Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Menyerang
Maelon berjongkok dalam bayang reruntuhan, keringat mengalir pelan dari pelipis meski udara di sekeliling begitu dingin dan mati. Di hadapannya, altar masih berdiri, lebih mirip mimpi buruk yang diwujudkan dalam logam dan darah. Para pria bertopeng tak berkata banyak, tapi tiap gerak mereka seperti bayangan yang memotong nurani. Dan di antara keheningan itulah, sesuatu mulai bergolak dalam dada Maelon—bukan rasa marah, bukan keberanian, tapi sesuatu yang lebih purba… sesuatu yang telah lama terpendam dan kini menuntut bentuk: perjuangan.
"Selamatkan mereka…" bisik suara samar, nyaris tak terdengar, tapi berulang… dan berulang. Bukan hanya dari dalam kepala. Suara itu seolah datang dari retakan-retakan dinding dunia itu sendiri, seperti gema dari kehendak yang tertinggal. Lalu bisikan lain menyusul, berbeda—lebih tajam, lebih menyusup ke dalam: "Bodoh jika kau menyerang. Mereka mungkin pengguna Doctrina… jika ya, kau akan mati bahkan sebelum bernapas kedua."
Maelon menunduk, menggenggam besi tua yang lama menjadi tombaknya. Tangannya gemetar, bukan karena takut semata, tapi karena jiwanya robek dua: menyelamatkan, atau bertahan. Ia tahu ia belum cukup kuat. Bahkan Aetheron di dalam dirinya masih mentah, belum terlatih, belum terasah. Tapi jika ia pergi sekarang… jika ia berpaling dan membiarkan darah menodai altar itu lagi… akankah ia bisa hidup dengan dirinya sendiri?
Tahanan pertama kini berlutut lebih dalam. Pria bertopeng mengangkat pisaunya tinggi ke langit-langit altar. Suaranya dalam, berat, seperti gema dari tenggorokan yang bukan milik manusia:
"Untuk yang Agung, yang tak bernama, yang memberi kami arah dan harga dari cahaya."
Itulah batasnya.
Maelon berdiri perlahan, nyaris tanpa suara. Tapi langkahnya adalah langkah keputusan. Hati kecilnya tak lagi mendebat. Ia mengangkat tangan kanannya, merasakan denyut Aetheron merambat di bawah kulitnya. Energi itu seperti sungai yang menolak dibendung lebih lama. Mata Maelon menatap pria bertopeng itu, dan tanpa berkata apa-apa, sebuah bola cahaya putih-biru terbentuk—tenang, berpendar seperti bintang yang lahir terlalu dini.
Dan dalam sekejap, ia melepaskannya.
Cahaya melesat, memecah diam yang sakral, menghantam altar dengan bunyi yang tidak bisa didefinisikan. Seperti suara tulang yang patah dan kaca yang pecah bersamaan. Cahaya itu bukan hanya menghantam benda, tapi membelah perhatian semua yang hadir. Keenam pria bertopeng membalikkan tubuh mereka serempak, gerak mereka begitu seragam hingga tampak tidak wajar—seperti makhluk yang hanya menyamar sebagai manusia.
Maelon tahu tak ada waktu untuk menunggu jawaban. Dengan satu gerakan cepat, ia mengangkat tombak besinya. Meski sederhana, besi tua itu kini bergetar dengan energi Aetheron. Tangannya terasa panas, napasnya berat, tapi jiwanya telah bulat. Dia sudah memilih. Dan tak ada jalan mundur dari sini.
Para pria bertopeng mulai melangkah… dan langkah mereka tak mengeluarkan suara sedikit pun. Diam. Seperti kematian yang berjalan perlahan.
Dan Maelon, hanya bisa menelan ludahnya sendiri, menyiapkan dirinya untuk kemungkinan yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.
Tapi apapun yang akan datang, ia tahu satu hal: ia tidak akan menjadi penonton lagi.
Langkah mereka bukan langkah biasa. Mereka mendekat bagai bisikan yang meluncur di balik kabut—tak ada gemuruh, tak ada tanah yang pecah—hanya kehadiran yang menyelimuti tempat itu seperti kabut racun. Enam sosok bertopeng berdiri di sisi altar, tubuh mereka tegap, pakaian mereka tak seragam namun terasa senada dalam ancaman. Setiap gerakan kecil dari mereka mengandung makna; seolah dunia tak berputar sembarangan di hadapan mereka.
