desa yang tak pernah tahu cerita sebenarnya. Menahan hinaan yang menyayat hati, menghadapi tatapan sinis, fitnah, bahkan pengucilan.
Tukimo tidak goyah.
Ia bekerja lebih keras dari sebelumnya. Menjadi buruh tani, membantu apa pun yang bisa ia kerjakan, hanya untuk memastikan Kasandra bisa makan dan bertahan hidup.
Kasandra, dengan hati yang terluka, perlahan mulai memperlihatkan perubahan di tubuhnya. Satu tanda kehidupan tumbuh di dalam dirinya. Seorang bayi yang tak berdosa. Anugerah sekaligus beban yang harus ia pikul sendiri.
Tukimo menatap perut Kasandra yang mulai membuncit dengan mata yang penuh luka sekaligus harapan.
"Bayi ini akan lahir, Kasandra," katanya suatu malam, mengelus punggung gadis itu yang menangis dalam pelukannya, "dan aku... aku akan tetap di sini. Aku akan jadi ayah baginya kalau dunia tak mau mengakuinya."
Kasandra menahan isak. Cinta Tukimo tulus. Tapi ia juga sadar, dunia mereka sudah terlalu kejam.
Cinta, seberapa pun besarnya, terkadang tak cukup untuk membendung luka yang sudah terlanjur menganga.
Dan akhirnya, di bawah langit kelabu, anak itu lahir. Tangis pertama bayi itu membelah keheningan malam, menyentuh hati Tukimo dan Kasandra sekaligus membuat mereka menangis tersedu-sedu.
Sebuah kehidupan baru.
Sebuah harapan kecil di tengah reruntuhan cinta mereka yang tak pernah sempat berbunga.
😢💔😔