NovelToon NovelToon
HAZIM

HAZIM

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Haryani Latip

Awal pertemuan dengan Muhammad Hazim Zaim membuat Haniyatul Qoriah hampir terkena serangan Hipertensi. Meski gadis itu selalu menghindar. Namun, malangnya takdir terus mempertemukan mereka. Sehingga kehidupan Haniyatul Qoriah sudah tidak setenang dulu lagi. Ada-ada saja tingkah Hazim Zaim yang membuat Haniyatul pusing tujuh keliling. Perkelahian terus tercetus diantara mereka mulai dari perkelahian kecil sehingga ke besar.

apakah kisah mereka akan berakhir dengan sebuah pertemanan setelah sekian lama kedua kubu berseteru?
Ataukah hubungan mereka terjalin lebih dari sekadar teman biasa dan musuh?

"Maukah kau menjadi bulanku?"

~Haniyatul Qoriah~

🚫dilarang menjiplak

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haryani Latip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gantungan Kunci

Ku kira, jarak antara kita semakin buram dan hilang karena rasa.

Ku kira, apa yang ku lakukan ini sudah benar.

Tapi mengapa malah membuatmu semakin menghindar?

_____________________________________________

Aydan membuka pintu mobilnya. Lalu, mengeluarkan jaket tebal berwarna abu-abu.

"Bajumu kotor, nah, pakai ini." Aydan mengulurkan jaket yang kini berada di tangan kanannya. Raut wajahnya biasa saja. Tidak ada rasa panik maupun terkejut ketika melihat Haniyatul sedang menangis. Atau mungkin ia sedang berusaha menyembunyikan keterkejutannya?

"Tidak, makasih. Aku ingin pulang." Haniyatul menolak pemberian Aydan. Lalu, bergegas ingin pergi.

"Han," panggil Aydan. Kini terlihat sudah raut wajah khawatir yang sedari tadi disembunyikan agar tidak tampak jelas di mata Haniyatul.

Haniyatul menghentikan langkahnya. Kemudian menoleh kearah Aydan.

"Bajumu lebih kotor dari bajuku," Haniyatul menyeka sisa-sisa air matanya. "Pakai saja jaket itu, dan terima kasih karena sudah membantuku," ucap Haniyatul. Lalu, beranjak pergi.

"Tapi, Han," Aydan masih tak tega membiarkan gadis itu pergi menaiki sepeda santai dengan kondisinya yang seperti itu, walaupun tidak separah dengan kondisi Aydan yang berlumuran dengan tepung dan telur, tapi tetap saja gadis itu sekarang tidak sedang baik-baik saja.

Haniyatul tidak menggubris ucapan Aydan. Ia pergi begitu saja tanpa kata pamit sama sekali. Tidak ingin berlama-lama lagi dengan Aydan, atau lebih tepatnya ia tidak ingin muncul pula rumor baru tentangnya dan Aydan. Gosip yang beredar saja sudah membuat Haniyatul pusing. Dan ia tidak ingin jika muncul pula gosip yang baru.

***

Malam yang sunyi, hanya terdengar bunyi jangkrik. Bulan menatap sendu, cahayanya tidak secerah dulu. Tapi masih ada beberapa bintang di langit yang bersinar terang.

Aydan duduk di pinggir kasurnya, merenung jauh dan melamun. Kedua tangannya digunakan untuk menopang dagu. Lama berpikir, ia pun mengusap rambutnya dengan kedua tangannya. Kemudian beranjak ke meja belajarnya. Dibukanya laci meja belajarnya. Di dalam laci tersebut terdapat dua gantungan kunci berbentuk Doraemon.

Gantungan kunci itu diambilnya. Lalu, ia kembali ke tempatnya semula. Dilihatnya lamat-lamat gantungan kunci tersebut... (lanjut ke flashback)

Seperti biasa, setiap hari minggu Aydan akan sering berkunjung ke toko alat tulis. Membeli kuas, dan cat air. Tapi ia tidak pernah mencoba untuk menggambar. Lebih tepatnya belum siap untuk menumpahkan segala rasanya pada sebuah kertas putih melalui gambaran.

Tiba-tiba Aydan mendengar suara yang tidak asing baginya. Ia pun melongokkan kepalanya dari barisan rak buku-buku gambar.

"Mbak, gantungan kunci berbentuk Doraemon masih ada, mbak?" tanya Haniyatul pada seorang kasir.

"Sudah habis, stoknya juga sudah tidak ada lagi," ucap kasir tersebut.

