Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPUTUSAN AKHIR
Pintu kamar tidur Laina diketuk keesokan paginya, dengan suara rendah Azkan terdengar dari balik pintu, “Lai, kau sudah bangun?”
“Iya, sebentar.” sayangnya, jawaban yang didengar Azkan hanya kata iya. Sehingga dia langsung membuka pintu kamar Laina dan disambut dengan teriakan Laina yang hendak memakai baju.
“Maaf!” Azkan berbalik, tapi tetap masuk ke dalam kamar Laina, lalu menutup pintu di hadapannya. Azkan tak menyangka akan dikejutkan dengan pemandangan seindah itu sepagi ini. Padahal mereka belum sarapan, tapi rasanya tubuhnya sudah penuh.
“Az!” Laina bergegas mengancingkan kemeja biru mudanya yang longgar, lalu memasukkannya ke dalam celana jins putih yang dia ambil dari bagian paling atas lemari pakaiannya. Setelah mengancing celana jinsnya, Laina menatap Azkan yang masih berdiri sambil menghadap pintu dengan tatapan sebal. Azkan bisa merasakannya, tapi mau tak mau, senyumannya terbentuk ketika bayangan kejutan tadi muncul di dalam kepalanya.
“Maaf, aku tidak tahu kalau kau sedang berganti baju. Kenapa tidak mengganti baju di dalam kamar mandi saja?”
“Ini kan kamarku!”
“Maaf …” pelan-pelan, Azkan menoleh ke belakang, dan tersenyum lebar ketika melihat Laina sedang berdiri menatapnya sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Laina jelas terlihat sebal karena dia masuk di waktu yang salah, tapi di dalam hati Azkan sekarang, perasaannya diliputi kebahagiaan.
“Apa kau sungguh-sungguh minta maaf?” Laina mengangkat alis.
“Sungguh. Tapi aku juga bersyukur.”
“AZKAN!”
Tawa Azkan pecah. Dia berjalan menghampiri Laina yang masih merajuk. Dengan kedua tangannya, dia mengangkat tubuh Laina, membuatnya berteriak sekali lagi karena terkejut, “Turunkan aku, Az!”
“Baiklah.” tepat setelah menurunkan tubuh Laina hingga dia kedua kakinya menginjak lantai, Azkan langsung meraih tubuh Laina ke dalam pelukannya. Semakin lama semakin erat, hingga dia bisa membenamkan wajahnya di leher Laina dan menghirup aroma tubuh Laina yang selalu harum. Rambut panjang Laina yang lembut juga terasa nyaman baginya hingga dia memejamkan mata, membiarkan seluruh inderanya menikmati semua kenikmatan itu.
“Apa begini caramu meminta maaf?” Laina tak membalas pelukan Azkan.
“Sungguh, aku tidak sengaja. Aku tidak tahu.”
“Bagaimana kalau kau tahu aku sedang berganti baju?”
“Bolehkah aku mengintip sedikit?”
Buk!!
Laina memukul punggung Azkan dengan tinju kecilnya. “Pukulanmu kuat juga ya?”
“Huh!” Azkan melepaskan pelukannya, menatap wajah Laina yang masih dengan jelas menunjukkan kekesalannya. Senyumannya tetap hangat, tatapan matanya tetap sedalam perasaannya, meski sekarang Laina sedang memarahinya. Azkan menikmati momen ini. Seseorang yang dia sayangi, seseorang yang menyayanginya, sedang meluapkan perasaannya dengan jujur. Azkan sudah lupa bahwa dua orang manusia yang saling berbagi perasaan, bisa memiliki momen-momen seperti ini.
“Maafkan aku, Lai.” Azkan membelai wajah Laina. “Lagipula, hanya aku yang melihatnya. Dan kau seharusnya bangga dengan semua yang kau miliki. Kau mengagumkan.” wajah Laina merona. Bukan permintaan maaf seperti ini yang dia bayangkan.
“Aku sudah lupa bagaimana rasanya berhubungan dengan seseorang dalam ikatan romantis seperti ini. Setiap hari, aku bangun dengan jenis semangat yang berbeda. Aku ingin menemuimu, bersama denganmu, menghabiskan waktu dengan melakukan banyak hal bersamamu, segala sesuatunya, selalu terhubung denganmu. Bahkan sekarang, ketika kau merajuk seperti ini, aku merasa bahagia. Jadi, bisakah kau jangan marah lagi padaku? Aku benar-benar tidak tahu tadi.”
