“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Cemburu?
“Aku tak ingin mendengar apapun lagi darimu!” Laras menepis bayangan keraguan di hatinya. “Seperti apapun pernikahanku, itu bukan urusanmu. Aku telah menjadi istri pria lain—sah di mata hukum dan agama. Dan pernikahan bukanlah permainan. Dengan terus mengejarku, itu hanya akan menjatuhkan harga dirimu... dan membuat posisiku semakin sulit. Kumohon... biarkan aku menjalani hidup yang telah kupilih.”
Bayu ingin bicara, tapi Laras sudah memutar tubuhnya dan melangkah cepat menjauh.
Langkahnya goyah. Dadanya terasa seperti diremas. Napasnya berat, tapi ia terus berjalan tanpa menoleh.
Karena kali ini, ia memilih menjadi tameng bagi cinta yang tak bisa ia miliki.
Bayu berdiri diam. Napasnya menggantung di dada, tatapannya kosong menatap punggung Laras yang menjauh.
Ada gemuruh di dadanya. Seperti pecahan kaca yang tak bisa disatukan lagi.
Ia ingin berteriak. Ingin berlari mengejarnya. Tapi kata-kata Laras menancap dalam-dalam seperti pisau: “Jangan rendahkan dirimu... Kau layak bahagia... bukan denganku.”
Dan untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka—Bayu merasa kalah. Bukan karena dia menyerah. Tapi karena dia tahu... cinta tak selalu cukup.
Tangannya mengepal. Pandangannya berkabut.
Bagi dunia, mungkin Laras hanyalah wanita biasa. Tapi bagi Bayu... Laras adalah satu-satunya yang mencintainya tanpa syarat, tanpa melihat siapa dirinya.
Dan hari ini... dia harus belajar melepaskan cinta yang selama ini ia perjuangkan mati-matian.
RUMAH EDWARD – MALAM
Pintu rumah dibanting terbuka. Laras baru pulang, wajahnya masih menyimpan sisa-sisa luka dari pertemuannya dengan Bayu, tapi langkahnya mantap.
Edward sudah menunggunya di ruang tamu. Berdiri dengan tangan mengepal, matanya merah, rahangnya mengeras.
“Kau masih berani menemuinya?” desis Edward.
Laras berhenti di ambang pintu, menatapnya datar.
“Itu pertemuan terakhir kami.”
Edward tertawa pendek—sarkastik, getir. “Dan aku harus percaya begitu saja?”
“Percaya atau tidak, terserah kau. Tapi aku menemuinya untuk menyudahi semuanya. Kau tak perlu cemburu.”
Kata “cemburu” seperti pisau yang menusuk jantung Edward. Wajahnya mengeras, tapi matanya berkedip tak stabil.
“Aku tidak cemburu.”
Laras mengangkat alisnya, tersenyum miring. Sinis. Pedih. Tapi kuat.
“Lucu. Karena kau terlihat sangat... terbakar.”
Edward melangkah cepat ke arahnya, emosinya menggelegak. “Jangan menguji aku, Laras."
“Tenang saja. Tak ada yang perlu diuji. Aku hanya ingin kau tahu, aku tahu... kau takut kehilangan sesuatu yang bahkan kau klaim tak berarti bagimu.”
"Aku marah karena harga diriku diinjak. Apa kata dunia kalau tahu istri Edward Setiawan diam-diam menemui pria lain? Aku bukan hanya kehilangan muka, Laras—aku kehilangan kendali."
Laras menatapnya tajam. “Kau takut karena dia... mencintaiku. Dan aku... mencintainya. Tapi aku meninggalkannya. Demi siapa? Demi seorang pria yang hanya ingin menaklukkanku karena egonya terluka.”
Edward mendesis, wajahnya kini merah padam. “Cukup!! Omong kosong dengan cinta! Jangan bawa-bawa perasaan basi itu!”
Laras melangkah pelan, melewatinya. Tapi sebelum naik tangga, ia menoleh dan berkata dengan nada tenang yang justru semakin menusuk.
“Tenang saja, Edward. Kau menang. Tapi itu tidak akan pernah membuatmu puas. Karena kau bisa memiliki tubuhku, tapi tidak hatiku.”
Edward berteriak. “LARAS!!”
Laras hanya menatapnya sebentar—penuh luka, tapi juga ketegasan—lalu naik ke lantai atas, membiarkan Edward berdiri di tengah ruangan, mematung dalam amarah dan rasa kalah yang tidak bisa ia akui bahkan pada dirinya sendiri.