Maelon tidak bergerak. Tangannya menggenggam tombak besi karatan yang sudah tak utuh, namun saat ini menjadi satu-satunya batas antara dirinya dan kehancuran. Tubuhnya masih menyimpan jejak kekuatan yang meledak dalam ritual tiga hari—tapi kekuatan itu belum sepenuhnya menyatu, masih berdenyut liar di balik otot dan tulangnya, seperti api yang belum jinak. Napasnya berat. Ia tidak tahu nama mereka. Tidak tahu kekuatan apa yang mengalir dalam urat-urat mereka. Tapi ia tahu satu hal: mereka bukan manusia biasa.
Dan kemudian, satu dari mereka maju. Topengnya memanjang seperti tengkorak binatang. Tangan kirinya dilapisi sesuatu yang tampak seperti kulit bayangan—seperti asap yang membeku dalam bentuk. Tanpa bicara, pria itu menjejak tanah, dan bayangan hitam tiba-tiba menjalar dari kakinya, menyusur tanah dengan kecepatan yang membuat bulu kuduk berdiri. Bentuknya seperti tangan—panjang, lentik, kelam, mengarah ke kaki Maelon dengan keinginan untuk menjerat.
Maelon tetap diam. Tak melompat. Tidak panik. Ia mengamati arah gerakan, dan saat cengkeraman itu nyaris mencapainya, ia melemparkan bola cahaya kecil ke tanah. Cahaya biru-putih itu bukan ledakan, bukan serangan. Hanya satu kilatan yang menyayat kegelapan dengan terang yang terlalu murni.
Sosok bayangan itu terkejut. Ia memekik—suara sumbang yang tidak terdengar manusiawi. Dalam sepersekian detik kebutaan itu, Maelon bergerak. Tubuhnya meluncur seperti anak panah, dan tombak besinya menembus dada sosok bertopeng bayangan itu dengan suara retak yang dalam. Tidak ada darah. Hanya kabut hitam yang mengalir dari luka itu, menguap seperti nyawa yang menolak dikenali. Tubuhnya ambruk perlahan, dan bayangannya lenyap begitu saja.
Tangan Maelon bergetar. Bukan karena takut. Tapi karena kesadarannya bahwa itu hanya satu dari enam.
Dan sekarang lima pasang mata menatap padanya dari balik topeng. Dunia seolah memampat.
Dan mereka... hanya menonton.
Lima makhluk bertopeng itu berdiri kaku setelah satu dari mereka jatuh bersimbah darah. Tidak ada teriakan. Tidak ada kemarahan. Hanya keheningan yang mendadak terasa seperti ruang ritual—hening bukan karena damai, tapi karena sedang berlangsung penilaian. Maelon bisa merasakan itu. Mereka mengamati. Mengukur. Seolah-olah kematian satu dari mereka bukan kehilangan, tapi data—fragmen untuk memahami seberapa jauh Aetheron telah berkembang dalam tubuh bocah bernama Maelon Herlambang.
Bayangan dari kelima makhluk bertopeng itu kini mengelilingi Maelon sepenuhnya—seperti cincin eksekusi yang menutup rapat, menyisakan hanya satu titik di tengah: dirinya. Nafasnya memburu, bukan karena panik, tetapi karena tubuhnya, yang masih muda dalam kekuatan Aetheron, mulai kelelahan dari bentrokan sebelumnya. Cahaya putih-biru di ujung jarinya berdenyut tak stabil, berusaha menyesuaikan ritmenya dengan detak jantung yang mulai kacau.
Yang bertopeng tengkorak binatang masih berdiri di depan, tubuhnya dilingkupi kabut samar yang menyerupai bisikan kenangan. Dari tangannya, sesuatu menjuntai: bukan kain, bukan bayangan, tapi semacam emosi yang mengental menjadi bentuk fisik. Tangan itu memanjang ke arah Maelon, menyentuh tanah, dan perlahan menjalar dalam bentuk jemari panjang seperti milik arwah yang tersesat dalam mimpi buruk. Ini adalah Vitravale—Doctrina ilusi dan emosi—dan sekarang wujudnya menyentuh dunia nyata dengan niat yang tidak bisa dijelaskan oleh logika.