NovelToon NovelToon
Stuck On You

Stuck On You

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: _Sri.R06

Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.

Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.

Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.

Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dimulainya Kesalahpahaman

Mungkin, di antara semua tempat di kediaman Bellamy, yang saat ini paling Agnia sukai adalah dapur.

Lihat saja sekarang, wanita itu tampak dengan senang hati membuat makanan instan dengan minuman hangat sebagai pelengkap di sore hari. Agnia memang bukan tipe orang yang suka merepotkan dirinya dengan memasak sendiri, terlebih dia memang tidak terlalu pandai dalam membuat olahan masakan.

Agnia lantas tersenyum saat makanan yang dia siapkan telah selesai. Tapi sebelum dia berbalik indra pendengarnya menangkap suara sepasang sepatu yang berketukan dengan lantai.

Agnia berbalik, tertegun menemukan Abian tengah berjalan ke arahnya. Namun beberapa detik setelahnya tiba-tiba saja Daniel muncul dari balik punggung Abian.

“Kau di sini?” tanya Daniel, suara khasnya terdengar ceria.

Agnia mengangguk saja. Sebenarnya, saat ini alarm bawah sadarnya memasang peringatan berbahaya. Rasanya mungkin kedua adik-kakak itu bisa saja mengambil makanannya lagi seperti terakhir kali.

“Itu—”

“Milikku, tidak boleh diambil!” Agnia langsung memotong Daniel bahkan sebelum pria itu berbicara. Entahlah, tapi pria itu lebih mencurigakan saat ini. Jadi, rasanya Agnia harus waspada.

“Eh, siapa yang mau mengambil makananmu?” Daniel balik bertanya. Tidak terima dituduh seperti itu.

“Matamu itu sudah mengarah pada makananku. Terakhir kali kamu juga mengambil makanan milikku, pasti sekarang juga sama, kan?” 

“Tidak!” kilahnya, meski begitu, Daniel memang tergoda dengan makanan yang Agnia bawa. Namun, menyadari di sampingnya adalah pria yang menyeramkan Daniel menyimpan sendiri keinginan itu.

Namun Agnia masih memandang dengan tatapan curiga. Menyipitkan mata pada sosok Daniel yang tampak tertekan di bawah tatapan wanita itu. Kemudian Agnia beralih pandang pada Abian yang masih diam sedari tadi. Pria itu memancarkan aura mencekam terlebih saat memperhatikan interaksi Agnia dengan sang adik.

“Aku  … akan kembali ke kamar, kalian silahkan lanjutkan urusan kalian.” Agnia memutus kontak mata dengan Abian, namun baru berjalan beberapa langkah suara Abian berhasil membuat Agnia berhenti.

“Jangan terlalu sering makan pedas.”

Agnia tertegun, suara Abian terdengar lembut namun juga tegas. Dia terdiam untuk beberapa saat, rasanya perasaan aneh muncul di hatinya saat mendengar Abian yang seolah sedang mengkhawatirkannya.

“Iya.” Agnia hanya menjawab singkat.

“Tunggu, Agnia.”

Kini suara Daniel yang membuat Agnia kembali berhenti. Dia berbalik menatap pria itu dengan sorot horor di sana. Berhati-hati jika sewaktu-waktu Daniel mengambil makanannya.

“Kenapa?” tanya Agnia, semakin memeluk nampan berisi makanan dan juga minuman panas di atasnya.

“Tentang permintaan kamu waktu itu, aku sudah menemukan yang bagus, kamu bisa melihatnya denganku nanti,” kata Daniel, kali itu Agnia membulatkan mata.

“Benarkah?” jawabnya, terlihat bersemangat.

“Apa yang kalian bicarakan?” Abian sendiri tidak tahan melihat tatapan dan juga senyuman yang Agnia berikan pada pria lain. Entah apa yang salah dengan dirinya sendiri saat ini.