Haniyatul menundukkan wajahnya. Sedih sekali karena tidak bisa membeli gantungan kunci tersebut.

Aydan membaringkan tubuhnya di atas kasur. Membuyarkan lamunannya tentang kejadian beberapa bulan yang lalu.

Gantungan kunci ini selalu ingin kuberikan padamu, tapi aku belum memiliki keberanian sama sekali. Apa aku pengecut?

Perlahan Aydan melelapkan matanya. Tidak sampai tidur, hanya saja sekarang ia ingin mendengarkan kata hatinya. Dan apa yang ingin ia lakukan.

Semilir angin bertiup perlahan, menerbangkan dedaunan kering dan membuat rasa cinta mampir di setiap hati manusia.

Haniyatul duduk diatas kasurnya. Membuka diarinya yang berwarna pink. Lalu, membaca tiap lembaran buku tersebut. Ia berhenti pada satu halaman, matanya menatap kearah kertas putih dengan beberapa tulisan diatasnya.

Melepaskanmu merupakan pilihan terbaik yang pernah kulakukan untukmu

Tulisan pada lembaran diari itu tidak bertitik. Berarti masih ada kata yang harus ditulis, namun waktu itu Haniyatul memutuskan untuk menggantungkan saja kalimatnya pada sebuah lembaran diari. Akan tetapi, sepertinya tulisan itu sekarang menuntut untuk diselesaikan. Harus ada tanda titik untuk sampai pada penghujungnya.

Haniyatul mulai memainkan penanya diatas kertas. Melanjutkan tulisan yang sempat terhenti.

Melepaskanmu merupakan pilihan terbaik yang pernah ku lakukan untukmu dan mengenangmu adalah hal yang paling terindah dalam hidupku, tapi itu hanya dulu dan tidak berlaku lagi untuk hari ini dan seterusnya.

Setelah meletakkan tanda titik di akhir kalimat. Haniyatul pun menutup buku diarinya. Beranjak menuju ke toilet. Kemudian, mengambil wudhu. Malam ini, ia ingin menunaikan shalat Hajat dan taubat. Bercengkerama pada Tuhan pencipta semesta alam dan meminta padanya.

Ilahi, sungguh hambamu ini adalah makhluk yang lemah dan sering melakukan dosa. Maka ampuni hamba.

Ilahi, siapapun kelak yang bisa membimbing hamba padamu, maka dekatkanlah hamba padanya.

Jadikan sekelumit rasa cinta yang titipkan pada hamba dan dirinya sebagai peningkat ketaqwaan kami padamu ya Allah.

Kuatkan hamba atas setiap ujian yang engkau berikan. Dan jangan biarkan hamba sendiri wahai Tuhanku.

Haniyatul menitikkan air matanya. Menangis tersedu-sedu dalam doanya. Sungguh detik ini ia merasa resah dan bingung dengan dirinya sendiri.

Mengapa Aydan begitu baik padanya saat rasa cintanya dulu untuk laki-laki itu sudah terkubur dalam-dalam. Dan ketika nama Zaim kian menyelinap di hati Haniyatul. Malah Aydan membuat percikan cinta yang dulu padam kembali menyala. Padahal, rasa cintanya pada Aydan seharusnya sudah menjadi sejarah.

Haniyatul bingung, sungguh ia tidak mengerti dengan dirinya. Zaim selalu bisa membuatnya terkagum-kagum pada sosok lelaki itu. Tetapi, Aydan pula sering membuat hatinya berdesir hebat. Sebenarnya, hatinya menginginkan siapa?

***

Rasa cinta selalu saja datang tepat pada waktunya. Tapi, jika rasa itu datang secara bersamaan untuk dua orang yang berbeda, apakah itu bisa disebut cinta atau hanya rasa sementara?

Terjebak diantara masa lalu dan masa depan. Harus bisa memilih salah satunya. Tapi, jika aku enggan memilih, apakah itu namanya egois?

Haniyatul membelokkan sepedanya. Melewati Asrama Putra. Masih segar diingatan Haniyatul tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, saat ia jatuh dari sepedanya karena terlalu fokus melihat Zaim yang sedang menyanyikan lagu Wali Band yang berjudul Kekasih Halal.

Perlahan senyuman terbit di wajah Haniyatul. Entah dimulai sejak kapan, tingkah Zaim terkadang membuat Haniyatul tersenyum sendiri saat memikirkannya.

Setibanya di lapangan sekolah, Haniyatul menggiring sepedanya ke tempat parkiran sepeda. Kemudian, ia pun berjalan menuju ke kelasnya. Lingkungan sekolah saat itu terlihat lengang, hanya terdapat dua orang siswa yang sedang berjalan ke perpustakaan untuk mengembalikan buku.

