Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akan Menunggu
Wajah Clarissa langsung memucat, lalu memerah karena malu. Ia terdiam, tidak menyangka akan mendapat balasan setajam itu.
Selina memelototi Kaira. “Jaga bicaramu, Kaira. Clarissa adalah tamu kita!”
“Tamu?” Kaira mengangkat alis. “Lalu sampai kapan tamu ini akan terus hadir setiap saya pulang ke rumah suami saya?”
Clarissa terbatuk kecil, berusaha menguasai diri. “Aku hanya datang untuk ... membantu Nyonya Selina.”
“Kalau begitu, bantu saja dari luar pagar. Di dalam rumah ini sudah terlalu sesak oleh orang-orang bermuka dua,” ucap Kaira tanpa basa-basi.
Suasana menjadi tegang. Selina menggertakkan gigi, namun tidak berkata apa-apa lagi.
Clarissa hanya menunduk, menahan rasa malu yang membakar wajahnya. Sementara Kaira mengambil ranselnya kembali, dan berjalan menaiki tangga dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa.
Tak lama setelah Kaira menghilang di balik tangga menuju lantai atas, pintu utama kembali terbuka. Suara langkah kaki berat terdengar, disusul dengan kemunculan Leonel Frost, pria berwajah dingin namun rupawan yang kini menjadi kepala keluarga Frost.
Selina segera berdiri dari duduknya, menyambut putranya dengan sorot mata penuh kekesalan.
"Leonel, kau harus bicara pada istrimu itu!" kata Selina tegas. "Kaira baru saja mempermalukan Clarissa di hadapanku! Padahal Clarissa hanya mencoba bersikap ramah."
Clarissa yang masih duduk di sofa mengangguk pelan, wajahnya menunduk, tampak berusaha menyembunyikan ekspresi sedih. Sesekali ia mengusap sudut matanya, seolah sedang menahan air mata.
Leonel menarik napas panjang, lalu melangkah mendekati Clarissa. Dengan lembut, ia mengusap kepala gadis itu, seolah menenangkan seorang anak kecil.
"Maafkan Kaira, Clarissa," ucap Leonel dengan nada lembut. "Aku tahu dia memang sering bersikap tak menyenangkan … tapi semua ini akan segera berakhir."
Clarissa menatap Leonel lirih. “Aku tidak apa-apa, Leonel. Aku hanya ... tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk.”
Leonel tersenyum tipis. “Kau terlalu baik,” katanya, lalu melirik ke arah ibunya. “Ibu, tenang saja. Perjanjian pernikahan antara aku dan Kaira hanya berlaku selama satu tahun. Beberapa bulan lagi, semuanya akan selesai.”
Selina mendengus puas. “Bagus. Ibu sudah muak melihat gadis itu bertingkah seolah rumah ini miliknya.”
Clarissa menggigit bibir bawahnya lalu berkata pelan, “Aku ... akan bersabar, Leonel. Selama kau tetap di sisiku, itu sudah cukup.”
Leonel menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Aku akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”
Sementara itu, dari lantai atas, Kaira berdiri diam di balik dinding, mendengarkan setiap kata mereka dengan tenang. Matanya yang buta tak mengurangi ketajaman nalurinya. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.
"Menarik," gumamnya lirih. "Mari kita lihat, siapa yang akan menceraikan siapa lebih dulu."
****
Cahaya lampu temaram menyinari ruangan VIP di lantai dua salah satu klub malam paling mewah di pusat kota. Aroma alkohol dan alunan musik jazz lembut menyatu dalam suasana elegan namun santai.
Di dalam ruangan itu, dua pria tampan dan berkarisma sudah duduk santai, masing-masing dengan segelas vodka di tangan mereka.
Jerico Vaugh, CEO dari perusahaan otomotif terbesar di negara itu, tertawa kecil sambil meneguk minumannya. Di sampingnya duduk Nathaniel Drake, pemilik jaringan hotel internasional yang namanya tersohor di kalangan konglomerat.
“Leonel pasti datang terlambat lagi,” gumam Nathan sambil melirik jam tangannya.
“Biasa, pria yang sedang terjebak dalam ikatan pernikahan kontrak,” sahut Jerico sambil tertawa.
Tak lama, pintu ruangan terbuka. Leonel Frost melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh wibawa. Setelan jas hitamnya tampak rapi dan mahal, cocok dengan statusnya sebagai CEO Grup Frost.
"Sudah mulai tanpa aku?" tanya Leonel ringan seraya duduk di sofa kosong.
Jerico mengangkat gelasnya. “Kami hanya mencicil. Kau datang tepat waktu.”
“Sky belum datang?” tanya Leonel sembari memandang sekitar.
Nathan menggeleng. “Belum. Kau tahu sendiri, dia tidak pernah terburu-buru kecuali urusan serius.”
