(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Muak
Sebuah notifikasi dari HP Ameeza membuatnya menghentikan langkah kaki di tengah koridor. Tangan perempuan itu merogoh saku celana, yah tadinya rok sebab selepas bel pertanda pulang berbunyi Ameeza buru-buru menggantinya dengan celana panjang. Tentu saja karena ia tipikal cewek yang tidak terlalu nyaman menggunakan rok, ia lebih nyaman mengenakan celana. Menurutnya mengenakan rok itu sedikit ribet, apalagi jika roknya pendek, ia tak nyaman sebab betisnya terekspos nanti.
Kepala Ameeza tertunduk menatap room chat dari grup Club Buku yang tiba-tiba ramai. Yah, memang sudah biasa sih. Palingan para senior yang berkoar di grup memerintah anak kelas X untuk segera kumpul di ruangan Club Buku. Namun, kali ini berbeda, beberapa kali Ameeza melihat notifikasi dari grup Club Buku, kebanyakan menyebut-nyebut namanya. Ameeza segera membuka grup tersebut karena penasaran.
"Ameeza!" Jari Ameeza langsung terhenti saat ingin mengetik sesuatu. Ia berbalik menghadap orang yang memanggilnya, yang ternyata dia Agas.
"Lo keluar dari Club Buku?" tanyanya.
"Entah," jawab Ameeza asal, entah kenapa Ameeza jadi enggan untuk membela diri. Bahwa surat pengunduran diri yang dikirim di grup oleh Ily adalah palsu. Ameeza bahkan tak pernah menandatangani surat itu, serius meskipun Ameeza tak suka berada di Club Buku, ia tak pernah berpikir untuk mengundurkan diri.
Tiba-tiba Agas memegang pundak Ameeza, namun perempuan berambut cepol itu segera menepisnya. Entah kenapa Ameeza tak suka jika ada laki-laki yang sembarangan menyentuhnya. Ia agak sensitif dengan perlakuan seperti itu. Wajah Ameeza mendadak keruh.
Agas yang menyadari perubahan raut wajah Ameeza, ia menggaruk tengkuknya agak canggung. "Sorry, gue cuma mau mastiin yang di grup itu beneran atau gak?"
Mendadak aura di sekitarnya panas. Ameeza memandang malas ke arah Agas. "Bener kali." Lagi, Ameeza menjawabnya asal-asalan, dan hal itu sukses membuat Agas berdecak kesal.
"Serius, kalau semua itu gak bener seharusnya lo konfirmasi di grup."
Lagi-lagi ocehan dari Agas terasa sangat memuakkan. Ameeza jadi tambah malas mendengarnya. Yah, walaupun sejujurnya Agas memang hanya berupaya untuk memastikan kebenaran bukan menghakiminya. Tapi, entah kenapa Ameeza merasa kesal.
"Gak ada yang harus dikonfirmasi." Usai mengatakan itu, Ameeza berbalik melangkah pergi meninggalkan Agas yang masih tak mengerti dengan pola pikir Ameeza.
Agas menghela napas. "Gak habis pikir gue," gumamnya sembari menggelengkan kepala.
Tring!
Melva
[Ameeza!]
[Oy! Lo keluar dari Club Buku?]
[Sekarang lo dimana? Mau pulang?]
[Sebelum pulang mampir ke ruang eskul bulu tangkis dong!]
^^^Me^^^
^^^[Gue ke sana]^^^
Kaki Ameeza melangkah memasuki ruang eskul bulu tangkis bersamaan dengan sebuah kok yang terlempar mengenai ujung sepatunya. Ameeza berjongkok, mengambil kok tersebut hendak melemparkannya kembali. Namun, pandangannya berhenti pada sosok Erga yang bersimbah keringat sedang menatap ke arahnya. Sesaat iris mata keduanya saling bertumbuk, sebelum akhirnya terputus ketika salah seorang laki-laki mengambil kok yang ada di tangan Ameeza.
"Bengong aja," kata laki-laki yang mengambil kok tersebut.