Haniyatul terus melangkahkan kakinya hingga tiba di depan kelasnya yang tampak kosong. Tanpa buang waktu Haniyatul memasuki kelasnya dan menuju ke mejanya untuk menyimpan tas.

Tas ranselnya disimpan dengan rapi di atas kursi berbahan kayu. Ketika ia ingin beranjak pergi, sontak matanya menangkap sebuah benda di atas mejanya.

Haniyatul mengambil gantungan kunci yang terletak dengan rapi di atas meja. Tidak jauh dari gantungan kunci itu terdapat surat yang bertulis 'dari Aydan'

Haniyatul menyebarkan penglihatannya ke segala arah, namun sosok Aydan tak terlihat.

Dengan sigap Haniyatul memasukkan gantungan kunci tersebut ke dalam saku roknya. Kemudian menuju ke perpustakaan. Ia tahu, Aydan pasti sedang di perpustakaan.

Sesekali terlihat Haniyatul menghela napas lega karena Ainul tidak melihat gantungan kunci tersebut. Coba saja jika Ainul tiba di sekolah lebih awal dan membaca nama orang yang memberikan gantungan kunci itu padanya. Sudah tentu, hati Ainul akan retak berkeping-keping karena kecewa, apalagi jika gadis itu sampai mengetahui bahwa ternyata Aydan menyukai sahabatnya sendiri.

Langkah kaki Haniyatul semakin dipercepat untuk menuju ke perpustakaan. Begitu tiba di perpustakaan, gadis itu mencari Aydan ke mana-mana, namun belum menemukan sosok Aydan.

"Kemana, dia?" gumam Haniyatul. Begitu tiba di depan lukisan dinding. Langkah Haniyatul mendadak terhenti. Dilihatnya dalam-dalam sosok lelaki yang sedang berdiri di hadapan lukisan dinding dengan gambaran kuda berwarna putih. Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.

Haniyatul menghampiri laki-laki tersebut. Lantas menyapanya. "Aydan," sapa Haniyatul perlahan, tapi jelas terdengar.

Aydan menoleh.

Tanpa kata dan tanpa tawa, Haniyatul langsung mengeluarkan gantungan kunci yang diberikan oleh Aydan tadi dari saku roknya.

"Aku tidak bisa menerimanya," tolak Haniyatul.

Aydan masih memilih untuk berdiam diri. Menatap gadis itu lamat-lamat. Sehingga membuat Haniyatul merasa gugup.

Haniyatul menundukkan pandangannya. Enggan bertatap mata dengan Aydan yang hanya akan membuat Haniyatul semakin merasa bersalah pada lelaki itu karena menolak pemberiannya.

"Kenapa?" tanya Aydan. Raut wajahnya masih seperti biasa. Terlihat cuek dan dingin.

Haniyatul menghela napas. Kemudian berkata. "Aku tidak layak menerima pemberian darimu," Haniyatul beralasan.

"Apa karena aku terlihat menjijikkan di depanmu?" tanya Aydan sekali lagi.

Refleks, pertanyaan Aydan membuat Haniyatul mengangkat wajahnya. Sungguh ia tidak bermaksud seperti itu.

"Ti--tidak, maksudku bukan begitu," dalih Haniyatul. Ia meremas ujung bajunya.

"Jadi, kenapa?" pertanyaan yang sama diucapkan oleh Aydan.

Haniyatul menundukkan wajah. Tidak tahu ingin memberikan alasan seperti apa pada lelaki tersebut.

"Jika tidak punya alasan, ambil saja gantungan kunci itu, aku ikhlas. Sebagai tanda pertemanan kita," ujar Aydan. Padahal, jauh di lubuk hatinya, ia juga meragukan ucapannya. Apakah ia bisa menjadi teman Haniyatul selamanya? Sedangkan perasaannya pada Haniyatul melebihi sebatas teman.

"Teman?"

"Iya, teman," Aydan mengiyakan. Lantas keduanya pun tersenyum.

Haniyatul tidak keberatan untuk berteman dengan Aydan. Dan pilihannya untuk sebatas teman dengan lelaki itu bukalah pilihan yang buruk. Sekurang-kurangnya ia tahu jika Aydan ternyata hanya menganggapnya sebagai teman saja.

Aydan dan Haniyatul berjalan keluar dari perpustakaan setelah meminjam beberapa buku. Mereka tidak berjalan beriringan, Aydan berjalan di depan dan Haniyatul mengekori dari belakang. Terkadang terdengar suara mereka membahas tentang buku-buku yang pernah di pinjam sebelumnya. Sekadar untuk merekomendasikan.