Namun Agnia yang terlanjur senang langsung mendekat pada Daniel tidak memperhatikan pertanyaan dari Abian.

“Benar? Kamu serius, kan? Harganya sudah sesuai?” Agnia bertanya berturut-turut. Namun Daniel sudah membusungkan dada menunjukkan kalau dia sudah berhasil.

“Itu adalah sebuah rumah yang nyaman cukup besar dan akses menuju jalan raya juga mudah,” kata Daniel, tersenyum jumawa. Namun karena itu Agnia malah tidak yakin.

“Berapa … harganya?” tanya Agnia sedikit ragu saat mengatakan pertanyaan itu.

Daniel langsung dengan percaya dirinya mengangkat tiga jari di depan muka Agnia. Wanita itu menyipitkan mata bertanya dengan ragu. “Tiga ratus?” tanya Agnia, tiga ratus ribu perbulan? Itu memang sangat murah. Tapi dari mana Daniel mendapatkannya.

Daniel tersenyum, lantas menggeleng. “Tiga juta!” katanya, cukup percaya diri. Itu sangat murah bukan, dengan fasilitas yang terbilang lengkap harga itu sangat terjangkau.

“Apa?!” Namun jelas tidak masuk di kantong Agnia. Itu sangat mahal. Bisa-bisa dia tidak makan hanya untuk membayar sewa rumah per bulannya itu.

“Tiga juta?!”

Daniel masih tersenyum sebelum kembali mengangguk dengan tenang. “Murah, ‘kan?”

“Mungkin untukmu.” Agnia berkata dengan lemah, bahunya sudah meluruh seolah kehilangan harapan.

“Ya sudah terima kasih,” kata Agnia.

Kemudian wanita itu berbalik, namun belum sempat meninggalkan dapur, Abian terlebih dulu menahan pergelangan tangannya.

“Kenapa?” tanya Agnia.

“Apa yang kamu butuhkan?” tanya Abian.

Agnia terdiam sejenak. “Tempat tinggal,” katanya kemudian.

“Kenapa tidak meminta bantuanku?!” Abian menaikkan nada suaranya, namun masih cukup tenang di telinga.

“Kamu yang menolaknya waktu itu, ingat?” Agnia berkata dengan tenang, namun itu berhasil membuat Abian terdiam. Dia memutar kembali ingatan beberapa waktu lalu saat Agnia meminta bantuan padanya, namun Abian menolak dengan bermacam alasan.

“Apa kamu begitu ingin pergi dari rumah ini?! Tidak bisakah tetap tinggal dengan tenang?” Perkataan Abian waktu itu.

"Aku hanya tidak bisa terus tinggal di sini, Abian.”

Namun saat itu Abian ingat dia malah pergi meninggalkan Agnia setelah berkata. “Aku memiliki urusan di luar, aku harap kamu tidak membahas hal ini lagi nanti.”

Jadi setelah itu Agnia tidak lagi membahas hal ini dengan Abian. Dan kebetulan dia bertemu dengan Daniel, pria itu bertanya lebih dulu karena melihat Agnia yang murung. Agnia menceritakan masalahnya tanpa berniat meminta bantuan pada siapapun lagi, namun saat itu Daniel malah mengajukan diri membuat Agnia senang. Dan tentang ini, Abian sama sekali tidak tahu, bahkan tentang Abian yang menolak Agnia saja dia sudah lupa.

Agnia kira, dengan meminta bantuan pada Abian akan lebih mudah mencari tempat tinggal, terlebih dia juga berpikir Abian juga tidak akan keberatan Agnia mencari tempat tinggal di luar. Namun setelah semua ini ternyata pemikiran Agnia salah, bukan hanya keberatan, justru Abian malah memperlakukan Agnia begitu dingin.

Mengingat ini membuat wanita itu kesal sendiri.

