Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Bel sekolah sudah berbunyi, anak-anak mulai berhamburan pulang, begitu juga dengan Arkana, yang terlihat begitu lelah namun tetap semangat untuk pulang, tapi di sela-sela itu ia melihat seorang teman perempuannya terlihat murung sehingga membuat langkahnya terhenti.
"Naira, kau kenapa berhenti?" tanya Arkana.
Bocah perempuan itu hanya membungkuk seperti ketakutan. "Memangnya kamu tidak mau pulang?" tanyanya kembali.
Perlahan anak perempuan itu mulai menggelengkan kepalanya, terpancar di wajahnya rasa takut dan kegundahan. "Kenapa menggeleng, kamu takut pulang?" tanya anak itu lagi.
Ia pun mengangguk pelan. "Arkan, aku kemarin jualan tisu tidak habis, kata Ibu aku gak boleh pulang," sahut anak itu sambil menahan anakan air mata di pelupuk matanya.
"Memangnya ibumu gak kerja?" tanya Arkan kembali.
"Ibuku kerja serabutan, dari TK aku sudah berjualan," sahut Naira.
"Terus ayahmu dimana?" tanya Arkan kembali.
"Ayahku tidak kerja dia suka mabuk dan judi," ujar gadis kecil berpakaian lusuh itu.
Entah kenapa Arkan merasa iba, dan seperti ada ikatan hati yang tidak bisa ia ungkapkan. "Ya sudah kalau gitu kau ikut ke rumah aku saja biar gak di suruh jualan lagi," ajak Arkan.
Gadis kecil itu dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak Arkan nanti ibuku tambah marah," tolak Naira.
"Baiklah kalau begitu kamu ikut dulu ke rumah, aku mau kenalin kamu ke kakak aku, siapa tahu saja dia bisa bantu, dia itu super Hero tahu!" seru Arkan.
"Kakak mu memang cowok?" tanya Naira.
"Tidak dia cewek, tapi dia itu selalu lindungi aku, setelah Mama dan Papa dokter," sahut Arkan.
Sejenak gadis itu terdiam menatap nanar ke arah Arkan yang hidup bergelimang kasih sayang dari orang-orang terdekatnya, apalah arti dia di dalam keluarganya, bahkan tangan mungilnya selalu menjadi sasaran empuk ibunya di saat pulang tidak membawa uang.
'Ya Allah kapan aku mendapatkan kasih sayang seperti yang Arkan rasakan,' ucap Naira di dalam hati.
Tangan Arkan langsung terulur menggandeng tangan Naira, entah kenapa anak laki-laki Sena itu memiliki hati yang begitu luas, kepada teman yang satu ini, apalagi sedari kelas satu sampai kelas 4 ini Arkan melihat Naira selalu beda dari teman yang lain, Naira tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan murung tidak mudah bergaul, mungkin itu semua karena beban yang di derita oleh anak itu tidak sama dengan teman-teman sebayanya.
"Arkan," cegah anak itu.
"Kenapa lagi," sahut Arkan.
"Aku takut ibumu nanti akan memarahi ku," ucap Naira, yang merasa minder.
"Tidak mungkin Mama dan kakakku orang baik kok, jadi kamu tidak usah takut," jelasnya sambil kembali menggandeng tangan Naira.
Kedua anak kecil itu berjalan menyusuri jalanan setapak, di dalam perjalanan wajah anak perempuan itu begitu murung, takut jika nantinya setelah ini sesuatu buruk akan menimpa dirinya, namun jika pun pulang ibunya pasti tetap akan memarahi dirinya, anak sekecil itu harus dihadapkan dengan situasi yang cukup sulit.
"Naira, senyum dong, jangan manyun terus," ujar Arkan.
"He he," sahutnya dengan senyum yang dipaksa.
Tidak lama kemudian, kedua anak itu sampai di depan pagar rumah Arkan, gadis perempuan itu begitu takjub melihat rumah Arkan yang terletak di sebuah perumahan, meskipun tidak elite namun cukup luas dan nyaman.
"Wah rumah Arkan bagus sekali," ujar Naira dengan tatapan bangga.
"Kamu suka?" tanya Arkan.
Dengan senyum malu-malu Naira menganggukkan kepalanya. "Ya sudah kalau begitu ayo kita masuk," ajak Arkan sambil membuka pintu pagarnya.
Arkan mulai mengajak teman perempuannya itu masuk ke dalam rumahnya, suaranya yang riang mulai memanggil kakaknya.
"Kak ... Kak Ara ....!" teriak Arkan memenuhi ruangan rumahnya.
Ara yang sedari tadi menatap foto Dirga dan Ika, langsung segera menutup dan menaruhnya di tempat yang aman. "Astaga! Itu anak selalu buat aku jantungan," gerutunya dengan wajah panik.