Laina berdeham, merasa tenggorokkannya tercekat sesuatu. “Baiklah.”
Azkan tersenyum lebar. “Ayo kita sarapan. Setelah itu, kita harus mendatangi Eveline. Hari ini sudah waktunya.”
“Apa tidak masalah kalau aku ikut?”
“Tentu saja. Kau pendampingku.”
“Tapi, kali terakhir, bukankah dia marah padaku karena kau memilihku? Apa kehadiranku tidak semakin memperburuk masalah yang sudah ada?”
“Tidak. Dia harus bisa mengatasi perasaan-perasaan pribadinya sendiri. Lagipula, mulai sekarang, sejak kau menerimaku sebagai seorang kekasih, semua orang di pulau ini sudah tahu kalau kau adalah pasanganku. Jadi wajar kalau kau ada bersamaku ketika aku mengerjakan tugas sebagai Sang Penjaga.”
“Baiklah. Ayo pergi.”
Mobil hitam Azkan melaju cepat menuju pintu samping rumah sakit seperti kali terakhir Laina datang ke sana. Tidak ada yang berbeda dari bangunan tanpa akses kemanapun itu. Laina mengikuti Azkan berjalan di sisinya menuju kamar paling ujung. Ingatan tentang apa yang terjadi sebelumnya, memenuhi kepala Laina.
Azkan membuka pintu dimana Ardoz sudah menunggu mereka. Beberapa prajurit lain yang sempat ditemui Laina ketika Azkan memperkenalkannya di hari pertama, juga ada disana. Mereka menganggukkan kepala, memberikan salam pada Laina dan Azkan. Wajah mereka serius.
Ketika masuk ke dalam kamar Eveline, Laina langsung menutup mulutnya yang hendak berkata, “Ya Tuhan!” Dia berusaha diam. Di dalam situasi ini, dia tak tahu apa hal yang benar untuk dilakukan. Dia tak punya pengalaman apapun. Dia menahan diri sekuat mungkin untuk tetap diam, seakan-akan kehadirannya tak nyata di dalam ruangan tersebut.
“Eveline, sekarang waktunya mengambil keputusan. Bagaimana?” Azkan berdiri dalam jarak selangkah dari tempat tidur Eveline. Tubuhnya memang sudah tak diikat. Tetapi penampilannya tak jauh lebih baik dari sebelumnya. Di kedua mata Eveline, Laina maupun Azkan, tak lagi melihat binar kehidupan.
“Azkan,” dengan tatapan tanpa nyawa, Eveline menatap Azkan. Dia mengabaikan Laina yang tak bersuara.
“Iya?”
“Aku tetap tidak bisa menerima kehidupanku apa adanya. Di sini, di dalam sini,” Eveline menujuk dadanya dengan jemari yang lemah. “Rasanya tidak nyaman tiap kali aku mengingat semuanya. Bukan karena aku telah melakukan kesalahan. Tapi karena aku memiliki kehidupan yang berbeda dari Arlina. Aku tetap merasa tidak adil. Seharusnya aku juga memiliki semua kebahagiaan yang mengisi hidup Arlina. Bukankah begitu? Kalau kau sudah mengulang masa laluku, sudah menasehatiku begitu panjang, sudah memberiku waktu untuk berpikir baik-baik, tapi sampai akhir, aku tetap merasa tidak bisa menerima semuanya, bukankah itu artinya aku memang benar, Azkan?”
“Eveline,” tatapan mengasihani Azkan membuat Eveline menundukkan kepala, diikuti punggungnya yang lunglai, membungkuk ke depan.
“Aku tidak bisa Azkan. Aku tidak bisa menerima apa yang telah terjadi di hidupku sebagai takdirku. Aku tidak mau punya takdir seperti itu.”
“Sudah terlambat untuk mengatakan hal ini, tapi seharusnya, dulu, ketika kau datang ke rumah paman dan bibimu, seandainya kau bisa menempatkan dirimu dengan tepat, hal-hal buruk tidak akan terjadi. Seandainya kau tidak mengharapkan kasih sayang seorang ibu dari bibimu, melainkan menempatkan dirimu sebagai anggota keluarga besar dari pamanmu dan bersyukur karena mereka sudah memberimu tempat tinggal, maka pikiran-pikiran serakah lainnya tidak akan bermunculan. Tapi sekarang, semua sudah terlambat. Yang tersisa hanyalah kesempatan terakhir bagimu. Jika kau bisa memahami kesalahanmu di masa lalu dan dengan hati terbuka, kau bersedia untuk memulai sebuah kehidupan dengan cara yang baru, kau bisa mendapatkan kesempatan itu. Namun syarat pertamanya adalah, kau harus menerima masa lalumu.”
