Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resonansi Darah Naga
Tiga hari berlalu sejak percakapan malam itu dengan Pertapa Daun Merah. Liu Wei duduk bersila di tepi salah satu kawah kecil, keringat mengalir di dahinya meski udara lembah terasa sejuk. Di hadapannya, gulungan Teknik Resonansi Naga terbuka, huruf-hurufnya berpendar samar dalam cahaya fajar.
"Masih belum ada kemajuan?"
Liu Wei membuka mata untuk melihat Xiao Mei berjalan mendekat, membawa dua mangkuk sup yang mengepul. Aroma rempah yang familiar membuatnya tersadar betapa laparnya dia.
"Sedikit," dia menjawab, menerima mangkuk yang disodorkan. "Tapi masih jauh dari apa yang Pertapa harapkan."
Xiao Mei duduk di sampingnya, mata birunya menatap gulungan tua itu dengan campuran kagum dan was-was. "Kau tahu... kita masih bisa pergi. Mencari tempat lain untuk bersembunyi dari Sekte Awan Ungu."
Liu Wei menggeleng, menyesap supnya perlahan. "Kau dengar apa yang Pertapa katakan. Ada sesuatu di kawah utara... sesuatu yang terhubung dengan klanku. Dan mungkin..." dia ragu sejenak, "mungkin juga terhubung dengan pembantaian itu."
Xiao Mei menghela napas. Tangannya tanpa sadar bergerak untuk menyentuh lengan Liu Wei, sebuah gestur sederhana yang entah sejak kapan menjadi sumber kenyamanan bagi mereka berdua.
"Setidaknya biarkan aku membantumu berlatih," dia menawarkan. "Mungkin dengan energi bulanku-"
"Tidak," Liu Wei memotong, mungkin terlalu cepat. Melihat raut kecewa Xiao Mei, dia melunakkan suaranya. "Maaf, hanya saja... kau lihat apa yang terjadi kemarin."
Mereka berdua bergidik mengingat insiden hari sebelumnya, ketika Xiao Mei mencoba membantu Liu Wei dengan energi spiritualnya. Resonansi antara energi bulan dan energi naga yang mencoba Liu Wei bangkitkan menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan separuh formasi batu di sekitar kawah.
"Lei dan Li masih memperbaiki kerusakannya," Xiao Mei bergumam, setengah geli setengah malu.
Seolah dipanggil, si kembar muncul dari balik rumpun bambu. Seperti biasa, gerakan mereka sinkron sempurna.
"Tuan Muda Liu," mereka berkata bersamaan. "Tuan Pertapa ingin bertemu."
Liu Wei mengangguk, memberikan mangkuk supnya yang sudah kosong pada Xiao Mei. Gadis itu meremaskan tangannya sekali lagi sebelum membiarkannya pergi.
Pertapa Daun Merah sedang duduk di meja jadenya ketika Liu Wei tiba, tangannya menari di atas permukaan meja, menciptakan formasi-formasi rumit yang muncul dan lenyap dalam sekejap.
"Duduklah," dia berkata tanpa mengalihkan pandangan dari formasi di hadapannya. "Bagaimana latihanmu?"
"Masih..." Liu Wei mencari kata yang tepat, "belum memuaskan."
Pertapa akhirnya mengangkat wajahnya, mata merahnya menatap tajam. "Kau terlalu banyak berpikir, anak muda. Resonansi Naga bukan tentang memahami, tapi tentang merasakan." Dia mengetuk meja dengan jarinya yang panjang. "Tutup matamu."
Liu Wei menurut.
"Sekarang, dengarkan. Bukan dengan telingamu, tapi dengan darahmu."
Awalnya hanya ada keheningan. Tapi perlahan, Liu Wei mulai mendengarnya - bisikan-bisikan yang sudah akrab, tapi kali ini lebih jelas, lebih mendesak.
"Apa yang kau dengar?"
"Mereka... mereka memanggil," Liu Wei menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Tapi bukan namaku. Mereka memanggil... Liu Tian."
"Bagus," Liu Wei bisa mendengar senyum dalam suara Pertapa. "Sekarang, buka telapak tanganmu."
Saat Liu Wei melakukannya, dia merasakan sesuatu yang dingin diletakkan di sana.
"Jangan buka matamu," Pertapa memperingatkan. "Rasakan dengan darahmu. Apa yang kau pegang?"
Liu Wei berkonsentrasi. Benda di tangannya terasa... hidup. Berdetak dengan ritme yang entah kenapa terasa sinkron dengan detak jantungnya sendiri.
"Sisik," dia akhirnya berkata. "Sisik naga."
"Buka matamu."
Saat Liu Wei melakukannya, dia melihat sebuah sisik merah berkilau di telapak tangannya. Tapi yang lebih mengejutkan, seluruh tubuhnya kini diselimuti aura kemerahan yang samar - mirip dengan aura Pertapa, hanya jauh lebih lemah.
"Resonansi pertamamu," Pertapa mengangguk puas. "Sisik itu adalah milikku, dari wujud asliku sebagai Naga Api. Simpan dan pakailah saat berlatih. Ini akan membantumu... membangunkan apa yang tertidur dalam darahmu."
Liu Wei menggenggam sisik itu erat. "Terima kasih, Yang Mulia. Tapi... bolehkah saya bertanya sesuatu?"
Pertapa mengangkat alisnya.
"Kenapa... kenapa Anda membantu saya? Bukankah dulu klan saya mencoba mencuri dari Anda?"
Untuk pertama kalinya, Liu Wei melihat sesuatu yang mirip kesedihan di mata merah itu.
"Karena, Liu Wei... dosaku pada klanmu jauh lebih besar dari dosa klanmu padaku." Dia menghela napas. "Dan saat bulan purnama nanti... kau akan mengerti."
Saat Liu Wei kembali ke tepi kawah, Xiao Mei masih menunggunya. Gadis itu terlihat terkejut melihat aura merah yang menyelimuti Liu Wei.
"Liu Wei, kau..."
"Ya," dia tersenyum, mengeluarkan sisik naga dari sakunya. "Kurasa aku mulai mengerti. Dan Xiao Mei..."
"Ya?"
"Terima kasih sudah tetap di sini. Bersamaku."
Xiao Mei tersenyum, senyum yang selalu membuat jantung Liu Wei berdetak sedikit lebih cepat. "Kemana lagi aku akan pergi? Kita 'kan... buronan bersama."
Di kejauhan, bulan yang hampir penuh mengintip dari balik awan. Tinggal tiga hari lagi menuju bulan purnama.
Dan saat Liu Wei memulai latihannya lagi, kali ini dengan sisik naga di genggaman dan Xiao Mei di sisinya, dia tidak tahu bahwa takdir sedang menganyam jaring yang akan menangkap mereka semua.
Karena dalam dunia kultivasi, setiap kekuatan datang dengan harganya.
Dan harga untuk darah naga... adalah yang terberat dari semuanya.