Leonel hanya mengangguk kecil. Jerico lalu menyandarkan tubuhnya lebih santai dan melirik Leonel dengan senyum menggoda.
“Bagaimana kabar istrimu? Si gadis buta yang memesona itu?” tanya Jerico santai, tapi nadanya penuh makna.
Leonel menghela napas, lalu meneguk minumannya sebelum menjawab, “Dia berubah. Bukan lagi gadis lemah seperti sebelumnya. Kadang ... aku bahkan merasa dia bukan Kaira yang dulu.”
Nathan menyipitkan mata. “Berubah bagaimana?”
Leonel menatap gelasnya sejenak. “Tajam. Dinginnya menusuk. Tapi juga tenang, seperti seseorang yang menyimpan sesuatu.”
Jerico tertawa. “Jangan-jangan kau mulai tertarik padanya?”
Leonel mendengus. “Aku tetap mencintai Clarissa. Kaira hanya akan bertahan beberapa bulan lagi. Setelah itu, perjanjian kami selesai.”
Nathan dan Jerico saling pandang lalu terkekeh pelan. “Ah, si Leonel romantis,” ejek Nathan.
Suasana kembali santai sebelum pintu terbuka kembali. Seorang pria dengan aura dingin dan mata tajam melangkah masuk.
Setelan biru gelapnya terkesan sederhana, namun jelas terbuat dari bahan premium. Begitu ia muncul, ruangan langsung dipenuhi aura dominan.
Sky Oliver Dalton.
Jerico dan Nathan berdiri dengan hormat, begitu pula Leonel.
“Sky,” sapa Leonel singkat.
“Sepupu,” balas Sky tanpa ekspresi, lalu duduk di kursi yang disediakan Jerry, asistennya.
Jerico menyeringai. “Akhirnya raja es datang juga. Kami hampir bertaruh kau tidak akan muncul.”
Sky hanya menatap tajam, lalu meneguk teh hitam yang dibawakan Jerry. “Aku datang karena laporan kalian penting. Bukan untuk lelucon.”
Nathan mengangkat kedua tangannya menyerah. “Tenang, Tuan Dalton. Kami paham betul sifatmu tak berubah.”
Sky lalu melirik Leonel sejenak. “Kau masih tinggal dengan istrimu?”
Leonel mengangguk. “Untuk beberapa bulan ke depan.”
Sky tidak membalas. Namun tatapan matanya seolah menyimpan sesuatu, sesuatu yang dalam … dan jauh lebih serius dari sekadar pernikahan kontrak.
Nathan kemudian tersenyum lalu menuangkan minuman dari botol yang baru dibuka. Ia lalu melirik Sky yang hanya menatap gelas teh hitam di tangannya.
“Ini hanya alkohol ringan, Sky. Bukan vodka atau whisky,” ujar Nathan santai. “Sedikit tidak akan membuatmu mabuk.”
Sky menggeleng pelan. “Aku sudah berhenti minum alkohol.”
Jerico menaikkan alisnya. “Sejak kapan seorang Sky Dalton menolak alkohol?”
Sky tak langsung menjawab. Ia hanya menyesap tehnya perlahan, lalu menatap kosong ke arah jendela ruangan yang menampilkan gemerlap lampu kota.
Jerico menyandarkan tubuhnya sambil menyeringai nakal. “Jangan-jangan ini semua karena … gadis itu.”
Nathan ikut tersenyum penuh rasa ingin tahu. “Gadis pujaanmu yang selama ini tak pernah kau sebutkan namanya?”
Sky menoleh, matanya tajam dan dingin. Tapi di balik sorot itu, ada kilasan emosi yang nyaris tak terbaca.
“Apa urusan kalian?” balasnya datar.
Jerico tertawa. “Kami sahabatmu, tentu saja kami ingin tahu siapa wanita yang bisa membuat seorang Sky Dalton berhenti minum.”
“Dan mengubahmu jadi lebih ... manusiawi,” tambah Nathan menggoda.
Sky menghela napas pendek. “Itu urusan pribadi. Dan dia—tidak lagi ada di dunia ini.”
Kejadian itu membuat suasana mendadak hening. Bahkan Jerico dan Nathan tidak mengeluarkan lelucon selanjutnya. Mereka saling pandang, tahu bahwa Sky tidak sedang bergurau.
Leonel akhirnya membuka suara, suaranya pelan, “Kau masih mencintainya?”
Sky menatap lurus pada gelas teh di tangannya. “Tentu. Dan aku akan menunggu ... jika semesta masih memberiku satu kesempatan lagi.” senyum misterius tercetak di bibir seksi Sky.
seirinh wktu berjlan kira2 kpn keira akan bis melihat yaaa
ya panaslah masa enggak kaira tinggl di rumah keluarga fros aja panas padahal tau kalo kaira di sana tidak di anggap,apa lagi ini bukan cuma panas tapi MELEDAK,,,,,,