Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Di dalam ruang pendisiplinan lagi, Miska duduk di kursi kayu di depan meja panjang, di mana Ustadzah Siti dan Ustadzah Laila duduk berhadapan dengannya.
Sementara Zoya, ia berdiri di dekat pintu dengan ekspresi puas, seolah menikmati hukuman yang akan diterima Miska.
Miska sendiri tampak malas, sambil bersandar di kursi dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap jendela di samping ruangan, seraya memperhatikan cahaya matahari yang mulai redup.
Kini, Ustadzah Siti menatap Miska dengan tajam seakan berusaha untuk tetap sabar atas tingkah Miska itu. Ia melipat tangannya di atas meja sebelum akhirnya bicara.
"Miska, ada apa lagi ini? Sepertinya kamu bermasalah terus di sini?," tanyanya.
Namun, Miska tidak langsung menjawab. Ia masih malas bicara, dan merasa tidak perlu menjelaskan apa pun. Toh, baginya, semua orang sudah punya asumsi buruk tentangnya.
"Miska, jika ada masalah, kamu bisa cerita ke Ustadzah. Kami di sini bukan musuhmu, Nak," tambah Ustadzah Laila yang duduk di samping Ustadzah Siti, mencoba mengambil pendekatan dengan lebih lembut.
Sekilas, hati Miska terasa bergetar saat mendengar kalimat itu. Tapi, ia segera menepis perasaan itu dan menatap lurus ke depan, lalu berkata, "Masalahnya, aku gak mau tinggal di pesantren ini, Ustadzah."
Kedua Ustadzah itu pun bertukar pandang.
"Aku masuk ke sini karena Umi dan Abi yang memaksa. Aku gak pernah minta, aku gak pernah setuju. Dan aku juga gak selalu mencari masalah… hanya saja, masalah selalu mencariku," lanjut Miska.
"Huh!," dengus Zoya yang masih berdiri di dekat pintu, tapi tidak berani bersuara di depan para ustadzah.
"Miska, sayang… setiap orang punya ujian hidup masing-masing. Mungkin ini ujian dari Allah buat kamu, untuk mengajarkan sesuatu yang lebih besar. Apa kamu tidak mau mencoba melihat ini dari sisi yang berbeda?," tutur lembut Ustadzah Laila.
"Sisi yang berbeda?," tanya Miska sambil tertawa sinis. "Yang berbeda gimana, Ustadzah? Sejak aku datang ke sini, orang-orang langsung menilaiku buruk. Aku dijauhi, ditertawakan, dihukum. Lalu aku harus lihat ini sebagai ujian yang baik?."
Mendengar ujaran Miska, Ustadzah Siti mengerutkan keningnya, tapi tetap menjaga ketenangannya.
"Miska, pesantren ini bukan tempat untuk bersenang-senang seperti di luar. Di sini kamu dididik untuk jadi pribadi yang lebih baik, untuk bekal dunia dan akhirat?," jelasnya.
Miska menghela napasnya, lalu melirik jam dinding seolah ingin segera keluar dari ruangan ini.
"Miska, sayang… kamu tau kenapa orang tuamu memasukkan kamu ke sini?," tanya Ustadzah Laila.
"Tentu saja aku tau. Mereka ingin aku jadi ‘anak baik’, bukan ‘anak bandel’ seperti yang mereka pikirkan selama ini," jawab Miska seraya tersenyum getir.
"Tapi apa salahnya jadi anak yang lebih baik, Nak," tanya Ustadzah Laila. Tapi Miska tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah meja.
"Kita hidup di dunia ini sementara, Miska. Kita semua sedang berjalan menuju akhirat. Apa yang kamu pelajari di sini bukan untuk mengekangmu, tapi untuk menyelamatkanmu. Umi dan Abi mu ingin yang terbaik untukmu. Apa salah mereka jika ingin kamu lebih dekat dengan Allah?," nasihat Ustadzah Laila.
Miska menggigit bibirnya. Hatinya sedikit goyah, tapi egonya masih terlalu besar untuk mengakuinya.
Ia lalu menggeser kursinya ke belakang dan berdiri.
"Apa aku bisa pergi sekarang?," tanyanya, malas.
"Duduk dulu, Miska. Ustadzah belum selesai," jawab Ustadzah Siti.
"Apa lagi sih? Buang-buang waktu saja," gerutu Miska pelan, tapi akhirnya duduk kembali.
"Kami ingin kamu merenungkan ini. Kami tidak akan memaksamu untuk berubah dalam waktu yang singkat. Tapi, jangan sia-siakan waktu yang Allah berikan untukmu di tempat ini. Setiap detik adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan-Nya," lanjut Ustadzah Laila.
Namun Miska hanya tetap diam. Ia hanya menatap meja di depannya, tapi nampak berpikir.
Apakah pesantren benar-benar hanya tempat hukuman baginya? Ataukah ini memang kesempatan yang tidak pernah ia lihat?
Tapi, meskipun hatinya sedikit tergerak, Miska masih belum siap mengakui itu.
"Boleh aku pergi sekarang?," tanyanya lagi.
Akhirnya, Ustadzah Laila pun mengangguk pelan dan berkata,
"Kembali ke asramamu, Nak. Tapi, renungkan kata-kata kami."
Tanpa banyak bicara, Miska pun bangkit dan keluar dari ruangan itu.
"Hah! Gak ada hukuman? Ck, enak banget hidup kamu!," sindir Zoya yang berdiri di luar seraya menatapnya remeh.
Miska hanya meliriknya sekilas lalu menjawab, "Buat apa gue kena hukuman? Gue gak rugi apa-apa." katanya dingin, lalu melangkah pergi.
"Huh! Dasar gadis pembuat onar!!!."
BERSAMBUNG...