Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Suara tangis Lira kian meninggi, menenggelamkan isak Riana yang tertahan di tenggorokannya. Tangisan itu sukses membangunkan Liliana yang tadi terlelap dalam pelukan Septian, begitu pun dengan Septian yang langsung tersentak. Keduanya membeku ketika mendapati Riana berdiri di ambang kamar, menggenggam Lira erat di dalam gendongannya.
“Rin… i–ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” suara Liliana terdengar gemetar, panik, seolah sedang mencari alasan yang bisa menyelamatkan dirinya.
“Riana, jangan salah paham. Aku semalam cuma ketiduran di sini,” imbuh Septian, nadanya tergesa.
Riana menatap mereka bergantian. Lelaki yang ia sebut suami, dan kakak yang selalu ia percayai. Hatinya bergetar hebat, seakan tubuhnya tak lagi kuat menopang luka yang baru saja ia lihat. Ia ingin percaya… tapi bukankah jika ia percaya, ia sama saja sedang menertawakan dirinya sendiri? Menjadikan dirinya badut di dalam rumah tangganya sendiri.
“Tapi… aku jelas melihat kalian tadi…” suaranya pecah, lirih namun penuh dengan perih, cukup untuk membuat keduanya terdiam.
“Riana, aku tahu kamu pasti ragu, aku ngerti…” Liliana buru-buru menimpali, “Semalam setelah aku ganti baju, mataku nggak kuat lagi. Kamu tahu sendiri kan, aku gampang banget ketiduran. Dan soal yang tadi, kamu pasti juga tahu… kalau kita sudah di alam mimpi, mana mungkin sadar dengan sekitar.”
Melihat Riana masih ragu, kini giliran Septian melangkah maju mendekatinya. “Apa yang dikatakan kakakmu benar. Maaf, aku juga kelelahan semalam sampai tertidur setelah memberikan uang pada Liliana. Jangan salah paham lagi, Rin. Lagian… selain dia kakak iparku, dulu kita juga sahabatan. Tidur seperti ini sudah jadi hal yang biasa.”
Kata-kata itu menusuk dada Riana lebih dalam daripada apa pun. Tubuhnya kaku, seakan tak lagi sanggup berdiri. Ucapan Septian yang seolah meremehkan rasa sakitnya justru membuat air matanya jatuh tanpa kendali, membasahi pipi kecil Lira yang masih menangis di pelukannya.
Melihat tatapan Liliana dan Septian terarah padanya, Riana buru-buru menghapus sisa air matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah, tidak ingin kedua orang yang ia cintai itu tahu betapa hancurnya dirinya saat ini. Padahal, ia sudah berusaha mengikhlaskan, sudah menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk. Tapi mengapa rasanya tetap begitu sakit, seolah ada belati yang berulang kali ditusukkan ke dalam dada?
“Rin…” suara Septian kembali terdengar, kali ini lebih lembut, seperti berusaha menenangkan. Namun bagi Riana, nada itu justru terdengar seperti penghinaan.
Ia menunduk, menatap Lira sejenak, lalu perlahan menyerahkan bayi itu ke dalam pelukan Liliana. “Iya, tenang saja. Sekarang Lira butuh asimu, Kak. Dari tadi dia tidak berhenti menangis.”
Liliana menerima Lira dengan wajah bingung, tapi ia tidak diam saja. Liliana sekali lagi ingin meyakinkan Riana, ia pun berkata, “Rin, tolong percaya sama aku. Aku nggak mungkin…”
Namun Riana segera mundur selangkah, menghindari sentuhan kakaknya. Sorot matanya basah, tapi kali ini ada ketegasan samar di balik air mata. “Kalian nggak perlu repot menjelaskan lagi. Aku sudah mengerti.”
“Syukurlah,” ucap Liliana pelan, sebelum membalikkan badan dan mulai menyusui Lira.
Sementara itu, Riana mengalihkan pandangan pada Septian. Suaranya terdengar datar, dingin, tanpa emosi, namun justru menohok lebih dalam. “Mas, masih mau di kamar ini dan membantu Kak Lili? Kalau iya, aku keluar dulu.”
Riana langsung berbalik, namun Septian segera mengejarnya. Begitu pintu tertutup, ia mencengkeram lengan istrinya. Saat Riana menoleh, jelas terlihat di matanya hanya ada kebencian untuknya. Septian sulit mempercayai hal itu. Bukankah selama ini Riana begitu mencintainya? Ia rela menjadi ibu rumah tangga, mengurus segala kebutuhannya tanpa bantuan pembantu, bahkan selalu menuruti setiap ucapannya.
Dengan kasar namun penuh rasa takut kehilangan, Septian menarik tangan Riana hingga tubuh kurus itu terperangkap dalam dekapannya. “Sayang, jangan marah lagi, ya. Aku sungguh tidak bermaksud begitu. Ini semua hanya salah paham.”