Ameeza lebih memilih menghampiri Melva yang sedang mengobrol dengan teman-teman seeskulnya. Meski agak canggung, akhirnya Ameeza memanggil Melva hingga teman-teman seeskul Melva juga ikutan menoleh.
"Duduk, My," ucapnya sembari menepuk tempat yang berada tepat di sampingnya. Ameeza hanya mengangguk mengiyakan.
...-oOo-...
"Erga!" teriak Ameeza, laki-laki itu tidak menyahut sama sekali. Ia fokus membereskan raket dan kok ke tempatnya semula.
Beruntungnya ruang eskul bulu tangkis ini sepi jadi Ameeza tidak apa-apa jika harus berteriak sekencang ini. Ameeza menarik pergelangan tangan Erga hingga kotak berisi kok yang dipegangnya sedikit terpental meski tak jauh. Namun, kotak berisi kok itu berhamburan di lantai. Erga masih tak memperdulikannya, dia bahkan hendak berjongkok untuk kembali memunguti kok itu. Namun, Ameeza buru-buru mencegahnya dengan menarik sekuat mungkin.
Cekalan Ameeza terlepas ketika kakinya sampai di tepi lapangan indoor bulu tangkis. Sorot mata Erga tidak datar dan tenang. Ameeza bisa merasakan ada emosi di kedua bola mata itu. Tapi, Erga tak pernah berani untuk mengungkapkan perasaan yang sedang ia rasakan saat ini.
"Kemarin lo mau ngomongin apa sampe ngajakin gue ketemuan di Cafe ElBa?" tanya Ameeza to the point.
Kedua bola mata Erga bergulir menatap tembok di samping. "Gak ada." Erga langsung berbalik, melangkah ke tengah lapangan yang mana kok berceceran di sana karena ulah Ameeza.
"Tunggu! Maksudnya apa, sih? Lo main-main sama gue? Gak lucu yah!" amuk Ameeza, perempuan itu masih setia berdiri di tepi lapangan.
Gerakan tangan Erga yang gesit memunguti kok tidak berhenti. Laki-laki itu sibuk membereskannya sampai terakhir ia meletakkan sekotak kok itu ke tempatnya semula.
Erga menyampirkan tasnya di bahu. Ia berhenti di depan Ameeza. "Jangan pura-pura gak tahu," tutur Erga sangat pelan. Namun, kata-katanya justru sangat jelas menusuk Ameeza. Terbukti dari raut wajah perempuan itu yang tiba-tiba kaku.
"Keluar," perintah Erga dingin. Ameeza hanya menuruti.
Setelah Erga mengunci pintu ruangan eskul plus lapangan indoor bulu tangkis itu Ameeza hendak kembali bertanya. Tapi, bibirnya terlebih dulu bungkam saat tahu Erga sama sekali tak memberikan kesempatan kepadanya untuk berbicara. Laki-laki itu bahkan buru-buru pergi meninggalkannya sendiri di depan pintu.
Kepala Ameeza tertunduk dalam.
Apa gue sejahat itu kemarin, karena cuma bisa jadi penonton?
...-oOo-...
Semalaman Ameeza jadi tidak bisa tidur karena memikirkan perkataan Erga yang teramat menusuk. Sampai pagi ini kepala Ameeza masih terasa pening memikirkan semuanya.
Seperti biasa Ameeza ke tempat loker kelas X. Dan tentu saja lokernya sekarang sudah penuh dengan berbagai macam hadiah. Kegiatan rutin Ameeza adalah membersihkan seluruh kotak-kotak itu. Yah, dibuang ke tempat sampah. Lagi pula Ameeza sangat enggan untuk menyimpannya walau hanya beberapa jam. Ia risih lokernya jadi sempit gara-gara itu.
Sebelum dibuang ke tempat sampah Ameeza lebih dulu menginjak-injak kotak hadiah yang ia masukan ke karung. Ia tidak peduli jika nantinya kakak dan sepupunya marah. Masa bodo!
Kebanyakan hadiah itu berisi coklat, kue atau makanan-makanan lainnya. Terkadang juga ada boneka.
