Hari itu Jeri tak sengaja melihat Ryuna yang sedang menari sendirian di lapangan basket. Ia yang memang dasarnya iseng malah memvideokan gadis itu. Padahal kenal dengan Ryuna saja tidak.
"Lo harus jadi babu gue sampai kita lulus SMA."
"Hah?!" Ryuna kaget.
"Pasti seru." Jeri tersenyum misterius membuat Ryuna menduga lelaki itu akan menyiapkan seribu rencana untuk membuatnya sengsara.
"Seru apanya?! Fix sih, lo yang nggak waras di sini!" gadis itu menatap Jeri dengan pandangan menghujat.
Sejak hari itu, Ryuna harus selalu berurusan dengan Jeri yang senang sekali bukan hanya mengganggu namun juga menjadikannya babu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Jeri berusaha memproses maksud ucapan Ryuna. Lelaki itu baru saja akan menanggapi namun Ryuna lebih dulu lanjut berbicara.
"Gue cuma ..., kayak kenapa mereka terus menyakiti satu sama lain? Apa mereka nggak berpikir ada pihak lain yang juga kena imbasnya? Gue nggak ngerti. Mau mikir ke depannya gimana, tapi semua nggak jelas. Kita bakal lulus SMA kan? Baru aja gue mikir apa hidup gue bakal terus kayak gini?"
Jeri rasa ini lebih serius dari yang ia kira. Apa Ryuna ada masalah dengan orangtuanya? Atau ia berada di antara masalah mereka?
"Ada banyak hal yang bisa lo coba dan lo lakuin nanti."
Ryuna menggeleng. "Kayaknya ini bukan waktunya coba-coba. Gue udah kelas dua belas, kalau lulus nggak tahu mau apa, kalau mau kuliah ngambil jurusan apa. Belum lagi ..., gue ngerasa nggak ada passion di bidang apa pun."
"Gimana sama bokap nyokap lo? Lo udah ngomong ke mereka?"
Pandangan Ryuna seketika meredup. "Entahlah. Gue rasa semua kebingungan gue berasal dari sana."
"Mungkin lo harus nyoba minta pendapat mereka."
"Kayaknya itu bukan ide bagus. Gue nggak yakin." Ryuna menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Lo belum nyoba."
Ryuna menggeleng. "Kalau aja lo tahu gimana nyokap dan bokap gue saat ini. Kadang gue nggak mau ada di rumah kalau bokap sama nyokap ada, rasanya kayak bukan rumah."
Gadis itu berusaha mengendalikan diri. Ia menghela napas. "Gue nggak berharap lo ngerti, lo lupain aja yang barusan gue bilang. Gue pengen ke toilet dulu. Duluan nggak papa ya?"
Jeri hanya menatap Ryuna dan sama sekali tak merubah posisinya.
"Jer?"
Ryuna merasa salah tingkah ditatap sedemikian rupa. Ia menutup mata lelaki itu dengan sebelah tangannya. Lalu, Ryuna melihat bibir Jeri melengkung ke atas. Gadis itu menarik tangannya dan ganti mendorong sedikit kepala Jeri agar lelaki itu menoleh ke arah lain.
"Lo nggak perlu nanggung semua sendiri," gumam Jeri.
"Apa?" Ryuna sebenarnya mendengar ucapan Jeri tapi berusaha memastikan bahwa pendengarannya tidak bermasalah.
"Weekend ini lo sibuk nggak?" Jeri malah mengganti topik.
Gadis itu tak mau jika weekend-nya diganggu lagi.
"Sibuk dong," jawab Ryuna cepat.
Jeri menoleh dengan tatapan seolah meremehkan. "Sibuk apa lo?"
"Me time!"
"Ck, entar lo ikut gue."
"Weekend ini? Nggak bisa, itu waktunya gue bermanja ria sama sama ranjang dan drakor. Gue butuh mood booster. Udah berapa weekend yang lo sita dari gue sebelumnya!" Ryuna tak terima.
"Masa depan lo suram," celetuk Jeri seenaknya.
"Sembarangan! Tarik ucapan lo, ucapan adalah do'a, Jer."
Lelaki itu mengangkat bahu. "Makannya entar ikut gue. Lo masih babu gue selama kita belum lulus SMA."
Ryuna sebenarnya cukup senang karena Jeri mendengarkannya tadi. Meskipun ia masih ragu apakah aman jika bercerita pada lelaki di sampingnya ini.
Selain itu, jika weekend ini keluar lagi, Ryuna pasti harus izin. Masalahnya semenjak terpaksa harus dekat dengan Jeri, ia sering keluar. Orangtuanya mungkin mengira Ryuna bermain-main tak jelas.
"Gue malas izin Jer." Ryuna nyaris merengek.
"Entar gue bantu."
"Nggak!" tolak gadis itu mentah-mentah.
"Entar gue yang jemput lo."
"Dibilangin nggak."
"Lo nggak punya pilihan, gue bakal tetap jemput," ucap Jeri.
Tamatlah riwayat Ryuna. Ia tak siap dan lebih lagi tak bisa menduga bagaimana respons kedua orangtuanya, terlebih sang ayah.
"Oke, tapi gue tetap bawa motor sendiri!"
Lelaki itu hanya mengangguk. Jeri berdiri dan mulai melangkah. Namun baru beberapa langkah, ia menatap ke belakang. "Lo mau jadi ke toilet nggak?"
"Jadi, kenapa? Mau ikut?"
"Ayo."
"Dih! Dasar cowok!"
"Lah? Lo yang nawarin."