“Kamu sudah ingat, kan. Kamu sendiri yang tidak ingin aku membahas hal ini, aku melakukannya sesuai perintahmu,” kata Agnia. Dia menatap pergelangan tangannya yang masih di genggam Abian. Tangannya yang lain menarik tangan Abian agar melepaskannya. Setelah itu, berjalan pergi dengan cepat menuju kamarnya untuk melanjutkan rencana awal. Makan!

“Kamu telah membuat masalah besar untuk dirimu sendiri, Kak,” Daniel berbicara tepat di samping Abian. Dia berdecak sambil menggelengkan kepala dengan dramatis, menatap iba pada sang kakak yang tampak menyedihkan itu.

Abian tidak memperdulikan perkataan Daniel, dia kemudian pergi dari sana untuk menuju ruang kerja pribadinya.

***

Sudah beberapa jam sejak percakapan terakhir mereka. Bahkan langit pun sudah menjadi gelap. Abian masih tidak tenang karena belum juga bertemu dengan Agnia. Sebelumnya, Abian sudah memerintahkan seseorang yang ia percaya untuk mencarikan Agnia tempat tinggal, meskipun dia jauh lebih berharap Agnia tidak akan menggunakannya.

Untuk kesekian kalinya, langkah Abian tidak berhenti. Dia terus berjalan bolak-balik tanpa arah. Keresahan itu tercetak jelas di wajahnya. Apalagi saat panggilannya yang ke-lima tidak kunjung dijawab oleh Agnia.

Ingin langsung menuju kamar wanita itu, tapi mungkin malah akan membuat Agnia semakin tidak ingin menemuinya.

Mencari peruntungan terakhir, Abian kembali menekan nomor Agnia sebelum menempelkan ponselnya di telinga.

“Agnia?” Abian begitu lega saat panggilannya di jawab. Dia tidak tahan untuk memanggil nama wanita itu. Namun, tampaknya Agnia tidak bersemangat hingga untuk beberapa detik ponsel itu hanya menunjukkan keheningan.

“Agnia? Kamu mendengarku?” Abian kembali bertanya, berharap kali ini Agnia dapat menjawab suaranya.

Namun bukan Agnia yang memanggil namanya, melainkan yang Abian dengar justru adalah suara rintihan dan erangan kesakitan dari balik ponsel itu. Abian membeku, dia mendadak panik. Ada apa dengan Agnia? Apa wanita itu dalam kesulitan? Apakah dia sakit?

Begitu kepalanya dipenuhi dengan kekhawatiran. Abian langsung mematikan panggilan. Selanjutnya sepasang kakinya melangkah begitu cepat keluar dari ruangan menuju kemungkinan keberadaan Agnia saat ini.

“Agnia kamu di dalam?” Abian langsung mengetuk pintu kamar Agnia beberapa kali, karena tidak ada jawaban, tangannya terulur membuka pintu. Namun pintu kamar Agnia ternyata di kunci.

Abian memutar otak, sampai seorang pelayan lewat yang langsung Abian hentikan.

“Permisi, Tuan.”

“Tunggu,” tahan Abian.

“Iya, Tuan. Ada yang bisa Saya bantu?” tanya wanita itu dengan kepala yang tertunduk.

“Kamar ini memiliki kunci duplikat, bukan?”

“Benar Tuan, Tuan besar memerintahkan untuk setiap ruangan memiliki kunci duplikat agar menghindari situasi yang tidak diinginkan,” jawab wanita itu dengan sopan.

“Ambilkan kemari,” titah Abian, yang dengan cepat wanita itu menyanggupinya tanpa bertanya lagi.

Tidak sampai satu menit pelayan wanita itu sudah kembali dengan kunci di tangannya. Abian langsung menggunakan kunci duplikat kamar Agnia hingga kamar itu berhasil terbuka. Sebelumnya Abian sudah memerintahkan pelayan itu untuk pergi, hingga kini hanya ada dirinya di sana.