Ditengah aktivitasnya yang sibuk menginjak-injak hadiah, sekumpulan perempuan yang sepertinya senior tak sengaja melihat itu. Gerombolan yang terdiri dari tiga orang itu menarik tas Ameeza, Hingga perempuan itu sedikit terdorong ke belakang. Beruntung Ameeza dapat mengerem kakinya, jika tidak mungkin tubuh Ameeza sudah membentur loker yang berjajar di belakangnya. Yah, loker di sini berjajar panjang saling berhadapan. Menyisakan sebuah lorong yang tidak terlalu besar.
"Lo ngapain?!" teriak seorang perempuan berambut curly sebahu.
"Lo buta?!" jawab Ameeza sinis, hingga membuat ketiga perempuan itu kesal.
Sebelum terjadi pertarungan jambak menjambak, Angga dan Izzi lebih dulu melerainya. Ketiga perempuan itu langsung undur diri, sekarang tinggal Angga, Izzi dan Ameeza yang ada di sana.
"Kenapa sih?" tanya Angga selembut mungkin. Namun, pertanyaan itu dijawab dengan lirikan sinis dan desisan. Ameeza segera pergi dari sana tak peduli dengan karung berisi hadiah itu. Ia sudah terlalu lelah.
...-oOo-...
"Ameeza."
Ameeza segera maju ke depan untuk mengambil selembar kertas yang berisi nilai ulangan fisika. Sebelum Pak Moris menyerahkan kertas ulangannya, dia sedikit berbisik, "Lain kali tingkatkan lagi belajarnya, nilai fisikamu paling rendah di jurusan MIPA."
Pak Moris memandang Ameeza dengan kerutan dahi. "Bapak heran, padahal kedua kakak dan sepupumu pintar-pintar. Tapi kenapa ...."
"Maaf, Pak. Saya akan usahakan lagi," ujar Ameeza dengan senyuman kecil yang dipaksakan, sembari menarik kertas ulangannya yang ada di tangan Pak Moris.
Embusan napas Ameeza yang cukup keras ketika ia mendudukkan diri di bangku membuat Melva menoleh. "Kenapa?"
Ameeza hanya menggeleng.
Selama pelajaran fisika Ameeza tidak bisa fokus. Kepalanya dipenuhi macam-macam masalah. Di mulai dari ucapan menohok Erga kemarin, dikeluarkan dari Club Buku, dicecar oleh fans kakak dan sepupunya, dan sekarang di bandingkan dengan kedua kakak dan sepupunya.
Kepalanya semakin pening, emosinya memuncak saat Pak Moris selalu saja menunjuknya untuk mengerjakan soal fisika di papan tulis. Padahal ia tahu Ameeza tidak bisa, ia tidak faham dan pandai di pelajaran ini. Alih-alih dapat menjawab soal dan memperoleh pujian atau tepuk tangan dari teman-teman sekelasnya, justru Ameeza tidak bisa menjawab soal di papan tulis dan akhirnya mendapatkan ragam tatapan yang bisa ia tafsirkan sebagai 'Kenapa Ameeza tidak bisa mengerjakan soal itu, padahal kakaknya pintar di pelajaran itu'. Entah itu benar atau tidak, atau mungkin hanya perasaannya saja?
Saat itu pula rasanya ia ingin menunduk, ia enggan menatap ragam tatapan yang seakan menghakiminya, membandingkannya. Ia benci jika dibandingkan.
Istirahat pertama seharusnya menjadi ruang untuknya agar menenangkan diri dari pikiran-pikiran yang seakan memojokkannya. Namun, ekspetasinya hancur ketika ia diperintahkan untuk membawa buku Pak Moris ke ruang guru. Dan tebak apa yang membuat mood Ameeza hancur? Tentu saja karena para guru di kantor sibuk membicarakan keunggulan kedua kakaknya dan sepupunya dan mereka membandingkannya dengan Ameeza.
Ameeza hanya memasang wajah datar, berusaha menyembunyikan kekecewaan dan amarahnya. Ia tidak mau membuat keributan karena hal seperti ini. Atau nanti ia akan kena marah oleh Angga dan Izzi. Mereka 'kan OSIS.
...-oOo-...