"Iya Arkan ... bentar Kakak masih di kamar," sahut Ara.
"Cepetan Kakak ...," sahut adiknya lagi.
"Iya bawel! Ini sudah keluar kamar," ucap Ara.
Saat ini gadis itu mulai turun dari anakan tangga, dan ketika sampai di ruang tamu ia terkejut melihat sang adik membawa teman perempuan yang terlihat begitu kucel dengan seragam yang lusuh dan sepatu sedikit bolong di depannya.
'Ya ampun siapa yang dibawa Arkan, kok jika dilihat-lihat wajah keduanya sedikit agak mirip,' ungkap Ara di dalam hati.
Sementara itu Arkan langsung meloncat ke tubuh sang kakak seperti hal biasanya ia selalu membuat sang kakak terkejut.
"Idiiih ini anak sukanya main nempel saja kata cicak!" dengus Ara namun kedua tangannya lansung menanggapi tubuh adiknya.
"Kan aku kangen sama Kakak," rayunya sambil mencium pipi kakanya.
Ara pun menatap adiknya dengan sinis, karena ia tahu jika adiknya sudah berada di mode merayu seperti ini, pasti ada yang di pinta.
"Idiiih sok bilang kangen, terus ngerayu, ujung-ujungnya ada yang diminta," celetuk Ara.
"He he," Arkan pun tertawa sambil turun dari gendongan kakaknya.
Sejenak Ara mulai menyapa teman Arkan itu dengan basa yang ramah. "Halo cantik, sudah makan?" tanya Ara.
Gadis kecil itu hanya terdiam tatapannya menunduk ke bawah. "Jangan takut Sayang, Kakak gak gigit orang kok," ujar Ara.
Anak kecil itu langsung menatap ke wajah Ara. "Makasih Kak, tadi pagi aku sudah sarapan," sahut Naira.
"Kan itu pagi siangnya belum, kalau begitu kita makan dulu ya," ajak Ara, sementara itu Arkan langsung menimpali.
"Kakak, sebenarnya kedatangan Naira kemari, ingin meminta bantuan kepada Kakak," ujar Arkana.
Ara menatap wajah teman adiknya itu lebih dalam. Ada sesuatu di balik mata bening itu semacam kesedihan yang disembunyikan dengan tawa kaku. Ara menelan ludahnya pelan, seolah ikut merasakan getir yang tidak semestinya ditanggung oleh anak sekecil itu.
"Baiklah... sebelum makan, Kakak mau tahu dulu, bantuan apa yang Naira butuhkan?" tanya Ara lembut, berjongkok sejajar dengan Naira.
Naira menunduk, jari-jarinya saling meremas kuat. "Aku... aku cuma mau tempat duduk sebentar, Kak. Biar nanti kalau sudah sore, aku bisa balik jualan lagi. Aku janji gak akan lama..." suaranya gemetar, dan dalam hitungan detik air matanya jatuh membasahi pipi kotor itu.
Ara tercekat. Tangannya spontan mengusap pipi kecil itu dengan lembut. "Naira, kamu anak baik. Tapi kamu gak boleh sendirian begini. Harusnya kamu bermain, belajar, bukan takut pulang karena gak bisa jualan..." suaranya mulai bergetar menahan haru.
Arkan yang sedari tadi berdiri di sampingnya, ikut menatap dengan mata berkaca.
"Makanya Kak... tolong bantu dia ya... aku kasihan, Kak... aku gak tega kalau dia terus dimarahin," ucap bocah itu polos sambil menggenggam tangan Naira.
Ara akhirnya menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dadanya. Ia lalu menarik kedua anak itu ke dalam pelukannya.
“Mulai sekarang, rumah ini juga rumahmu, Naira. Gak usah takut apa pun, ya. Kalau ibumu marah, biar Kakak yang bicara. Kamu cuma perlu tahu satu hal kamu pantas disayang.”
Isak kecil pun pecah di dada Naira. Tangannya gemetar saat membalas pelukan itu. “Aku... aku cuma mau tahu rasanya disayang itu kayak apa, Kak...” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Air mata Ara akhirnya luruh, membasahi rambut kedua bocah di pelukannya. Ia tak sanggup berkata lagi. Sementara Arkan, dengan polosnya, menepuk bahu temannya sambil berbisik.
“Mulai sekarang kamu gak sendirian, Rai. Aku sama Kak Ara bakal jagain kamu, selamanya.”
Dan di sudut ruang tamu yang sederhana itu, tiga hati bertemu satu terluka, satu polos, dan satu dewasa yang diam-diam berjanji dalam hati bahwa tidak akan ada lagi anak sekecil Naira yang menanggung dinginnya dunia tanpa kasih sayang.
Bersambung ....
Semoga suka ya, scene Dirga dan Amel di tunda dulu ya, ini pengenalan karakter Dirga dan teman perempuannya....
janji "aja tuh