Namun begitu pintu terbuka, dan Abian baru melangkahkan kakinya sebanyak tiga langkah, dirinya langsung dihadapkan dengan pemandangan dimana rasa cemasnya bertambah berkali lipat.

“Agnia, kamu baik-baik saja?” Abian langsung menghampiri ranjang di mana saat itu Agnia terbaring di atasnya. Wanita itu tampak meremas perutnya dengan suara ringisan di bibir membuat Abian tidak berpikir dua kali untuk mendekatinya.

“Hei, apa yang terjadi?”

Agnia yang saat itu sedang memejamkan mata akibat rasa sakit di perutnya langsung membuka matanya saat mendengar suara tidak asing yang masuk di telinganya.

Mata itu seketika membulat saat melihat wajah Abian sudah ada di hadapannya. “Abian? Kenapa … kamu di sini?” Agnia memaksa tubuhnya untuk bangun, dia sedikit menjauh dari Abian, menjaga jarak mereka agar tidak terlalu dekat.

“Aku berulang kali menghubungimu tapi tidak kamu angkat, kemudian saat panggilan terakhir kamu angkat aku justru malah mendengar suaramu yang seperti menahan sakit. Karena itu aku datang. Katakan ada apa? Apa yang kamu rasakan?” tanya Abian, begitu perhatian.

“Aku … tidak apa-apa.” Saat menjawab itu wajah Agnia sedikit memerah. “Ini … aku sudah terbiasa seperti ini,” lanjutnya dengan suara kecil.

“Apa?!” Abian jelas saja terkejut. “Kamu sudah biasa merasakan rasa sakit seperti ini tapi tidak berbicara padaku?! Ayo, kita ke rumah sakit sekarang.” Abian berniat menggendong Agnia namun secepat kilat Agnia menahan tangan pria itu.

“Tidak perlu! Itu … sebentar lagi juga akan membaik. Ini memang sering terjadi saat … menstruasi.”

Abian langsung terdiam, apa yang baru saja dia dengar membuat kepalanya tidak bisa berpikir cepat. Rasanya pembahasan ini malah membuat suasana menjadi canggung.

Tapi begitu melihat Agnia tampak menahan sakit sambil memegangi perutnya membuat Abian tidak tega.

“Tunggu sebentar, aku akan segera kembali.” 

Agnia menatap heran kepergian Abian, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan pria itu sehingga terburu-buru.

***

Saat suara petir terdengar, Abian tertegun. Hatinya ragu apakah melanjutkan perjalanan atau memilih berhenti dan kembali. Akankah langit menurunkan hujan, atau tidak? Abian bertanya-tanya.

Sekilas, bayangan wajah Agnia yang tampak kesakitan di kepalanya membuat tekad Abian lebih kuat. Kembali melajukan mobil, hingga dia akhirnya sampai di depan sebuah minimarket terdekat.

Abian segera memasuki tempat itu, namun langkahnya terhenti begitu tepat di depan pintu masuk. Dia memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang nanti Agnia butuhkan. Selain itu, Abian juga tidak tahu. Saat wanita sedang menstruasi kira-kira hal apa yang harus dia beli.

Tapi akhirnya Abian memilih masuk, dia langsung menuju penjaga kasir, yang saat itu menyambutnya dengan senyuman profesional.

“Tolong belikan sesuatu untuk wanita yang … mengalami sakit saat menstruasi. Sesuatu yang bisa meredakan rasa sakitnya,” kata Abian, raut wajahnya dibuat setenang mungkin. Namun ada gurat kemerahan yang menjalari telinganya. Bagaimanapun, seumur hidup Abian tidak pernah melakukan hal ini.

“Baik Tuan, Tunggu sebentar.” Wanita itu nampak menahan senyum, lantas berjalan di antara rak-rak penyimpanan hingga Abian tidak bisa lagi melihatnya.

