Cinta Sejati Sang Pewaris

Dua hari sejak Arsen memaksa Nadira menikah dengannya, dua hari pula Nadira mengurung diri. Gadis itu termangu di tepi jendela, menatap hamparan pasir di sekitar villa terpencil milik Arsen di pulau pribadinya.

Awalnya, Nadira berpikir untuk kabur, tapi setelah melihat ke sekitar villa, ia urungkan niatnya. Villa itu benar-benar dikelilingi air! Nadira benar-benar merasa konyol sekarang.

"Ini sih namanya, hidup segan mati pun gampang! Gila kali, ya, mana ada orang yang bangun tempat tinggal di tengah-tengah laut begini? Kayak gak ada tanah sengketa aja, deh!" Nadira terus menggerutu, dan sama sekali tak menyadari seseorang tengah menatapnya dari daun pintu.

"Jadi, apa keputusanmu?" Nadira terlonjak, gelagapan mencari kain untuk menutupi kepalanya. Ia hanya sendirian di kamar dan tak menduga seseorang akan datang.

Arsen memandang ke luar ruangan, menghindari kontak mata dengan Nadira.

"Su-sudah" jawab Nadira setelah berhasil menyabet hijabnya dari dipan.

"Tapi saya mau draft awal prenuptial agreement itu diubah," Nadira menyodorkan dokumen yang semalaman sudah ia baca.

Dokumen perjanjian pranikah itu berisi perjanjian dan kesepakatan saat mereka menikah. Hal yang boleh dan tak boleh dilakukan, tentang keuangan, pembagian harta atau aset, anak-hak asuh anak, dan lain-lainnya.

"Oh, kamu keberatan dengan isinya? Kamu harus tahu Nadira, kamu tak kuasa untuk sewenang-wenang di sini," ujar Arsen meremehkan Nadira.

"Saya tahu. Karena saya tak bisa menolaknya, saya pikir setidaknya saya harus mendapat keuntungan dari pernikahan paksa ini," lugas Nadira.

Sebenarnya ia tak suka dengan prenup yang sebagian isinya memihak dirinya, tapi sebenarnya adalah mengekang. Mengikat paksa. Yang membuatnya merasa seperti 'dibeli' dan 'dimanfaatkan' sedangkan Nadira membenci hal itu.

"Baik, katakan di depan pengacara. Dia akan mengubahnya!" Arsen berlalu sambil marah.

Nadira tersenyum kecut. "Gue pasti sudah gila. Membuat perjanjian pranikah dengan Pak Arsen? Dalam mimpi pun Gue gak pernah mengira hal ini. Ya Tuhaaaan!"

***

"Duduklah, ini Tuan Aksa, pengacara kita. Katakan apa yang kamu ingin dan tidak, dia akan memperbaiki draft prenuptial agreement itu. Setelah dokumen final selesai, akadnya akan segera dilangsungkan."

Arsen tampaknya benar-benar serius dengan pernikahan ini. Akadnya bahkan akan dilangsungkan setelah dokumennya selesai? Benar-benar gila! Nadira bahkan tak habis pikir. Minimalnya orang yang akan menikah harus menghabiskan waktu beberapa bulan untuk melangsungkan pernikahan.

Tapi tidak bagi Arsen. Lebih cepat lebih baik. Jika bisa dilaksanakan segera. Untuk apa menundanya? Waktu terlalu berharga.

Nadira membungkukkan kepalanya sedikit, memberi hormat pada Aksa yang usianya tak kalah jauh dengan Arsen. Pengacara muda yang memesona. "Salam kenal, Tuan Aksa, maaf mengganggu waktumu," ucap Nadira sopan.

"Cih, jangan sok bersikap manis," Arsen menggerutu tak suka. Aksa hanya tertawa singkat. "Silahkan duduk, Nona. Kita langsung mulai saja, ya. Poin mana yang ingin Anda ubah?" tanya Aksa langsung pada intinya.

"Poin tentang ini. Saya ingin, walaupun sudah menikah, saya tetap ingin dibiarkan bekerja, melanjutkan pendidikan dan bebas untuk berkarya," Nadira mengucapkan pendapatnya.

"Kamu tidak kekurangan uang sampai kamu harus tetap bekerja. Saya tidak semiskin itu," celoteh Arsen. Entah mengapa hari ini ia jadi lebih berisik dibanding biasanya.

"Saya tahu, tapi saya tetap ingin bekerja dan menghasilkan uang dengan tenaga saya sendiri. Saya tidak mau jadi orang yang bergantung pada laki-laki," sinisnya.

'Apa maksudnya itu? Dia tidak membutuhkanku, begitu?' batin Arsen.

"Baik! Catat itu dengan baik, Aksa!" sentak Arsen. Entah berapa kali lagi ia harus bersabar atas Nadira.

"Baik, Tuan. Apa poin selanjutnya Nona?"

"Saya ingin pernikahan ini dirahasiakan. Cukup orang-orang berkepentingan saja yang tahu, dan tidak ada hubungan suami istri yang selayaknya kecuali atas kehendak saya sendiri."

Aksa dan Arsen tampak saling pandang. "Apa yang kau lihat? Catat dengan baik!" galak Arsen. Aksa cepat-cepat menulis dan mencatat.

'Lihat saja nanti siapa yang akan memohon. Dia pikir dia semenarik itu? Huh!

"Ada lagi?" tanya Aksa pada Nadira. Beberapa poin sudah ia tulis ulang, tinggal diketik dan dijadikan dokumen resmi.

"Ada, poin yang ini, Tuan Aksa. Bisakah Anda merevisinya lagi? Untuk pencatatan aset pasca perceraian, tambahkan; jika ada salah satu pihak yang berselingkuh atau memiliki affair dengan pihak ketiga, aset bersama akan menjadi milik pihak yang dikhianati."

"Tentu saja bisa, Nona. Bagaimana Tuan?"

Arsen mengangguk singkat. "Setuju. Tambahkan juga, jika aku yang berselingkuh, Nadira berhak mendapatkan 5% dari seluruh aset kepemilikanku." Arsen berucap dengan bangga.

"Baik, Tuan Muda. Masih ada yang ingin ditanyakan atau tidak? Sebelum saya merampungkam dokumen final Ini, karena setelah dibuat tak akan bisa diubah lagi."

"Tidak ada," jawab keduanya bersamaan.

Setelahnya, Aksa membacakan poin-poin prenuptial agreement itu di hadapan Arsen dan Nadira. Nadira sekuat hati menekan emosinya. Di telinganya, poin-poin perjanjian itu terdengar seperti poin-poin kesepakatan bisnis yang sering ia baca.

Tapi, bisa apa Nadira? Pernikahan ini memang pernikahan bisnis! Dibangun atas dasar kesepakatan bukan cinta. Akan dilalui dengan persetujuan yang saling menguntungkan seperti bisnis pada umumnya bukan dilandasi dengan kasih sayang dan rasa hormat yang didambakan Nadira.

Nadira menghela napasnya panjang. Nadira tak ingin berharap lebih, ia tak ingin hatinya makin terluka. Biarkan segalanya berlalu sesuai kehendak Tuhan. Menikahi pria kaya yang dingin tak berperasaan mungkin bukan hal yang buruk. Pernikahan tidak harus memiliki cinta, pikir Nadira getir.