Dalam pelukan Septian, Riana tertawa hambar. Dulu, pelukan ini selalu ia nantikan. Namun kini, pelukan itu tak lagi memberi rasa hangat. Tubuhnya kaku, sama sekali tidak merespons. Air matanya justru jatuh tanpa suara, membasahi bahu Septian.
“Lepaskan, Mas…” bisiknya lirih, namun tegas.
“Kalau kamu masih marah, aku nggak akan melepaskanmu,” ucap Septian, suaranya bergetar, mencoba terdengar tegas padahal jelas diliputi cemas.
Namun, sikap Riana yang hanya pasrah justru membuat dadanya semakin sesak. Dengan berat hati, Septian akhirnya melonggarkan pelukan, lalu menangkup bahu istrinya. Kedua matanya menatap dalam, seakan ingin meyakinkan Riana dengan tulusnya cinta yang selama lima tahun ini ia buktikan.
“Baiklah… anggap saja apa yang kamu lihat tadi memang bikin kamu ragu. Tapi, Riana, aku sungguh mencintaimu. Aku nggak mungkin ada apa-apa sama kakakmu. Kamu tahu sendiri kan, dulu kami memang dekat, sahabatan sejak lama.” Nada suaranya lembut, penuh harap agar istrinya mau percaya.
Riana tetap diam. Matanya kosong, menolak memberi celah bagi kata-kata itu.
Dengan tergesa, Septian mengangkat dua jarinya, seolah mengucap sumpah. “Aku janji, ini nggak akan terulang lagi. Kalau ngantuk, aku akan langsung kembali ke ruang kerja dan tidur di sana. Oke?”
‘Bahkan kamu nggak bilang kalau akan tidur di kamar kita. Apa benar itu cintamu, Mas?’ batin Riana, getir.
Melihat Riana masih terdiam, Septian kembali mencoba menggapainya. “Riana, kamu ingat kan… hari ini hari aku melamarmu dulu. Sebagai peringatan, ayo kita makan malam di luar. Aku pengen kita mengenang itu lagi.”
Riana terdiam cukup lama. Hatinya masih perih, luka itu masih menganga. Namun saat tatapannya bersirobok dengan mata Septian yang memohon, bayangan awal kebersamaan mereka perlahan muncul, masa di mana cinta itu begitu sederhana dan tulus.
Air matanya kembali jatuh. Bukan lagi karena amarah, melainkan kerinduan pada sosok Septian yang dulu.
“Mas…” bisiknya pelan. “Kenapa kamu selalu tahu cara bikin aku goyah?”
Septian segera meraih tangan Riana, menggenggam erat. “Karena aku nggak pernah ingin kehilanganmu, Sayang. Kamu duniaku. Percayalah, nggak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku.”
Riana menunduk. Hatinya berperang antara logika dan cinta. Namun akhirnya, ia mengangguk kecil, bukan karena pasrah, tapi karena ingin menguji Septian untuk yang terakhir kalinya.
“Baiklah…” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. “Aku ikut makan malam itu, Mas.”
Senyum lega langsung merekah di wajah Septian. Ia menarik Riana kembali ke dalam pelukannya, kali ini lebih lembut, seakan berjanji dalam diam untuk menjaga apa yang hampir berada di ujung tanduk.
"Terimakasih, Sayang," ucap Septian lalu melepas pelukannya dan mencium kening Riana.
Pagi itu semua nampak kembali seperti biasanya. Hingga waktu sarapan datang, Riana sudah selesai memasak nasi goreng menu kesukaan Septian dan menyajikan di atas meja.
“Nasi goreng dengan telur ceplok kesukaanmu, Mas,” ucapnya pelan.
Septian menatapnya sambil tersenyum, lalu mulai menyantap Sarapan itu. Riana ikut duduk di seberang, meski hatinya masih digelayuti rasa was-was yang sulit ia pahami.
Suasana meja makan begitu hening. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar, sampai tiba-tiba suara langkah mendekat dari arah lorong.
Riana menoleh, dan jantungnya seketika berhenti berdetak.
Liliana muncul dari balik pintu kamar dengan rambut masih acak-acakan, wajah tanpa riasan, namun yang paling membuat Riana terperanjat adalah pakaian yang dikenakannya, sebuah camisole tipis berwarna hitam yang jelas-jelas terlalu terbuka untuk dikenakan di depan iparnya sendiri.
Sendok di tangan Riana terjatuh membentur lantai.
Sementara Septian, alih-alih menoleh ke arah istrinya, justru buru-buru mengalihkan pandangan, seakan tak ingin terlihat terlalu memperhatikan Liliana.
Dalam hati Riana menjerit, “Astaga, Kak… apa maksudmu keluar dengan pakaian seperti itu?”