Saat wanita itu telah kembali dengan sesuatu yang dia bawa. Itu seperti botol minuman yang sepertinya memang ditujukan untuk wanita yang tengah menstruasi, Abian kembali berbicara. “Tolong sekalian dengan makanan ringan dan roti.”

Wanita itu kembali mengangguk, berjalan kembali ke tempat sebelumnya mengambilkan apa yang Abian butuhkan.

Kemudian tidak sampai 5 menit semua pesanan Abian sudah berada di atas meja kasir. Setelah membayar semua belanjaan, Abian segera keluar dan kembali menghela napas lega saat melihat langit tidak menurunkan hujan malam itu.

.

.

.

Satu kantong kresek berukuran sedang sudah Abian genggam guna dia berikan pada Agnia. Membayangkan bagaimana wajah Agnia yang bahagia saat mendapatkan makanan darinya membuat Abian turut senang.

Abian kembali mengetuk pintu, kemudian langsung memasuki kamar Agnia mengantarkan semua yang ia bawa.

Saat itu Agnia tampak sedang terduduk dan bersandar di kepala ranjang.

Agnia menyadari kedatangan Abian, dia mengerutkan kening saat melihat Abian membawa sesuatu di tangannya.

“Abian? Ada apa?” tanya Agnia, dia pikir Abian memiliki urusan sampai kembali datang menemuinya.

Agnia memperhatikan Abian yang saat itu mengeluarkan botol air yang langsung Abian simpan di atas nakas. “Ini untukmu, aku tidak tahu apa kamu sering meminumnya saat mengalami ini, aku hanya bertanya pada pegawai di minimarket dan dia memberiku ini. Mungkin rasa sakitmu akan berkurang saat meminumnya,” kata Abian, yang saat itu membuat Agnia tertegun.

“Kamu … membeli itu untukku?” tanya Agnia, sedikit tidak percaya Abian akan merepotkan dirinya sendiri dengan semua ini.

“Ya.”

“Tapi Abian kamu tidak perlu melakukan semua ini, aku akan baik-baik saja,” kata Agnia. “Tapi bagaimanapun, terima kasih,” lanjutnya, disertai senyuman kecil yang menghias bibirnya dengan indah.

“Jangan dipikirkan. Aku akan keluar sekarang, istirahatlah dengan baik. Ini ada makanan ringan dan juga roti. Jangan berlebihan saat memakannya.” Abian mengingatkan, saat itu dia dapat melihat binar kebahagiaan di mata Agnia. Wanita itu tampak tidak sabar untuk melihat apa saja yang Abian beli.

“Abian … kamu luar biasa! Terima kasih,” katanya dengan begitu antusias, matanya nyaris menyipit saat bibirnya tersenyum dengan begitu lebar.

“Aku tahu itu.” Abian ikut tersenyum, dia lebih dulu mengelus puncak kepala Agnia sebelum memutuskan keluar dari kamar wanita itu saat jantungnya kian berdetak cepat di dalam sana.

Namun bertepatan dengan Abian yang baru saja keluar dari kamar Agnia. Seorang wanita tampak memperhatikan dia dengan sorot luka dan benci di sana. Giginya saling bergemeletuk menahan amarah, tangannya sudah terkepal erat, namun momen itu juga tidak ia sia-siakan. Dengan cepat ia mengambil poto Abian yang baru saja keluar dari kamar Agnia.

“Agnia, kamu yang memaksaku untuk melakukan ini!” gumam Shena, sembari memperhatikan ponsel yang menunjukkan potret Abian di sana.

.

.

.

Felicia terdiam dengan sorot mata yang begitu tajam. Tangannya mencengkram erat ponsel yang menunjukkan potret putranya saat memasuki kamar seorang wanita yang beberapa waktu terakhir selalu mengusik ketenangannya.

Setelah ini, Felicia sudah memastikan tidak ada lagi tempat untuk Agnia di rumah ini.

1
Jam Jam
ceritanya bagus ka, dilanjut ya kak. Semangaaat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!