Zaim berjalan mendekati Aydan. Kebetulan sekali lelaki itu baru saja tiba di sekolah. Tas ranselnya juga masih terpasang kemas di pundaknya.

"Dan," sapa Zaim. Lalu menengok ke belakang.

"Sejak kapan kalian akrab?" raut wajah Zaim berubah bingung. Karena sebelumnya Aydan memang tidak pernah mengobrol panjang dengan Haniyatul. Apalagi sampai berjalan bersama.

"Sejak kami jadi teman," sahut Aydan.

"Ho'oh, teman," Zaim menaikkan alis kanannya. Kesal sekali rasanya karena Aydan dengan gampang bisa berteman dengan Haniyatul. Sedangkan dirinya yang tak kalah tampan dari Aydan malah dibiarkan begitu saja. Terabaikan.

"Sejak kapan kalian teman?" selidik Zaim.

"Sejak beberapa menit yang lalu," jawab Aydan. Ringkas, dan jelas.

"Ho'oh, oh, oh, oh, berapa menit yang laluu...." Zaim menaikkan kedua alisnya seraya melihat kearah Haniyatul.

"Duluan ya, mas Aydan," pamit Haniyatul.

"Han, mas Zaim juga mau berteman dengan kamu!" teriak Zaim.

"Tidak mau," jawab Haniyatul dari kejauhan tanpa menoleh kearah Zaim.

"Lah, tidak mau?" Zaim melihat kearah Aydan. Sedangkan Aydan hanya mengedikkan bahunya. Lalu beranjak pergi. Meninggalkan Zaim sendiri.

"Permisi, mas,"

Segerombolan anak Marawis sedang membawa peralatan musik mereka. Salah satunya ada yang membawa gendang.

"Pinjam sebentar, ya," ucap Zaim. Ia langsung memainkan gendang tersebut sembari menyanyikan lagu yang berjudul Twinkle Twinkle Little Star versi Hazim Zaim.

"Hani-hani yang cantik, maukah kau menjadi temanku...." nyanyi Zaim seraya memukul gendang dengan keras.

Sudah tentu kelakuan Zaim itu mengundang puluhan mata melihat kearahnya. Bisa-bisanya ia terpikir untuk mengubah lirik lagu Twinkle Twinkle menjadi nama Hani, jika anak-anak kecil mendengar lagu favorite mereka diubah total begitu. Pasti menangis mereka.

Haniyatul berbelok ke kiri. Lebih memilih mengambil jalan di belakang sekolah karena semua siswa sedang memperhatikannya yang menjadi lirik lagu Twinkle Twinkle Little Star yang sedang di senandungkan oleh Hazim Zaim.

Wajah Haniyatul memerah karena malu, langkah kakinya melaju. Jika ada alat teleportasi, mungkin akan digunakannya detik itu juga agar bisa menghilang.

***

Haniyatul berjalan menuju ke kelasnya. Ia membawa dua pasang mukena. Satu pasang merupakan mukenanya, dan satu pasang pula merupakan mukena Ainul yang dititipkan padanya karena gadis itu sedang pergi ke toilet.

"Assalamualaikum, kak," seorang anak laki-laki berusia lima tahun datang menghampiri Haniyatul yang baru saja ingin memasuki kelasnya.

"Walaikusalam," sahut Haniyatul. Ia kenal siapa anak laki-laki tersebut. Anak laki-laki itu merupakan anak dari kepala sekolah yaitu Bu Qamariah.

"Kak, ada yang memberikan sulat buat kakak," ucap anak laki-laki itu.

"Dari siapa?" tanya Haniyatul.

"Tuh, dali kaka itu." Anak laki-laki itu menunjuk kearah Zaim yang sedang melongokkan kepalanya dari pintu kelas Ipa dua. Karena kebetulan kelas Ipa satu bersebelahan dengan kelas Ipa dua.

Zaim tersenyum sehingga menampakkan barisan giginya. Sedangkan, Haniyatul pula menatap tajam kearahnya. Surat yang diberikan Zaim padanya dirobekkan oleh Haniyatul dan di buang ke tempat sampah.

Mata Zaim melebar. Baru saja ia ingin mendekati Haniyatul tiba-tiba bel sekolah berbunyi menandakan masuk matapelajaran berikutnya.

"Makasih, dik," ucap Haniyatul seraya mengelus puncak kepala anak kecil tersebut.

