Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.
Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.
Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.
Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.
Bagaimana Lail menghadapi semua itu?
"Menyesal? Aku gak yakin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH.18 - Bukan Tak Ingin, Tapi Tak Bisa
“Penggaris besi?”
Tangan Lail terhenti di udara saat Wiyan bertanya padanya penuh kebingungan. Lail terdiam sejenak, kemudian menaruh penggaris besi berukuran 30 cm itu di atas meja panjang.
“Kenapa emangnya?” tanya Lail.
“Bahaya,” Wiyan menjawab singkat.
“Tapi, lebih awet penggaris besi daripada yang plastik.” Lail membela diri. “Yang plastik mah kegencet dikit patah, gak sengaja disenderin juga patah. Lemah!”
Wiyan merotasikan bola matanya jengah. Berdebat dengan Lail hanya membuang-buang waktu belajarnya saja. Dia mengambil penggaris besi dari tangan Lail, khawatir gadis itu akan mengayunkannya ke sana kemari saat Wiyan lengah.
Lail menurut saja. Daripada dia bertengkar tak karuan. Lebih baik ‘menjilat’ Wiyan agar dirinya bisa mendapatkan upah es krim yang lebih banyak. Mana tahu Wiyan berubah pikiran dan akan mentraktirnya makan siang super mewah di restoran bintang lima. Lail cukup penasaran dengan rasa menu yang ditawarkan di sana karena harganya sangat mahal.
"...."
Lail memandangi Wiyan dalam diam. Wiyan sedang memperhatikan penggaris besi milik Lail dengan seksama. Menghitung goresan yang ada di setiap sisi-sisinya. Berbeda dari penggaris plastik yang saat dihantam ke permukaan datar akan penyok. Penggaris besi justru yang membuat penyok permukaan datar itu. Penggaris besi unggul dalam aspek yang satu ini.
“Biasanya psikopat level pro kalau bunuh orang pakai benda tumpul.” Lail menyeletuk.
Wiyan tersentak, kemudian melirik Lail dengan tajam.
“Kenapa lo bisa mikir sampai ke sana? Lo bukan psikopat.”
Lail memundurkan badannya perlahan saat Wiyan sedikit demi sedikit mendekatkan dirinya pada Lail. Dahi Lail mengerut. Lail tak suka jika ada yang memotong jarak tanpa seizinnya.
“Tapi di film thriller yang kutonton begitu kok. Biasanya psikopat tuh menikmati korbannya pas lagi sekarat. Kalau pakai benda tajam mah bakal cepet mati. Sedangkan psikopat suka nontonin proses kematian korbannya. Lebih seneng lagi kalau mereka mengerang kesakitan.” Lail memaparkan alibinya dengan tenang.
Lagi pula dia tidak berbohong. Karena kebanyakan template psikopat memang begitu. Tidak semua psikopat itu jahat, tapi yang pasti mereka tak bermoral. Jika ada psikopat yang bermoral, percayalah, mereka hanya bersandiwara.
Wiyan menarik kembali dirinya ketika melihat ekspresi tak nyaman Lail. Lail menyangga dagunya, memandang keluar jendela.
“Akhir-akhir ini, topik yang kita bahas kayaknya terlalu sensitif.”
“Sensitif menurut gue, tapi lo? Kayaknya enggak.” Wiyan menyambar cepat.
Lail mendengus malas.
“Kamu itu terlalu baik, Iyan.” Lail berkomentar.
“Yang penting gue gak naif. Apa salahnya jadi orang baik? Dunia ini kekurangan orang baik.”
"...."
Ah, benar juga. Wiyan adalah orang yang berprinsip, sama seperti Lail. Dan jika Lail ingin terus berkomunikasi baik dengan Wiyan. Maka yang perlu Lail lakukan adalah tak pernah menanyakan apa pun tentang prinsip yang dipegang Wiyan.
Lail tahu. Ketika topik yang mereka bicarakan bukanlah matematika. Melainkan sebuah berita yang tidak diketahui fakta dan datanya. Di mana opini bisa bergerak dengan bebas. Maka Lail dan Wiyan takkan pernah menemukan titik tengah. Keduanya akan terus berdebat sampai salah satunya menang.
Cara berpikir Lail dan Wiyan sangat bertolak belakang. Standar mereka akan sesuatu juga begitu berbeda.
Contohnya...
“Iyan, menurut kamu, apa bisa orang-orang di dunia ini bermoral meski tanpa adanya konsep Tuhan?” Lail iseng bertanya saat membuat soal latihan untuk Wiyan.
Wiyan menghela napas panjang, “Gue gak mau jawab.”
“Kenapa?” Lail mengangkat sebelah alisnya.
“Entar kita malah berantem cuma gara-gara hal sepele.” Jawab Wiyan.
“Tapi masalah Tuhan itu bukan hal yang sepele.” Lail bersikeras.