“Azkan, aku tidak bisa menerima masa laluku.” tatapan Eveline membuat Laina menggigit bibir.
“Kau yakin dengan apa yang kau katakan?” Eveline mengangguk.
“Itu artinya, kau tidak akan mendapat kesempatan untuk memilih kehidupan keduamu. Tidak ada lagi kesempatan untukmu menjalani kehidupan yang berbeda.” Eveline hanya diam menatap Azkan.
“Apa benar, ini adalah jawaban terakhirmu, Eveline?” cahaya kebiruan menguar di sekeliling tubuh Azkan. Kedua bola matanya bersinar lebih terang dari biasanya. Laina merasakan aura yang begitu kuat dari sosok Azkan. Aura yang membuatnya memberikan ketundukan pada kekuatannya.
“Iya. Bagaimanapun aku memikirkannya, aku tetap tidak bisa menerima masa laluku. Kalaupun aku mengulang kehidupan yang sama, aku akan melakukan hal yang sama. Bahkan mungkin lebih dari yang pernah kulakukan. Aku akan berusaha untuk mendapatkan kehidupan milik Arlina. Karena aku juga berhak memiliki hidup sepertinya.”
“Baiklah, aku menerima keputusan terakhirmu, Eveline. Maka sekarang, waktunya bagimu untuk menerima konsekuensi dari pilihanmu.”
Azkan memberikan Eveline waktu sejenak untuk mencerna kata-katanya. Seiring dengan cahaya biru di sekeliling tubuhnya yang semakin membesar, Azkan mengangkat tangannya, mengulurkan tangannya ke arah Eveline, lalu membuka telapak tangannya, membiarkan gulungan ombak dari api birunya menggulung di atasnya, lalu dengan satu kalimat terakhirnya, Azkan mengakhiri keberadaan Eveline di Pulau Asa, “Kegelapan Abadi.”
Azkan menutup telapak tangannya, meremas gulungan ombak api biru di atasnya hingga lenyap. Tepat ketika Azkan meremas gulungan ombak api birunya, tubuh Eveline diliputi awan hitam, hingga tak terlihat oleh orang lain lalu ketika api biru di tangan Azkan padam, awan hitam itu pun hilang, menyisakan ketiadaan. Eveline tak lagi ada di Pulau Asa. Dia telah pergi ke dalam Kegelapan Abadi, tempat dimana para jiwa yang tak lagi hidup, memutuskan hidupnya untuk selamanya dalam ikatan perasaan yang tak terselesaikan.
“Ardoz,” panggilan Azkan terdengar begitu tenang, mengingat apa yang baru saja terjadi.
“Iya,” Ardoz muncul dari balik pintu kamar Eveline.
“Umumkan pada seluruh pulau, Eveline, Sang Perempuan Pilihan ketujuh, mengakhiri keberadaannya di Pulau Asa ke Kegelapan Abadi.”
“Baik.” tanpa mengajukan pertanyaan, Ardoz menundukkan kepala, menerima perintah Azkan, dan segera pergi ke kantor pemerintahan Pulau Asa, untuk mengumumkan kejadian itu.
“Semua tentang Eveline sudah selesai.” Azkan menatap Laina yang masih mencerna kejadian itu.
“Jadi, Eveline, …” Laina bingung harus menyebutnya apa. Lenyap? Hilang? Pergi?
“Tidak ada lagi.” Azkan menyelesaikan kalimat Azkan.
“Apa aku juga bisa berakhir seperti itu?” pertanyaan Laina membuat wajah Azkan mengeras, sorot matanya menggelap.
“Iya, bisa. Tapi aku tidak akan membiarkannya.” Azkan melingkarkan tangannya di pinggang Laina, membawanya pergi meninggalkan kamar yang dulunya ditempati Eveline. Dia ingin membawa Laina pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Dia ingin mengenyahkan semua kemungkinan tentang Laina yang mungkin akan berakhir sama. Tidak boleh. Tidak akan pernah terjadi. Aku akan melakukan apa pun untuk membuatnya tidak terjadi.