Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18 Mau Ditaruh Mana Istrimu Itu?
Adrian berdiri di kamarnya dengan pikiran berkecamuk. Setelah melepaskan jas dan kemejanya dengan gerakan kasar, ia menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi tanpa membuang waktu.
Suara air shower yang mengalir deras memenuhi ruangan, tapi tak mampu meredakan panas di kepalanya. Ia memejamkan mata, membiarkan air membasahi tubuhnya.
Namun, bayangan percakapan dengan putranya, Enzio, kembali muncul di benaknya. Enzio dengan polosnya mengatakan sesuatu yang tak disangka Adrian.
“Kayaknya, om Reno suka sama mama,” kata Enzio beberapa tadi pagi dengan wajah polos.
“Sial, sial, sial!” Adrian menggeram di bawah pancuran. Perkataannya mungkin sederhana, tapi efeknya bagaikan bom di kepala Adrian.
Ia sudah cukup berusaha untuk menahan diri selama ini, mencoba tak terlalu peduli pada hubungan Kania setelah perceraian mereka.
Tapi mendengar nama Reno, adik kandungnya sendiri disebut-sebut, itu adalah sebuah penghinaan.
“Brengsek!” geram Adrian sambil memukul dinding kamar mandi. Tangannya berdenyut sakit, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan rasa panas yang mendidih di dadanya.
Ia tahu Reno, selalu berusaha bersikap manis di depan semua orang. Tapi kini ia yakin, di balik sikap itu, Reno punya rencana tersembunyi.
Satu hal yang pasti—Adrian tak akan pernah membiarkan siapapun merebut Kania darinya. Tidak peduli bahwa mereka sudah bercerai. Tidak peduli bahwa Kania sendiri mungkin sudah lelah dengannya. Apalagi jika pria itu adalah Reno.
“Kalau perlu, dia harus melangkahi dulu mayatku sebelum mendapatkan Kania,” gumam Adrian sambil mengepalkan tangan.
**
Di sisi lain, Reno tengah dalam perjalanan pulang. Jalanan malam terasa sepi, hanya dihiasi lampu-lampu jalan yang berpendar samar.
Ia menyalakan musik di mobilnya untuk mengisi kesunyian. Tapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat percakapannya dengan Kania beberapa waktu lalu—senyuman perempuan itu, cara bicaranya, bahkan caranya menyentuh lengan Reno dengan lembut saat bercanda.
Semuanya terngiang di kepala Reno.
“Dia nggak pantas diperlakukan seperti itu sama mas Adrian,” pikir Reno dalam hati. Ia tahu, kakaknya, Adrian, adalah penyebab retaknya pernikahan Kania. Adrian terlalu keras kepala, terlalu sibuk mengontrol semua orang di sekitarnya tanpa peduli apa yang mereka rasakan.
Reno merasa, Kania berhak mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik. Tapi disisi lain, Reno juga ingin menyatukan mereka berdua demi Enzio.
Meski dalam hati, Reno menyimpan perasaan pada Kania. Reno belum sepenuhnya berani mengakui perasaannya. Bagaimana pun, Kania adalah mantan istri Adrian. Dan meskipun hubungan mereka berantakan, Reno tahu ada batas-batas yang tidak seharusnya ia langgar.
“Jangan sampai perasaanmu membuat semuanya semakin kacau, Ren. Ingat tujuan awalmu. Menyatukan mereka berdua.”
Mobilnya berhenti di depan kediaman keluarga Pratama.
Reno keluar dengan langkah santai, berniat langsung masuk dan beristirahat. Tapi, saat ia membuka pintu rumah, langkahnya terhenti.
Di ruang keluarga, Adrian duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tatapan tajam itu langsung menusuk ke arah Reno.
“Mas?” Reno memecah keheningan, alisnya terangkat. “Ngapain di sini malam-malam? Ada urusan apa? Mama sama papa dimana?”
Adrian tak menjawab. Sebaliknya, ia bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri Reno dengan langkah berat. Wajahnya penuh dengan kemarahan yang sudah ia tahan sejak tadi.
Sementara Reno masih berdiri, kebingungan dengan sikap kakaknya yang aneh.
“Mas, ada apa sih?” Reno kembali bertanya. Tapi sebelum ia sempat berkata lebih banyak, Adrian melayangkan tinjunya ke wajah Reno.
Bugh!
Pukulan itu membuat Reno kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur ke lantai. Ia mengusap sudut bibirnya yang terasa perih, dan saat ia menatap tangannya, darah sudah mengalir.
“Mas, gila ya? Apa-apaan ini?” Reno bangkit dengan tubuh gemetar, setengah karena marah, setengah karena terkejut.
Adrian menatap adiknya dengan mata penuh amarah. “Jangan pernah coba-coba ngerebut Kania dariku Reno!” bentaknya dengan suara berat.
Reno terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. “Merebut mbak Kania? Mas, apa maksudnya?” tanyanya, meski ia sebenarnya tahu arah pembicaraan ini.
“Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan? Kamu pikir aku bodoh?” Adrian mendekat lagi, kedua tangannya mengepal. “Aku nggak akan pernah biarin Enzio punya ayah tiri, apalagi kalau itu kamu!”
Reno menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Jika melawan Adrian sekarang, situasi hanya akan semakin buruk.
Tapi ia juga tak bisa tinggal diam. “Mas,” ucapnya dengan suara rendah tapi tajam. “Kalau Mas udah nggak bisa bahagiain mba Kania, kenapa mas nggak biarin dia bahagia sama orang lain? Mas cuma mikirin ego Mas sendiri.”
Pernyataan itu membuat Adrian semakin berang. Ia mendorong Reno ke dinding, tapi Reno kini bersikap lebih tegas, menahan tubuh kakaknya. “Cukup, Mas! Kalau mau marah, cari cara lain. Jangan jadi pengecut dengan main fisik!”
Adrian terdiam, tapi amarahnya belum mereda.
“Ingat, Mas masih punya mba Laras. Mau ditaruh mana istrimu itu?” Reno menyeringai, sengaja membuat Adrian semakin cemburu padanya.
Di mata Adrian, sosok Reno kini bukan lagi adik, melainkan ancaman.