Haniyatul melihat kearah Zaim. Wajah lelaki itu terlihat cemberut, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kelasnya.

Haniyatul tertawa penuh kemenangan ketika melihat wajah cemberut dari Zaim. Padahal, jauh di dasar hatinya yang paling dalam ia juga penasaran dengan isi surat tadi.

***

"Han, belum pulang? Cari apa?" tanya Ainul ketika melihat Haniyatul tak juga pulang dan sedari tadi mencari sesuatu di tempat sampah.

"Kamu pulang saja dulu," ucap Haniyatul. Ia tidak pula menghentikan aktivitasnya.

Tempat sampah di Madrasah Nurul Hidayah di bedakan menjadi tiga. Ada tempat sampah untuk bahan kertas, kaca, dan juga plastik. Sekarang Haniyatul sedang memilah satu persatu sampah kertas. Mencari potongan-potongan surat Zaim yang dirobekkan tadi.

Sungguh ia menyesal sekali merobekkan surat Zaim. Coba saja ia tidak merobekkan surat itu sudah tentu ia tidak akan sepenasaran ini.

"Jika begitu aku duluan ya, Han," Ainul pamit pada Haniyatul. Tidak ingin mengganggu kegiatan temannya itu.

"Iya, Assalamualaikum," ucap Haniyatul tanpa berniat ingin menghentikan kegiatannya meski sedetik pun.

"Walaikumsalam," sahut Ainul.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Haniyatul pun menemukan beberapa potong surat tadi. Senyumannya mengembang. Kemudian ia pun bergegas untuk pulang. Tidak sabar rasanya ia ingin membaca isi surat tersebut. Lebih tepatnya ia penasaran sebenarnya Zaim ingin mengatakan apa?

***

Setelah selesai mandi dan mengenakan baju tidur, Haniyatul pun naik keatas kasurnya. Mengambil tas ransel yang terletak tidak jauh darinya sembari mengeluarkan potongan surat yang susah payah dicarinya sedari tadi.

Ia duduk bersila seraya menyatukan beberapa potong kertas sehingga membentuk kalimat.

"Han, maukah kamu menjadi...." gumam Haniyatul. Ia mencari-cari potongan surat lagi. Namun, hanya itu saja yang berhasil ia temukan.

Menjadi apa? Aaarggght!

Haniyatul memegang kepalanya dengan frustasi. Tidak seharusnya ia merobekkan surat Zaim menjadi kepingan-kepingan kecil. Andai saja surat itu di robekkan menjadi kepingan yang besar mungkin ia tidak perlu repot-repot untuk mencarinya di tumpukan sampah-sampah kertas.

Haniyatul merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mencak-mencak sendiri karena menyesali perbuatan bodohnya itu. Dan kini ia dihantui dengan rasa penasaran terhadap lanjutan dari isi surat yang di tulis oleh Zaim.

_________________tobe continue_______________

1
Ai
mampir, Thor
Tetesan Embun: terima kasih 🥰🙏
total 1 replies
👑Queen of tears👑
bakal sad boy ini zaim 🥴
👑Queen of tears👑
aku bersama mu aydan,,sm² penasaran 🤣🤣🤣
👑Queen of tears👑
nyeeessss/Brokenheart/
👑Queen of tears👑
huhf,,,😤
👑Queen of tears👑
ehmmm🧐
👑Queen of tears👑
kannnn rumit cinta segi delapan itu🧐😎
👑Queen of tears👑
menyukai dalam diam itu sungguh menyiksa kantong
👑Queen of tears👑
temannya aydan,,,mmm cinta segi delapan ini🧐
👑Queen of tears👑
banting Hani🤣🤣
👑Queen of tears👑
nikotin mulai keluar🤣🙈
👑Queen of tears👑
no Hani
but Honey hehehe gak sayang juga sih tapi madu hahahahaha 🤣✌️
👑Queen of tears👑
dingin..dingin tapi peduli m kucing😍
mmm...jdi pengen dipeduliin 🙈
👑Queen of tears👑
hmmmm,,aku mulai menemukan radar disini🧐🧐😎
👑Queen of tears👑
cinta pada pandangan pertama,,dari merangkak naik kemata/Drool/
Rinjani Putri
hallo KK author ijin tinggalkan jejak bintang ya disini
Tetesan Embun: silakan kak, makasih🤗
total 1 replies
Floricia Li
ketat bgt aturannya 😭
Floricia Li
lucu bgt hani 😭😭
Floricia Li
heh ngapain ditarik 🤣🤣
Floricia Li
lucuu bgt masi ada kunang kunang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!