"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Fakta yang membakar hati
...0o0__0o0...
...Mobil putih itu akhirnya terlihat di kejauhan. Langit langsung mengenali plat nomornya—mobil yang barusan menjemput Jingga. Tanpa pikir panjang, ia menyalip dari sisi kanan, lalu memberi klakson panjang....
...Ikbal yang sedang fokus menyetir mendengus pelan. Ia melirik spion, melihat sedan abu-abu yang menyalip dengan agresif. ...
...“Siapa sih, ngebut banget…” gumamnya kesal....
...Jingga yang duduk di belakang refleks mendongak, matanya langsung membelalak. Itu mobil Langit! Panas dingin menjalari tubuhnya....
...“Bal… pelan saja. Jangan di lawan,” katanya buru-buru, berusaha menutupi ke gugupan....
...Ikbal menoleh sekilas lewat spion, alisnya terangkat. “Kamu kenal ?”...
...Jingga tercekat. “Bukan… aku nggak tahu. Mungkin orang nggak sabar.”...
...Namun Langit tak tinggal diam. Ia berhasil menyalip, lalu mengurangi kecepatan di depan mobil hitam itu, memaksa Ikbal berhenti di tepi jalan....
...“Ya ampun… apaan sih orang ini ?!” Ikbal mengumpat kecil, menepikan mobilnya....
...Langit keluar dari mobilnya dengan langkah lebar, wajah tegang penuh emosi. Ia mengetuk keras kaca jendela sopir. ...
...“Kamu!”...
...Ikbal membuka kaca dengan ekspresi tak kalah keras. “Ada masalah apa, Om ? Kenapa main paksa berhenti begini ?”...
...Langit menatapnya tajam, dadanya naik turun. “Itu…” Ia melirik ke kursi belakang, dan matanya langsung menangkap sosok Jingga yang pucat, menunduk dalam-dalam....
...Darah Langit seakan mendidih. “Kenapa dia ada di mobil kamu ?”...
...Ikbal mengernyit, menoleh sekilas ke arah belakang, lalu kembali menatap pria di depannya. “Dia teman ku. Aku jemput karena dia minta tolong.”...
...Langit maju setapak, nada suaranya makin keras. “Kamu siapa sampai bisa seenaknya jemput istri orang ?”...
...Kata-kata itu membuat Ikbal terperanjat. “Istri ?” Ia menoleh cepat ke arah Jingga, wajahnya penuh keterkejutan. “Jingga… apa maksudnya ?”...
...Jingga meremas tasnya erat, matanya berair. Lidahnya kelu, tak sanggup menjawab....
...Sementara itu, Langit juga membeku. Tatapan matanya ke arah Ikbal menyempit. “Kamu… siapa dia bagimu ?”...
...Hening menegangkan menyelimuti jalan itu. Dua lelaki berdiri saling berhadapan, sama-sama belum tahu bahwa mereka terikat pada perempuan yang duduk di kursi belakang dengan wajah pucat pasi—Jingga....
...Jingga merasa dadanya sesak, seakan dunia mengepung-nya dari segala sisi. Tatapan Langit yang membara bercampur dengan sorot mata Ikbal yang penuh tanda tanya membuatnya tak sanggup lagi bersembunyi....
...Dengan suara bergetar, ia membuka mulutnya. “Cukup… berhenti!” serunya lirih, tapi tegas....
...Langit dan Ikbal sama-sama menoleh padanya....
...Air mata Jingga jatuh begitu saja. Ia meng-genggam tasnya erat, lalu berkata dengan suara parau, “Aku… memang istri Kak Langit. Tapi aku juga… masa lalunya Ikbal.”...
...Keheningan menyelimuti udara....
...Ikbal seperti di hantam petir. “Apa ? Jingga… kamu… menikah dengan dia ?” Suaranya penuh luka, seolah tak percaya bahwa gadis yang dulu di cintainya kini ternyata sah menjadi milik orang lain....
...Langit terdiam, dadanya bergemuruh. Kata-kata Jingga barusan menusuk telinganya. Masa lalu Ikbal ? Ia menatap tajam ke arah Jingga, matanya nyaris tak bisa di kendalikan....
...“Maksud mu… dia mantan mu, jingga ?”...
...Jingga menunduk, air matanya tak terbendung. “Iya, Kak… aku pernah bersama Ikbal. Sebelum semua ini terjadi.”...
...Langit terhuyung selangkah ke belakang, hatinya seperti di remas. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menahan badai amarah dan kecewa....
...Ikbal, di sisi lain, menatap Jingga tak percaya, suaranya pecah. “Kenapa kamu nggak pernah bilang, Jing ? Kenapa aku harus tahu dengan cara seperti ini ?”...
...Jingga tak mampu menjawab. Hanya isakan yang terdengar, membuat suasana semakin mencekam....
...Langit membuka matanya kembali, kini tatapannya penuh campuran luka dan bara. Ia melirik Ikbal tajam, lalu menoleh ke arah Jingga yang menangis....
...“Jingga… kenapa kamu sembunyikan ini dari ku ?”...
...Jingga terisak semakin keras. “Tidak ada gunanya kamu tau kak. Semua sudah jadi masa lalu....
...Udara di sekitar mereka seolah membeku. Tiga hati kini berada dalam pusaran yang sama: cinta, masa lalu, dan kenyataan pahit yang tak bisa dihindari....
...Langit menatap Jingga dengan rahang mengeras. Api cemburu membakar dadanya begitu melihat istrinya duduk di mobil bersama Ikbal. ...