Wiyan menampilkan senyuman di bibirnya dengan terpaksa. Pertanyaan Lail ini tak ada bedanya dengan pertanyaan seorang gadis pada pacarnya seperti “Lebih cantikan mana? Aku atau mantanmu?” demi memulai peperangan di saat hubungan damai-damai saja. Menyebalkan? Sangat.
Wiyan memilih untuk mengabaikan pertanyaan bodoh Lail. Sebenarnya tidak bodoh, tetapi Wiyan lebih mengharapkan pertanyaan itu datang dari anggota keluarganya atau teman prianya, bukan Lail. Jika seperti ini terus, keinginan Wiyan untuk mendepak Lail jadi semakin meningkat.
Lail menanggapi diamnya Wiyan dengan tawa kecil. Goresan bolpoinnya di atas kertas terhenti. Pandangannya berubah kosong. Tapi itu hanya sementara. Lail kembali menyunggingkan senyum manisnya.
“Pertahanin keharmonisan di hubungan kita itu gampang. Gak usah ulik lebih dalam tentang satu sama lain. Pasti awet sampai ajal datang.” Bisik Lail, lalu meneruskan menulis soal latihan.
Wiyan diam terpaku. Di pandangannya, kumpulan anak remaja yang sedang bermain di arena skate seolah menghilang dalam sekejap setelah Lail menyelesaikan kalimatnya. Menyebalkan sekali. Lail selalu berbicara seolah-olah dia akan meninggalkan Wiyan kapan saja.
Dia tak suka sisi Lail yang satu ini.
“Iyan,” Lail memanggil nama Wiyan pelan nyaris berbisik.
“Hm?”
“Sabtu nanti ke pasar malam yuk. Aku tunggu di depan gang Perum. Mahoni jam 5 sore.” Tambah Lail, suaranya semakin rendah di setiap kalimatnya.
Wiyan tercenung sejenak. Kemudian menjawab, “Oke.”
...****...
Langkah Lail terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa riang anak-anak di taman bermain. Mereka asyik menaiki perosotan, jungkat-jungkit, ayunan dan membuat istana pasir dalam bak.
Namun perhatian Lail tak tertuju pada kesenangan anak-anak itu, melainkan pada sosok mungil yang duduk sendirian di bangku taman.
Atmosfer di sekitar gadis kecil itu sangat suram, berbanding terbalik dengan yang lainnya. Tentu saja itu membuat Lail penasaran. Tanpa sadar, Lail melangkahkan kakinya menuju gadis kecil itu.
“Hey, gadis manis.”
Gadis kecil itu mendongak. Pipi gembulnya tampak penuh meski tak diisi oleh apa pun. Ketika melihat kehadiran Lail, gadis kecil itu tampak sungkan dan membangun alarm peringatan terhadap orang asing. Itu normal. Lail memang sebatas orang asing di mata gadis kecil itu.
Lail jongkok di depannya. Ia tersenyum manis demi mencairkan suasana canggung di antara mereka.
“Hey, kenapa kamu sendirian di sini? Kenapa gak main sama yang lain?”
Gadis kecil itu mencengkeram sesuatu dengan kuat. Sudut matanya terlihat berair. Ia ingin menangis, tapi ditahan. Apa dia malu menangis ketika masih ada orang lain di sekitarnya? Oh, Lail mengenal seseorang seperti gadis kecil ini.
“Aku mau main boneka juga sama mereka, tapi aku gak dibolehin.” Gadis kecil itu menunjuk dua anak perempuan lain yang asyik bermain dengan boneka barbie mereka.
“Kenapa begitu?” Lail bertanya dengan nada sedih.
“Mereka bilang bonekaku jelek.” Gadis kecil itu menggigit bibirnya sendiri demi menahan diri untuk tidak menangis.
“Benarkah? Apa boleh kakak melihat boneka punya kamu?” Lail membujuk.
Gadis kecil itu menyerahkan boneka miliknya dengan tangan gemetar. Boneka itu jelas sekali adalah buatan tangan. Dibuat dari potongan kain berbeda yang ditambal-tambal membentuk kelinci. Matanya terbuat dari kancing. Hidung kelinci itupun dibuat dari gumpalan kain lainnya yang berwarna merah. Dari teksturnya, isinya bukan dakron, tapi kain sisa lainnya.
“Ibu yang buatin kelinci itu...” Suara gadis kecil itu menjadi terbata-bata. “Aku iri ngeliat anak-anak lain punya boneka. Aku minta ke ibu. Besoknya ibu ngasih ini ke aku. Aku seneng banget! Tapi pas aku mau main sama mereka. Mereka bilang boneka kelinci itu dapet mulung dari tong sampah. Padahal... padahal aku ngeliat ibu ngejahit boneka ini sampe begadang semaleman...” gadis itu bercerita sambil tersedu-sedu. Bulir air mata menerobos keluar tak bisa tertahankan lagi.
