Karena Taruhan, Hidupku Jadi Rusak!

Akira berusaha terlihat cuek dengan tindakan Abnan yang sama sekali tidak menjaga perasaannya sebagai istri sah pada pria itu.

Kembali mengalih pandangan mata ke wajah Abnan, "Tentu saja saya keberatan Tuan. Selama ini saya hanya berprofesi sebagai karyawan pemasaran. Dan saya belum ada pengalaman kerja menjadi seorang Asisten pada sekretaris," jawab Akira yang sebenar hanya memberi alasan karena dia tidak mau menjadi Asisten Yumi.

"Kau bisa belajar dengan Yumi. Aku rasa itu bukan hal yang sulit dilakukan." Abnan tetap menyuruh Akira menjadi Asisten Yumi.

"Lagi pula bukankah sebelumnya kalian itu sahabat dekat?" Lanjut Abnan.

Yumi tersenyum manis melihat Akira. Wanita itu sama sekali belum turun dari pangkuan Abnan.

"Benar Akira, kita itu sangat cocok kalau kerja sama. Apalagi kau yang menjadi Asistenku, Jadi kau bisa membantuku membuat beberapa pekerjaanku kalau aku sedang dalam keadaan sibuk." nimbrung Yumi mengangkat tangan memeluk leher Abnan tepat di depan Akira.

Diam-diam Akira mengepal kedua tangan melihat tingkah Yumi yang semakin menjadi-jadi.

Yang seharusnya ia harus marah dengan Abnan, tapi wanita itu malah bertingkah sebaliknya.

Akira tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi ratanya.

"Baiklah, kalau begitu aku akan menjadi Asisten Yumi." Kata Akira seolah dia benar-benar mau jadi bawahan Yumi.

Wanita itu tahu, semakin dia memberontak. Maka Abnan dan Yumi akan semakin menindasnya.

"Kalau sudah tidak ada apa-apa lagi, saya akan keluar dari sini. Silah dilanjutkan waktu Anda berdua untuk bersenang-senang." Tambah Akira membalik badan melangkah keluar seperti tak punya beban.

Rahang Abnan mengeras, pria itu sakit hati melihat ketenangan Akira yang seolah tak peduli melihat kemesraannya bersama Yumi.

Usai pintu ruangan tertutup yang menandakan kalau Akira sudah berada di luar. Abnan segera mendorong tubuh Yumi agar turun dari pangkuannya.

"Kembalilah ke ruanganmu." Ucap Abnan tiba-tiba berubah.

Yumi mengerut melihat perubahan wajah Abnan yang sungguh sangat jauh berbeda semasa masih ada Akira dalam ruangannya.

"T----

"Keluar, Yumi!" Tegas Abnan dengan nada mulai terdengar marah.

Wajah Yumi memerah menahan marah ketika dia baru menyadari ternyata Abnan hanya memanfaatkan dia untuk membuat Akira cemburu.

Tapi sayang, Akira terlihat sama sekali seperti tidak terusik.

Wajah tenang Akira mampu membuat hati Abnan porak-poranda.

Yang tadinya fokus pria itu hanya bekerja. Sekarang otaknya sudah berantakan dan tak bisa berpikir lagi untuk kerja.

***

Tak!

"Bawa semua pekerjaan itu ke ruangan mu! Aku mau hari ini semua itu harus siap!" Yumi melampiaskan amarahnya pada Akira. Memberi pekerjaan menumpuk pada Akira yang sebenarnya mustahil untuk di selesaikan hanya dalam waktu 3 hari, apa lagi hanya sehari seperti permintaan Yumi yang tidak masuk akal.

Akira menatap datar Yumi, "Kau saja yang mengerjakan ini dalam sehari kalau kau mampu!" Akira ingin keluar dari ruangan Yumi tanpa peduli tatapan murka dari wanita itu.

"Kau berani membantahku! Apa kau ingin aku menyuruh kekasih ku untuk memecat mu!" Ancam Yumi menyebut Abnan kekasihnya.

Mendengar itu, Akira tersenyum mengejek.

"Sepertinya angan mu terlalu jauh bung. Kalau pun kau kekasih Abnan, mungkin dia hanya akan memanfaatkan tubuh mu saja. Aku tidak yakin kalau pria itu benar-benar mencintaimu." Kata Akira mengambil semua tumpukan laporan pekerjaan yang Yumi berikan padanya barusan.