...Bayangan tadi malam—saat ia gagal menahan diri dan malah terjerat pelukan Nesya—langsung menghantam kepalanya....
...“Jadi ini alasan kamu buru-buru berangkat sendiri, Jingga ?!” Geramnya, suara bergetar menahan emosi. “Kamu lebih memilih berangkat dengan mantan mu dari pada menunggu aku, suami sah mu ?!”...
...Jingga mendongak, matanya merah karena tangis. Ia menggenggam tasnya erat, bibirnya gemetar sebelum akhirnya meledak....
...“Kakak yang mengingkari janji!” suaranya pecah penuh luka. “Kakak yang bilang mau antar aku kuliah pagi ini. Tapi apa kenyataannya ? Kamu malah terkunci di kamar bersama… istri pertama kak Langit. Melampiaskan hasrat, sementara aku menunggu dengan sia-sia di ruang makan.”...
...Langit tercekat, wajahnya memucat. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pada yang pernah ia bayangkan....
...“Aku… Jingga, dengarkan aku dulu—”...
...“Tidak!” potong Jingga cepat, air matanya jatuh semakin deras. “Kakak bisa marah karena aku bareng Ikbal, tapi pernahkah kamu berpikir bagaimana perasaan ku ? Aku duduk sendirian, menunggu orang yang katanya suami… sementara suami ku sendiri sibuk memadu kasih dengan istri pertamanya.”...
...Ikbal terdiam kaku di kursinya, suasana ini bagai mimpi buruk yang tak seharusnya ia dengar. Namun tatapannya jelas: luka Jingga terasa nyata baginya....
...Langit menunduk, tangannya mengepal keras hingga buku jarinya memutih. Ia tahu apa yang di katakan Jingga benar. Ia tahu ia salah. Tapi bayangan Jingga bersama pria lain membuat dadanya terbakar hingga hampir tak bisa bernapas....
...“Jingga…” suaranya parau, nyaris berbisik. “Aku tidak bisa lihat kamu dengan dia. Aku… cemburu. Aku takut kehilangan mu.”...
...Jingga menggeleng, suaranya patah. “Kalau takut kehilangan, seharusnya kamu tidak membuat ku merasa sendirian, kak.”...
...Keheningan membungkus mereka bertiga. Langit di landa badai penyesalan, Jingga terhanyut dalam kekecewaan, sementara Ikbal hanya bisa menggenggam setir, menahan diri agar tidak ikut terseret dalam pertarungan cinta yang rumit itu....
...Langit meraih gagang pintu belakang mobil, membukanya dengan gerakan tegas. Wajahnya serius, sorot matanya penuh dengan amarah sekaligus luka....
...“Jingga, turun. Ikut mobil aku sekarang.” Suaranya dalam, berwibawa, tidak memberi ruang untuk bantahan....
...Jingga menoleh, matanya masih basah. Ia menggeleng pelan. “Aku tidak bisa, Kak. Hati aku belum tenang… aku masih kecewa.”...
...Langit mengepalkan tangan di sisi pintu, mencoba mengendali-kan diri. Latar belakangnya sebagai anak pemilik pesantren menuntun-nya untuk tidak gegabah, tapi emosinya sudah terlanjur berkobar....
...“Jingga, dengarkan aku baik-baik,” katanya, suara meninggi namun tetap penuh kendali. “Kamu adalah istriku. Dalam agama, istri wajib taat kepada suami selama tidak dalam maksiat. Apa yang kamu lakukan sekarang—ikut dengan mantan mu—itu menjerumus-kan diri mu pada fitnah besar!”...
...Jingga terisak, tapi tetap berani menatap balik. “Kak jangan hanya bicara soal agama ketika ingin membenarkan diri. Agama juga mengajarkan amanah. Dan kamu tadi sudah mengingkari janji kepada aku.”...
...Kata-kata itu membuat Langit tercekat. Ada kebenaran yang sulit ia bantah....
...Ikbal yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara, suaranya berat. “Saya bisa antarkan Jingga ke kampus, Om. Niat saya murni hanya membantu. Tidak lebih.”...
...Langit menoleh tajam pada Ikbal. “Kamu tahu tidak ? Menjemput seorang perempuan yang sudah bersuami tanpa izin suaminya itu termasuk perbuatan yang bisa menimbulkan fitnah besar. Kamu pikir niat baik cukup untuk menutupi dosa ?”...
...Ikbal terdiam, tak bisa membantah logika agama yang di lontarkan Langit....
...Jingga justru makin teriris. “Kak Langit, selalu bisa menundukkan orang dengan ilmu agama yang kamu kuasai. Tapi kenapa ilmu itu tidak kamu gunakan untuk menjaga perasaan aku ? Untuk menepati janji ?”...
...Langit menatap Jingga lama sekali. Napasnya berat. Semua yang keluar dari bibir Jingga adalah kebenaran yang menusuk hatinya. Namun genggaman tangannya pada pintu semakin kuat. ...
...“Apapun itu, kamu tetap harus ikut aku sekarang. Aku tidak akan biarkan istriku di bawa pria lain. Itu tanggung jawab ku sebagai suami dan sebagai seorang laki-laki yang memegang amanah.”...
...Suasana jadi semakin menegang. Jingga terbelah antara ketaatan pada suami dan luka hatinya yang masih segar. Sementara Langit, di balik ketegasan dan ilmunya, sedang berperang melawan rasa bersalah yang semakin berat....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