Hati Lail terenyuh mendengarnya.
Gadis kecil itu memeluk erat-erat boneka kelinci buatan ibunya demi menutupi wajah menangisnya. Mungkin dia tak suka terlihat lemah di depan orang lain. Ya, Lail juga mengenal orang yang sama dengan gadis kecil itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri.
“Emangnya boneka buatan ibu sejelek itu ya...” Suara gadis kecil itu teredam oleh boneka di pelukannya. Tapi Lail tahu, gadis kecil itu sedang menangis keras.
Lail menjulurkan tangannya, hendak memeluk gadis kecil itu. Namun tangannya terhenti di udara kosong. Sial. Bagaimana...
Gimana caranya nenangin anak kecil yang nangis?
Lail mendadak kalut. Keluarganya tak pernah menenangkannya saat sedang menangis. Malah orangtuanya membuat tangisannya menjadi lebih keras. Dia tumbuh di lingkungan keluarga seperti itu. Tidak ada bujukan, tak ada kehangatan, dan tak pula kata maaf yang terlontar dari mulut orangtuanya.
Akhirnya, Lail hanya bisa mematung tak berdaya. Tak ada satupun hal yang dapat dilakukan olehnya selain menunggu gadis kecil itu selesai menangis. Lail duduk di sampingnya, hanya untuk memberitahu gadis kecil itu dalam diam, bahwa dia tak sendiri. Ada Lail yang akan menemaninya sampai dia merasa lebih baik.
Kamu bisa nangis sepuasnya. Gak perlu ditahan-tahan. Jangan sampai kamu tumbuh jadi remaja kayak aku.
Setelah gadis kecil itu lebih tenang. Lail memutuskan mengantarkannya pulang. Tangan mungil itu digenggam erat-erat oleh Lail. Sementara tangan yang satunya memeluk erat boneka kelinci buatan ibunya. Bentuknya memang tak bisa dikatakan bagus, tapi boneka itu akan menjadi benda yang paling berharga untuknya.
“Kamu suka bonekanya?” Lail bertanya, tarikan di sudut bibirnya membuat matanya berbentuk seperti bulan sabit.
Gadis kecil itu mengangguk kuat.
“Mata kakak sekarang kayak bulan sabit!” Gadis kecil itu berkata dengan penuh semangat.
“Iyakah?” Lail memastikan.
Gadis kecil itu mengangguk lagi.
“Kak, itu rumahku!”
“...."
Gadis kecil itu menunjuk ke sebuah rumah kecil di antara rumah-rumah lainnya. Dari awal Lail memasuki desa ini, yang ia lihat hanyalah rumah kumuh. Penduduknya hidup dengan amat sangat sederhana. Sebenarnya itu tidak bisa disebut sebagai sederhana lagi. Namun Lail mencoba untuk tidak kasar.
“Kak, dadah!”
Gadis kecil itu melambaikan tangannya pada Lail dengan riang. Berlari cepat meninggalkannya untuk masuk ke rumah yang dia tunjuk sebelumnya. Sungguh, Lail tak mengira kehidupan gadis kecil itu serendah ini. Karena dari pakaiannya saja, dia terlihat seperti anak-anak yang tumbuh di lingkungan perumahan seperti Lail.
Lail membalas lambaian tangan gadis kecil itu.
Ah... kenapa aku gak belajar dari kasus Bening?
Lail pulang dengan langkah gontai. Rasanya berat untuk maju selangkah demi selangkah. Tidak adakah teknologi yang bisa membuatnya teleportasi super cepat dari sini ke rumahnya? Menemani anak kecil menangis ternyata menguras banyak tenaganya.
“La, gue mau lihat PR yang kemarin itu donk!”
“Hehe, La. Sorry, gue lupa mau ngajak lo.”
“Lo itu kalau bukan ranking 1 kelas, gue juga gak mau temenan sama lo!”
Ingatan Lail saat dirinya SMP kembali teringat olehnya. Ingin sekali Lail membenturkan kepalanya keras-keras sampai ingatannya saat SMP hilang sempurna. Masa SMP adalah yang terburuk baginya.
Sampai di rumah, ternyata hanya ada Delia di sana. Seperti biasa, dia hanya duduk santai sambil menonton TV. Seakan tumpukan piring di wastafel hanyalah bentuk imajiner.
“Bro,”
“Apaan?” Delia menjawab, tapi dia tetap fokus pada acara TV.
“Kalau misalnya aku ngelakuin hal yang menurut kamu gak bener. Apa yang bakal kamu lakuin?”
Delia tersentak. Dia menengok ke belakangnya, di mana Lail berdiri bagaikan patung batu. Tak ada suara. Delia tak menjawab. Mereka bertatapan dalam diam. Ruang tamu mendadak hening, menyisakan gemuruh TV yang terdengar mulai samar.
TBC