Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Septiani Kembali
Ketakpantasan, ketidaketisan dan ketidaksopanan mungkin hanya masalah sepele dan remeh temeh bagi beberapa orang. Namun, untuk kebanyakan orang, hal ini sangat dijunjung tinggi. Bahkan bagi beberapa kelompok masyarakat tertentu, perihal ini mutlak dan harus dijunjung tinggi bila tidak ingin terkena imbas buruk atas tindakan tidak baik tersebut.
Masalahnya, kegelapan sudah berjalan bersama terang selama bumi ini tercipta, dan Dihyan mulai tenggelam di dalamnya.
Entah ada apa dengannya, apa yang terjadi dengannya. Dihyan tumbuh di dalam sebuah keluarga yang baik, perhatian, penuh kasih, dan bisa dikatakan ‘normal’, meski memang seperti banyak keluarga lain pun, keluarga Benjamin masih menyimpan misteri dan rahasia. Tidak terlalu dipedulikan atau dibahas pun buka mengapa. Hanya Dihyan saja yang merasa rahasia di dalam keluarga mereka itu terbilang serius dan mengganggu, membuatnya merasa sebagai sosok yang aneh dan tidak biasa pula.
Awalnya, Dihyan dan Centhini sama-sama kaget melihat betapa besar makam kedua orang tua Centhini tersebut.
Ng Sjak Tshin dan Katarina Cheng Jing dimakamkan di sepasang makam besar dan terbilang cukup megah, apalagi mengingat latar belakang mereka yang miskin. Sepasang makam tersebut sangat tipikal malam-makam Tionghoa: memiliki gundukan yang agak tinggi, berukuran besar – bahkan memiliki pelataran kecil, ada meja persembahan di depan nisan, ada tonggak Dewa Bumi sebagai penjaga di sebelah kiri makam, dan nisan yang biasa disebut bongpai bertuliskan kanji China.
Meski tak semegah makam-makam lain milik orang kaya, pejabat, atau orang-orang penting lain, makam kedua orang tua Centhini terlihat terawat dan mungkin sekali berharga mahal. Bagi orang yang tak mampu, nisannya biasa terbuat dari kayu, akan tetapi selain bongpai makam kedua orang tua Centhini ini terbuat dari batu dan bangunan yang disemen, terdapat pula ukiran dan pahatan berbagai simbol religius yang berkaitan dengan kisah dewa-dewa, keberuntungan, kesejahteraan, bakti dan hal-hal baik lainnya.
Martha sudah tahu bahwa Centhini dan Dihyan pasti memiliki kebingungan dengan kenyataan bahwa makam kedua orang tua Centhini begitu besar dan sekali lagi, termasuk mewah untuk ukuran keluarga yang selalu diceritakan miskin tersebut.
“Itu karena anak-anak mereka menjadi berhasil di kemudian hari. Ya, kalau dipikir, sebelas anak menyumbang semampu mereka, hasilnya ya ini. Istilahnya, banyak anak banyak rezeki. Paling tidak itu yang bisa kami lakukan buat Apa dan Ama,” ujar Martha menjelaskan.
Setelah itu, Ajun dan Martha lebih banyak menjelaskan beragam hal kepada Centhini. Percakapan mereka juga ditimpali oleh Benjamin dan Maryam. Lalu, bagaimana dengan Dihyan.
Laki-laki muda yang diburu berahi itu tidak peduli ia sedang berada di mana. Sepasang matanya menjalari wajah dan tubuh Septiani. Tidak hanya berfokus pada sepasang dada gadis itu yang sedang ranum-ranumnya, seakan ingin mendesak keluar dari kaus berukuran sedikit kekecilan tersebut, pikiran Dihyan sudah terlanjur beterbangan dengan liar.
Di makam tersebut, Dihyan merasakan ada bagian tubuhnya yang ingin mendesak keluar juga, memberontak, karena perlahan bangkit, tepat diantara pangkal pahanya.
Dihyan mendekat ke arah Septiani.
“Aku nggak terlalu paham masalah detil keluarga seperti ini. Makin didengar, semakin nggak paham. Sepertinya aku perlu les khusus aja deh sama kamu,” bisiknya di dekat telinga Septiani.
Septiani tersentak. Karena terkejut, tetapi juga malu karena Dihyan sedekat itu dengan dirinya.
“Iya, Suk. Aku siap bantu Asuk buat menjelaskannya nanti. Ehm … sorean gitu aku ke rumah, ya? Soalnya tadi Akung Ben sudah bilang kan kalau mau menginap di rumah.”
Dihyan mengangguk dengan semangat, ia tidak menutup-nutupi keinginan besarnya untuk bisa bersama dan berdekatan dengan Septiani.