Akira juga melangkah keluar dari ruangan Yumi dengan tersenyum puas melihat wajah Yumi yang siap untuk membakarnya hidup-hidup.

Prang! Prang!

"Arghhhhhh!!!" Yumi melempar semua barang-barang yang ada di atas meja kerjanya ketika dia merasa kalah dengan Akira yang hanya seorang gadis biasa.

Nafasnya naik turun tak bisa meluapkan amarah pada Akira.

"Lihat saja! Aku pasti akan membalasmu Akira!" Wanita seksi itu berteriak seperti orang gila.

Waktu terus perjalanan tanpa disadari hari sudah mulai gelap. Yang tadinya terang benderang, kini sudah mulai bertukar dengan gelap gulita yang sudah berganti malam.

Tik tik tik

Jarum jam terus berjalan memutar waktu. Kantor yang ketika siangnya terdengar ramai, kini sudah tak terdengar apapun lagi. Karena semua karyawan sudah pulang satu persatu, hingga kantor MegaGP menjadi sunyi seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam kantor pencakar langit itu.

Dalam kesunyian. Tak disangka masih ada seorang wanita cantik yang sibuk dengan tumpukan pekerjaan di atas meja.

Sesekali wanita itu terlihat menguap. Perutnya juga sudah keroncongan akibat belum makan malam. Tapi wanita itu tak ada tanda-tanda sedikitpun niat untuk pulang, karena pekerjaannya yang sama sekali belum bisa dia siapkan.

Ya Allah. Sepertinya sebentar lagi aku akan mati kalau tidak segera mencari sesuatu untuk mengisi perutku. Batin Akira memijat lembut tengkuknya yang terasa pegal terlalu lama duduk.

Wanita cantik itu berniat untuk pulang saja dan melanjut pekerjaannya besok.

"Tubuhku sakit semua. Di hari pertama bekerja, aku sudah harus menguras habis-habisan tenagaku." Gumam Akira mengambil tas dan turun dari kantor Abnan.

"Kalau siang kantor ini terlihat ramai. Tapi kalau sudah malam seperti ini, kok terlihat seram banget ya." Akira mengedar pandangan mencari siapa tahu saja masih ada sosok bernyawa yang lembur.

Tidak mungkin, mereka semua kan sudah pulang. Kalaupun ada sosok, itu pasti sosok... Menggantung sambil membayangkan kalau ada sosok serem dalam kantor Abnan.

"Ih... Kok aku malah benar-benar merinding ya." Akira berlari cepat masuk ke dalam lift dan segera turun ke lantai paling bawah.

Fuhhh! Selamat... Aku kira aku akan mati diterkam oleh penghuni alam ghaib dalam kantor ini. Akira bergidik ngeri sendiri saat tiba di lantai bawah melangkah cepat keluar dari kantor niat untuk mencari ojek atau apapun itu yang penting dia bisa pulang ke rumah Ayah mertuanya.

"Akira? Kamu bukannya Akira ya?" Tanya seorang pria yang tiba-tiba menghentikan mobil di depan Akira berdiri menunggu ojek.

Wanita itu tersenyum. Karena dia cukup kenal dengan laki-laki yang baru saja menyapanya.

"Kak Bram ya?" Akira tersenyum manis menyebut nama pria bernama Bram itu, yang juga sahabat Abnan.

"Iya, jadi kamu benar Akira kan?"

"Iya, Kak."

"Wah, senang bisa bertemu denganmu Akira. Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Bram.

"Aku baru pulang kerja Kak Bram, lagi tunggu ojek atau apalah gitu." Jawab Akira jujur.

"Kalau begitu, mari aku antar pulang," tawar Bram tak berpikir dua kali.

"Tidak usah Kak, takut nanti aku merepotkan lagi. Aku tunggu ojek saja, Kak," tolak wanita itu secara halus.

"Udah, ayo kita pergi."Bram sedikit memaksa.

Mau tidak mau, Akira terpaksa naik ke atas mobil Bram.

"Kamu juga pasti belum makan kan?" Tanya Bram pada Akira.

Akira hanya balas tersenyum.

"Kalau begitu mari kita pergi makan dulu, setelah itu aku akan mengantar pulang."

Akira sebenarnya ingin menolak dan hanya ingin pulang saja. Tapi, sepertinya perutnya yang tidak mendukung, ingin segera diisi.