Yunan dilahirkan dari seorang wanita miskin. Ia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Namun, keadaan yang serba kekurangan tak mampu membuatnya bahagia. Diusianya yang sudah menginjak dewasa, Yunan merantau ke kota. Ia bekerja sebagai asisten dari gadis cantik yang bernama Casandra.
Siang malam ia selalu mendampingi wanita itu hingga kesalah pahaman terjadi. Mereka dinikahkan karena dianggap melakukan asusila. Casandra pun terpaksa menerima pernikahan itu. Meski tidak ada cinta ia tak bisa menghindar.
Yunan tinggal di rumah mertuanya karena mereka tak memiliki tempat tinggal. Ia diperlakukan layaknya seorang pelayan. Pun istrinya yang tak mencintainya juga ikut menyudutkan dan menyalahkan kehadirannya. Meski begitu, Yunan tak ambil pusing karena ia sangat mencintai Casandra.
Hingga suatu saat, seseorang datang dan mengatakan bahwa Yunan adalah putra dari keluarga ternama di belahan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengurai rindu
Mobil melesat meninggalkan pemukiman warga. Erlan yang tadi bersembunyi pun menampakkan diri. Memastikan bahwa keberadaannya tidak diketahui Sastro maupun anak buahnya. Memindahkan mobilnya di dekat gang masuk. Sangat penasaran apa yang dilakukan sang ayah di tempat itu.
''Sepertinya tadi ayah kecewa. Sebenarnya apa yang dilakukan di sini?'' Menoleh ke arah jalan yang tadi di lalui Sastro beserta anak buahnya. Tak lupa dengan wajah sang ayah yang sedikit suram.
Langkah selanjutnya, Erlan turun menapaki jalan kecil yang yang sedikit terjal. Menoleh ke kiri kanan. Tidak ada yang mencurigakan. Banyak warga yang melintas dan mereka tenang-tenang saja. Itu artinya Sastro tidak berbuat ulah di tempat itu.
Mungkin warga sini tahu ayah tadi ke mana?
Mendekati warga yang berbincang dengan tetangganya di depan teras.
''Permisi, Pak. Saya mau tanya. Apa tadi Bapak melihat laki-laki tua masuk sini? Orangnya tinggi di temani dua anak buah,'' terang Erlan detail.
Dua pria itu saling tatap. Seperti mengingat-ingat. ''Oh iya, tadi saya lihat, Pak. Kalau gak salah dia masuk ke rumah itu.'' Menunjuk rumah yang beberapa jam ditempati Layin.
''Iya, itu warga yang baru pindah tadi pagi,'' ungkap yang lainnya.
Erlan mengucapkan terimakasih lalu meninggalkan dua orang itu. Kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah yang tadi ditunjuk. Terus menerka-nerka siapa yang ada di dalamnya.
Apa orang itu sangat penting bagi ayah, atau justru ada masalah besar dan membuatnya harus turun tangan sendiri.
''Semoga saja tidak terjadi sesuatu.''
Mengetuk pintu dengan pelan. Jelas berbeda dengan yang dilakukan Sastro. Meski mereka ayah dan anak kandung, namun sangat berbeda. Erlan lebih mirip dengan ibunya. Ia juga tidak mewarisi sifat keserakahan ayahnya.
Layin yang duduk di ruang tamu pun terkejut. Mengusap pipinya yang basah. Ya, seperginya Sastro, ia menumpahkan air matanya. Sungguh, rasa sakit yang ditorehkan pria itu masih membekas di hati. Entah sampai kapan bisa sembuh, hanya waktu yang akan menjawab semuanya.
''Apa mungkin ayah kembali? Tapi untuk apa, atau jangan-jangan itu Yunan?" Berdiri dari duduknya. Lagi-lagi ia ragu untuk membukanya. Malas jika itu mertuanya yang mungkin akan kembali mendesaknya.
''Aku harus hadapi dia.'' Meyakinkan hatinya. Bersiap menghadapi apapun yang terjadi nantinya.
Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak mau lagi tertindas. Apalagi sekarang Yunan sudah dewasa dan bisa melindunginya, cukup waktu itu yang membuatnya trauma, tidak untuk sekarang.
''Lama banget sih,'' gerutu Erlan.
Suara pintu terbuka terdengar nyaring di telinga. Erlan yang menatap ke jalan langsung menoleh. Seketika, sekujur tubuhnya membeku melihat wanita yang berdiri di depannya. Aliran darahnya tersumbat. Denyut nadinya pun tak lagi terasa seperti patung. Matanya lupa berkedip serta bibir terkunci.
Pun Layin, ia merasakan hal yang sama. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Seperti sebuah mimpi di siang bolong, namun juga berharap itu nyata.
Beberapa saat mereka saling tatap dengan pikiran masing-masing hingga tangan Erlan bergerak menyentuh pipi sang istri yang kembali dibanjiri air mata. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang tak karuan.
''Apa ini beneran kamu, Sayang?'' ucap Erlan lirih. Sekali lagi memastikan dengan apa yang dilihat.
Senyum mengembang menghiasi bibir Layin. Menatap mata sang suami yang juga menatapnya dengan tatapan sendu. Ia dan Erlan memang tidak pernah punya masalah apapun, hingga tak ada alasan marah padanya.
''Iya. Ini aku, Mas. Layin, istrimu,'' jawab Layin dengan bibir bergetar. Menggenggam tangan Erlan yang menyentuh pipinya.
Sejenak, merasakan kehangatan sentuhan sang suami yang begitu ia rindukan.
Tanpa aba-aba, Erlan menarik pinggang ramping wanita yang dicintai. Mendekapnya dengan erat. Menciumi pucuk kepalanya yang tertutup hijab. Meluapkan rasa rindu yang menggebu. Sungguh, ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Tak disangka, setelah harapan itu mulai pupus ternyata Allah mengabulkannya.
Layin membalas pelukan itu. Kembali menumpahkan sisa air matanya di pelukan Erlan. Membenamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Menyesap aroma parfum khas dari baju pria tersebut.
Dua puluh lima tahun faktanya tak mengubah apapun. Mereka terlihat sangat romantis. Rumah sederhana itu menjadi saksi bisu betapa rindunya dua sejoli yang sudah lama terpisah. Menyatukan dua jiwa yang terbelah hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.
''Dari mana kamu tahu aku di sini, Mas?'' tanya Layin tanpa melepaskan pelukannya.
''Dari hati, Sayang. Tadinya aku sudah hampir pergi. Tapi seperti ada yang menarikku untuk datang ke sini, mungkin hati kamu,'' canda Erlan. Di tengah rasa rindu yang masih menyelimuti.
Layin tersipu. Ternyata suaminya itu tidak berubah, selalu membuatnya tersenyum dikala hatinya dirundung kesedihan. Hanya wajahnya yang terlihat lebih dewasa karena umurnya terus berkurang. Tapi, tetap tampan seperti dulu.
''Kita bicara di dalam saja yuk, malu dilihat orang,'' ajak Erlan.
Mereka masuk dan menutup pintu. Duduk bersejajar tanpa jarak seperti sepasang kekasih yang saling kasmaran.
''Sejak kapan kamu tinggal di sini?'' tanya Erlan serius. Pandangannya pun mengabsen ruangan yang jauh dari kata mewah.
''Baru tadi pagi. Sebelumnya aku tinggal di pinggiran kota juga, tapi jauh dari sini. Karena ada kejadian aneh, Yunan mengajakku pindah ke sini.''
''Yunan?" Erlan mengerutkan alis. Tentu, nama itu terdengar tak begitu asing di telinganya. Yaitu nama pria yang pernah disebut sang ayah.
''Siapa dia? Apa dia anakku?'' tanya Erlan yang tak tahu menahu tentang putranya.
''Nanti kamu juga tahu,'' jawab Layin penuh teka-teki.
''Oh iya. Apa yang dibicarakan ayah tadi? Apa dia menyakitimu?'' tanya Erlan kepo. Biarlah, urusan Yunan akan menjadi kejutan baginya.
Layin menundukkan kepala. Menceritakan semua yang dikatakan Sastro padanya. Juga mengatakan pada Erlan, bahwa ia menolak permintaan sang mertua dengan beberapa alasan. Entah tahu atau tidak penyebab dia pergi waktu itu, Layin tak ingin mengungkitnya lagi. Cukup ia dan Yunan yang tahu, tidak untik Erlan, takut hubungannya dengan Sastro memburuk.
''Syukurlah. Semoga dia gak jahat lagi padamu.'' Menatap kedua mata Layin yang penuh dengan cahaya.
Sudah hampir tiga jam Erlan menemani Layin di rumah itu. Kebersamaannya hanya dihiasi dengan tawa. Sejenak, melupakan masalah yang membelit keduanya. Saling mengisi kekosongan hati dengan sesuatu yang memang sudah tumbuh sekian tahun lamanya.
''Makan malam di sini ya, Mas," pinta Layin penuh harap.
Erlan mengangguk tanpa suara. Memeluk sang wanita dari belakang. Menyandarkan kepalanya di pundak Layin. Menyaksikan cara mengupas bawang dengan lihai.
''Tidur di sini juga boleh, 'kan?'' Erlan menaik turunkan alisnya. Tentu, ia juga rindu tidur berdua dalam satu selimut seperti yang mereka lakukan dulu.
''Bagaimana dengan Novita?'' tanya Layin memastikan.
''Tidak ada siapapun selain kita, Sayang.'' Mengecup bibir Layin sekilas.
''Ibu, aku pulang," teriak suara dari pintu mengejutkan Layin dan Erlan yang masih memadu kasih di dapur.
pintar tp dungu
ya sdh ego saja yg kau gunakan mentang2 kaya trs bgtu bertindak yg katanya sesuai nalar, poligami itu berlaku kl manusia benar 2 adil, lhah km memilih utk emosi? bkn kata hati hrs bisa bedakan ya