Sore itu, kembali, sekembalinya rombongan tersebut dari makam, mereka menyempatkan diri untuk makan siang di bawah, tempat pusat ruko dan keramaian.
Sebelum kemudian Ajun dan Septiani kembali ke rumah mereka yang terletak lebih ke atas, mendekati kompleks makam, Septiani kembali berjanji akan datang di sore hari menjelang malam, untuk mengunjungi Dihyan.
Selama itu pula, Benjamin yang sudah memutuskan untuk menginap barang sehari di rumah ‘warisan’ Centhini itu, mendapatkan house touring dari Martha, suami dan anak laki-lakinya.
Sungguh, rumah yang terbuat hampir seluruhnya dari kayu itu terlihat klasik tetapi lega karena lumayan luas.
“Ya, kalau di masa kami kecil dulu, rumah ini mana cuku, waaa …,” ujar Martha.
Lantainya terbuat dari papan kayu belian atau juga dikenal dengan kayu ulin. Meski di beberapa bagian lantai berderit karena sudah belasan mungkin puluhan tahun, kayu-kayunya terlihat sangat kokoh dan kuat, menghitam karena sudah disapu jutaan kali, dilap dengan air serta kerap pula menggunakan solar di masa lalu agar mengkilap.
Centhini berjalan masuk dan pergi ke berbagai ruang dan sudut di dalam rumah. Keinginan untuk mengetahui lebih atas rumah dimana dahulu ia pernah tinggal walau masih bayi dan hanya untuk beberapa bulan saja itu terlihat cukup tinggi. Dihyan cukup maklum dengan hal tersebut.
Ia sendiri memang tidak terlalu tertarik untuk mengeksporasi isi di dalam rumah. Apalagi ada semacam altar sembahyang di bagian dalam rumah, menuju ke dapur.
“Nama altar itu adalah meja abu. Itu untuk menghormati nenek moyang orang Cina,” ujar Martha tanpa menunggu pertanyaan dari Dihyan yang memang sudah terlihat melirik berkali-kali ke altar yang dihiasi oleh papan arwah, dupa, lilin, bohlam lampu berwarna merah, serta ada sesajian semacam uang kertas, makanan dan minuman.
“Cuma, kami anak-anak perempuan tidak terlalu memperhatikan detil dari bagaimana mengurus altar tersebut. Koko-koko kami sudah berada di perantauan. Sedangkan yang ada di sini pun sudah tidak begitu mengerti detailnya. Ini karena dahulu kami begitu miskin, jadi semua seadanya. Pemujaan penting, tetapi barang-barang yang digunakan tidak selalu sempurna. Bagaimana mau memberikan makan ke arwah nenek moyang, makan anak-anaknya saja Apa dan Ama kesulitan. Lagipula, kami semua sekarang sudah memeluk agama berbeda-beda. Malah jujur, Ajun Ce sepertinya tak beragama,” ujar Martha, kemudian tertawa.
Dihyan mengangguk-angguk.
Ia keluar dari bangunan rumah tersebut. Dari pekarangan, ia dapat melihat wilayah Monterado yang membentang. Perbukitan, dengan beberapa bangunan yang terlihat menyembul di sela-sela pepohonan lebat, bagai lembarang ketombe diantara rambut yang meghitam kelam.
Ada satu bangku dari kayu yang ditanam di tanah di pekarangan, tepat di bawah sebuah pohon lumayan rindang yang Dihyan tak tahu namanya. Ia berjalan kesana dan duduk. Angin sepoi-sepoi mengembus wajah dan rambutnya. Siang memang terang-benderang, tetapi rumah ini teduh oleh karena sinar mentari terhalang lapisan tetumbuhan di atas bukit.
Dihyan duduk disana entah untuk berapa lama, melamun, sampai tidak sadar sore menjelang, menggeser panas langit menjadi kesenduan senja.
Dihyan menghela nafas ketika Centhini datang.
“Ngelamun muluk, Yan,” ujar Centhini.
Dihyan memalingkan wajahnya ke arah kakak perempuan angkatnya itu. “Iyo e, Mbak. Nyante soale.”
“Ayuk temani aku ambil baju di mobil. Tadi pas makan Bapak kelupaan sekalian ambil. Nggak mau mandi apa? Kata Cece Ajun tadi Septiani mau main kesini. Nggak malu apa mambu gitu, bau?”
“Iya, iya. Ayuk turun lagi, sebelum gelap,” ujar Dihyan sebelum kemudian bangkit dari bangku panjang dari kursi yang tertancap dalam di tanah tersebut.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh