Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Niat Rangga dan Rani
Mobil Mercedes hitam melaju di jalanan Jakarta malam... lampu-lampu kota berkelap-kelip di luar jendela, suara mesin yang halus menjadi satu-satunya bunyi di dalam kabin yang tegang. Rangga duduk di kursi pengemudi dengan rahang yang mengeras, tangan menggenggam setir dengan erat sampai buku-buku jarinya memutih. Matanya menatap lurus ke depan... tapi pikirannya tidak di jalan.
Pikirannya di Indira.
"SIAL!" Rangga memukul setir dengan keras... membuat Ayunda di kursi penumpang tersentak kaget.
"Rangga!" Ayunda menatapnya dengan wajah khawatir campur kesal. "Kenapa kamu..."
"Kenapa dia tidak pernah bilang?" Rangga memotong dengan suara yang bergetar antara marah dan frustrasi. "Kenapa Indira tidak pernah bilang kalau dia cucu keluarga Suryatama? Kalau dia punya koneksi sekuat itu?"
"Mungkin karena kamu tidak pernah tanya?" Ayunda menjawab dengan sinis... tapi ada kebenaran di sana.
"Tapi tetap saja!" Rangga meninggi suaranya. "Dia istriku! Seharusnya dia cerita! Seharusnya dia..."
"Seharusnya DIA APA?" kali ini Ayunda yang berteriak. "Seharusnya dia tetap jadi istri yang patuh dan melayanimu meskipun kamu selingkuh dan nikah sama wanita lain? Seharusnya dia tetap diam dan terima penghinaan-penghinaanmu?"
Rangga terdiam, tidak bisa membantah karena itu memang benar.
"Dan yang lebih parah," Ayunda melanjutkan dengan nada yang semakin kesal, "sejak tadi kamu cuma ngomong tentang Indira! Indira ini, Indira itu! Padahal aku ada di sini! Aku istrimu sekarang! Tapi sepertinya kamu lupa!"
Rangga melirik Ayunda... baru menyadari bahwa istrinya ini benar-benar marah. Wajahnya memerah, mata berkaca-kaca, tangan mengepal di pangkuan.
"Aku..." Rangga mencoba mencari kata-kata. "Aku tidak bermaksud..."
"Kamu tidak pernah bermaksud tapi kamu selalu menyakiti!" Ayunda menatapnya dengan tatapan terluka. "Aku korbankan segalanya untukmu, Rangga! Aku terima dicap sebagai perebut suami orang! Aku terima dihina Indira di resepsi kita! Dan sekarang apa? Kamu malah tidak bisa berhenti memikirkan dia? Apa aku tidak cukup untukmu?"
Rangga menarik napas dalam-dalam. Ayunda benar. Ia tidak adil. Ia tidak menghargai wanita yang ada di sampingnya sekarang karena terlalu sibuk memikirkan wanita yang sudah pergi.
"Maaf," akhirnya Rangga berkata... suara yang lebih lembut, lebih tulus. "Maafkan aku, Ayunda. Aku... hanya shock dengan semua informasi hari ini. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu."
Ayunda tidak langsung menjawab. Ia menatap keluar jendela dengan bibir yang mengerucut, tanda ia masih kesal tapi mulai melunak.
"Kamu tahu," Ayunda akhirnya berbicara dengan suara yang lebih pelan, "aku juga capek, Rangga. Capek jadi istri kedua yang selalu dibanding-bandingkan dengan istri pertama. Capek merasa tidak cukup. Capek harus bersaing dengan bayangan Indira."
"Kamu tidak harus bersaing..."
"Tapi aku merasa harus," Ayunda memotong. "Karena kamu selalu.. entah sadar atau tidak... selalu membandingkan aku dengan dia. 'Indira dulu selalu masak,' 'Indira dulu selalu beresin rumah,' 'Indira dulu tidak pernah mengeluh.' Dan itu menyakitkan, Rangga. Sangat menyakitkan."
Rangga merasakan dadanya sesak. Ia tidak menyadari bahwa kata-katanya selama ini menyakiti Ayunda. Ia pikir hanya menyatakan fakta... tapi ternyata itu terdengar seperti perbandingan yang tidak adil.
"Maaf," ulang Rangga dengan tulus. "Aku benar-benar minta maaf. Mulai sekarang aku akan lebih perhatian padamu. Aku janji."
Ayunda menatapnya... mencari tanda kebohongan di mata Rangga. Tapi yang ia lihat adalah penyesalan yang genuine. "Oke. Aku menerima permintaan maafmu. Tapi ini kesempatan terakhir, Rangga. Kalau kamu masih tidak bisa move on dari Indira, lebih baik kita akhiri pernikahan ini sekarang."
"Tidak akan," Rangga menjawab cepat. "Aku akan move on. Aku janji."
Keheningan mengisi mobil beberapa menit... keheningan yang lebih tenang dari sebelumnya. Lalu Ayunda teringat sesuatu. Sesuatu yang penting.
"Oh ya," ucapnya dengan nada yang lebih ceria... mencoba mengalihkan suasana yang berat. "Tadi aku bertemu dengan seseorang."
"Siapa?" tanya Rangga sambil fokus menyetir.
"Pemilik perusahaan besar," jawab Ayunda dengan senyum yang mulai muncul. "Namanya Pak Gunawan. Dia pemilik Gunawan Industries... perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur alat-alat medis. Dan dia bilang... tertarik untuk investasi di perusahaan kamu."
Rangga langsung menginjak rem... terlalu keras, terlalu tiba-tiba. Mobil berhenti mendadak di tengah jalan dengan bunyi decitan ban. Untung jalanan cukup sepi jadi tidak ada mobil di belakang mereka.
"APA?" Rangga menoleh menatap Ayunda dengan mata terbelalak. "Kamu serius?"
"Sangat serius!" Ayunda mengangguk excited. "Aku bertemu dia di bar saat kamu lagi sibuk dengan drama Indira tadi. Aku ngobrol dengannya, cerita tentang perusahaan kamu... tentu saja aku buat terdengar bagus dan dia terlihat tertarik! Dia bilang dia lagi cari partner untuk expand bisnisnya ke distribusi alat kesehatan!"
"Astaga," Rangga memegang kepala dengan kedua tangan... tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Astaga, Ayunda. Ini... bisa jadi penyelamat kita!"
"Aku tahu!" Ayunda tersenyum lebar... senang akhirnya bisa berguna dan dihargai. "Dan dia bilang besok kita bisa datang ke kantornya untuk discuss lebih detail. Dia kasih kartu namanya... ini."
Ayunda mengeluarkan kartu nama dari clutch-nya... kartu dengan emboss gold bertuliskan:
GUNAWAN SANTOSO
CEO - Gunawan Industries
Rangga menatap kartu nama itu seperti menatap tiket lotre yang menang. "Besok? Kita bisa datang besok?"
"Iya," Ayunda mengangguk. "Dia bilang jadwal dia cukup longgar besok siang. Kita bisa datang jam dua siang."
"Oh my God," Rangga menarik Ayunda dan memeluknya dengan erat... pelukan yang penuh dengan lega dan harapan. "Terima kasih. Terima kasih, Ayunda. Kamu... menyelamatkan perusahaan ku. Menyelamatkan kita."
Ayunda membalas pelukan dengan senang... akhirnya... suaminya menghargainya. "Sama-sama. Aku istri mu. Sudah seharusnya aku bantu kamu."
Rangga melepaskan pelukan, mengecup kening Ayunda dengan lembut. "Aku beruntung punya kamu."
Ayunda tersenyum tulus, yang bahagia. Untuk sesaat, ia melupakan semua drama tadi malam. Untuk sesaat, ia merasa jadi istri yang sebenarnya.
Tapi Rangga... meskipun ia tersenyum dan memeluk Ayunda, dalam hatinya ada tekad yang berbeda.
"Kalau perusahaan ku bangkit. Kalau aku bisa jadi sukses lagi... bahkan lebih sukses dari sebelumnya. Aku pasti bisa dapat Indira kembali. Aku akan buktikan padanya bahwa aku layak. Bahwa aku bisa jadi pasangan yang setara dengannya. Dan dia akan kembali padaku."
Tekad yang bodoh. Tekad yang egois. Tapi tekad yang tertanam kuat di benak Rangga yang tidak mau menerima kenyataan bahwa ia sudah kehilangan Indira untuk selamanya.
Sementara itu, di depan pintu masuk mansion Suryatama, Indira berdiri dengan clutch silver di tangan dan shawl tipis yang Nenek Aminah berikan karena malam semakin dingin. Rani berdiri di sampingnya... dengan senyum yang terlalu lebar, terlalu penuh rencana.
"Jadi," Indira berbicara dengan nada curiga, "kita pulang bareng seperti rencana awal, kan?"
"Oh, tentang itu," Rani meringis dengan wajah yang dibuat-buat menyesal, "aku harus pulang duluan. Ada... urusan mendadak."
"Urusan apa?" Indira menyipitkan mata. "Ran, jangan bohong. Aku kenal kamu dua puluh tahun. Aku tahu kalau kamu lagi merencanakan sesuatu."
"Aku tidak merencanakan apa-apa!" Rani protes terlalu cepat, terlalu defensif. "Aku cuma... dapat tawaran untuk dinner late night sama salah satu CEO muda yang aku kenal tadi. Dan aku tidak mau lewatkan kesempatan ini! Kamu tahu kan betapa susahnya dapat pria kaya yang single dan tampan?"
"Ran..."
"Dan kamu bisa pulang sama Adrian!" Rani melanjutkan dengan excited... seolah ini ide yang baru terlintas, padahal jelas sudah direncanakan. "Kalian kan arah yang sama! Tidak usah buang bensin dua mobil!"
"Tapi..."
"Oh, dan aku pinjam mobil kamu ya!" Rani sudah meraih kunci mobil Rolls Royce dari tangan Indira yang terlalu shock untuk bereaksi. "Mobil ku kan masih di apartemenmu. Jadi aku pinjam mobil kamu dulu. Nanti aku kembalikan besok pagi. Thanks, Dira! Love you!"
"RANI!" Indira berteriak tapi sahabatnya sudah berlari kecil dengan heels menuju mobil Indira yang terparkir di parkiran VIP.
Indira berdiri mematung... tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia baru saja di-set up oleh sahabatnya sendiri.
"Indira, sayang," suara Kakek Harto membuat Indira menoleh. Kakek dan Nenek Suryatama berdiri di pintu dengan senyum yang hangat. "Kami juga akan istirahat sekarang. Sudah tua, tidak kuat begadang."
"Oh, Kakek mau istirahat?" Indira berjalan mendekat.
"Iya Indira," Kakek Harto menganggukkan kepala. "Adrian bisa antar kamu pulang ke apartemen. Kakek tidak mau cucu kesayangan ku pulang sendirian tengah malam begini. Tidak aman."
"Tapi Kek..."
"Adrian!" Kakek Harto memanggil dengan suara yang keras.
Dari dalam mansion, Adrian muncul... sudah mengganti tuxedo-nya dengan kemeja putih casual yang digulung sampai siku dan celana bahan hitam. Rambut yang tadi rapi sekarang sedikit berantakan, lebih santai, lebih... menarik.
"Ya, Kakek?" Adrian berjalan mendekat dengan langkah santai.
"Antar Indira pulang ke apartemennya. Jaga dia baik-baik. Dia cucu kesayangan Kakek. Kalau sampai kenapa-kenapa, kamu akan dapat masalah dari Kakek."
Adrian tersenyum... senyum yang sangat samar tapi ada di sana. "Siap, Kakek. Aku akan jaga dia dengan baik."
"Tapi..." Indira mencoba protes.
"Tidak ada tapi-tapian," Nenek Aminah sudah menarik tangan Indira dengan lembut. "Sudah larut malam. Kamu tidak bisa pulang sendiri. Biarkan Adrian antar. Dia cucu yang baik. Tidak akan macam-macam."
Indira melirik ke arah parkiran... mobilnya yang dipinjam sudah melaju keluar dengan kecepatan yang mencurigakan. Lalu ia melirik ke Adrian yang berdiri dengan tangan di saku celana, menunggu dengan sabar.
Dan kemudian ia menyadari... ia baru saja di-set up. Tidak hanya oleh Rani. Tapi juga oleh Kakek dan Nenek Suryatama. Mereka semua berkomplot untuk membuat ia dan Adrian sendirian.
Sebelum Indira bisa protes lebih jauh, Rani yang entah kapan kembali tiba-tiba muncul di samping mobil yang masih parkir, menurunkan jendela dengan wajah yang penuh senyum jahil.
"Dira!" teriaknya sambil melambaikan tangan. "Selamat menikmati perjalanan pulang bersama Adrian! Jangan lupa pakai sabuk pengaman! Dan kalau bisa, jangan langsung pulang! Mampir-mampir dulu! Dinner late night! Ngobrol! Atau apapun!" ia mengedipkan sebelah mata dengan gesture yang sangat, sangat suggestif.
"RANI!" Indira melotot dengan wajah yang sudah memerah sampai ke telinga.
Tapi Rani sudah menjalankan mobil... melaju dengan cepat sambil tertawa keras yang terdengar sampai pintu masuk.
Indira berdiri di sana... wajah merah padam, tidak tahu harus marah atau tertawa atau menangis karena malu.
Adrian yang menyaksikan semua itu tertawa pelan. Tawa yang tulus, yang hangat. "Sahabatmu... sangat... ekspresif."
"Dia menyebalkan," gumam Indira sambil menutup wajah dengan tangan... mencoba menyembunyikan wajah merah nya.
"Tapi dia peduli padamu," Adrian berkomentar dengan lembut. "Itu terlihat."
Indira menurunkan tangannya, menatap Adrian dengan mata yang masih sedikit melotot karena malu. "Maaf. Maaf kamu terjebak dalam... konspirasi mereka ini."
"Aku tidak merasa terjebak," Adrian tersenyum yang membuat jantung Indira berdegup lebih cepat. "Aku merasa... beruntung. Beruntung bisa punya kesempatan untuk antar kamu pulang. Untuk menghabiskan waktu lebih lama denganmu."
Indira merasakan wajahnya semakin panas. "Adrian..."
"Ayo," Adrian menawarkan tangannya dengan gesture yang sangat gentlemanly.
Indira menatap tangan yang ditawarkan... tangan yang besar, yang kuat, yang terlihat bisa melindungi. Dan dengan helaan napas dan senyum yang akhirnya muncul... Ia menerima tangan itu.
"Baiklah. Terima kasih, Adrian."
"Selalu," jawab Adrian... lagi-lagi dengan kata itu, kata yang terdengar seperti janji yang lebih dalam dari sekadar mengantarkan pulang.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.