Edward mengangkat vas bunga di dekatnya, lalu melemparkannya ke dinding hingga pecah.
Ia menarik rambutnya kasar, mengusap wajah penuh emosi yang tak bisa ia jelaskan.
"Apa aku takut kehilangannya?" Ia tertawa pendek, sinis, namun suara tawanya pecah di ujung. "Lucu. Padahal aku selalu bilang, dia bukan siapa-siapa. Hanya istri di atas kertas. Seharusnya mudah... seperti semua hal lain dalam hidupku."
Edward berjalan perlahan ke arah jendela, memandangi gelap malam yang tak memberinya jawaban.
"Tapi setiap kali dia bicara tentang pria itu, matanya berubah. Ada cahaya yang tak pernah ia beri untukku. Dan itu menyakitkan. Padahal aku—" Ia menghentikan ucapannya, mengatupkan rahangnya kuat.
"Ini bukan cinta. Ini bukan cemburu. Ini hanya harga diriku yang terusik... 'kan?" Bisiknya, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun di dalam hatinya, ia tahu. Ada sesuatu yang telah berubah sejak Laras hadir. Ia hanya terlalu angkuh untuk mengakuinya.
Di Kamar Laras
Laras menutup pintu kamarnya pelan. Tidak ada suara bantingan, tidak ada tangisan keras. Hanya keheningan. Seperti jiwanya yang perlahan-lahan memudar setiap harinya.
Ia bersandar di balik pintu, membiarkan tubuhnya meluncur turun, duduk di lantai yang dingin. Senyum pahit menghiasi wajahnya—senyum yang tidak punya tempat untuk bahagia, hanya menjadi simbol bahwa ia masih bisa bertahan.
"Sudah cukup, Laras. Kau sudah membuatnya pergi. Itu yang kau mau, 'kan? Kau ingin dia hidup bahagia tanpa beban sepertimu."
Ia menunduk, menatap tangannya yang masih sedikit gemetar. Bukan karena lelah... tapi karena sakit. Sakit menahan perasaan yang ia kubur hidup-hidup.
"Bayu pantas dapatkan yang lebih baik. Bukan wanita cacat dengan tubuh yang rapuh dan luka di jiwa. Aku cuma akan membuatnya menderita kalau tetap ada di sisinya. Jadi lebih baik seperti ini… Lebih baik dia membenciku, daripada harus hidup bersama wanita cacat sepertiku yang tak bisa memberinya keturunan."
Air mata jatuh satu per satu, tanpa isakan. Tangis yang sunyi, seperti luka yang sudah terlalu lama tinggal dalam diam.
Laras mengusap wajahnya kasar. Ia bangkit, melangkah ke meja rias, menatap bayangan dirinya di cermin.
Wajah yang tampak tenang, tapi matanya—mata itu sudah lama kehilangan cahaya.
Dan ketika suara langkah kaki Edward membuyarkan kesunyian, Laras menarik napas panjang. Badai belum usai.
“Jadi sekarang dia bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya,” gumam Laras dengan nada sarkastik.
"Aku tahu dia marah bukan karena cinta. Tapi karena ego yang terluka. Karena dia tak suka kalah. Karena dia tak bisa menerima kenyataan bahwa pria yang tak punya apa-apa bisa memiliki hatiku... sedangkan dia yang punya segalanya, bahkan tak bisa menyentuhku."
Laras tertawa kecil, getir.
"Biarlah dia marah. Biarlah dia merasa terhina. Tapi aku tak akan jadi boneka yang tunduk di bawah kaki pria seperti Edward. Aku tak mau hidup dalam kendali orang lain."
Ia memalingkan wajah dari cermin.
Malam ini ia menang. Tapi entah sampai kapan kemenangannya bisa bertahan sebelum ia hancur sendiri oleh luka yang ia sembunyikan.
***
Bayu membiarkan mobilnya melaju pelan tanpa tujuan. Jalanan lengang, lampu kota berpendar samar di kaca depan. Tapi yang benar-benar memenuhi pandangannya hanyalah sosok Laras—dengan mata berkaca-kaca dan suara yang memohon untuk ditinggalkan.
"Aku harus berhenti... katanya. Harus berhenti karena dia istri orang. Karena dia rusak. Karena aku layak dapat yang lebih baik."
Bayu tersenyum miring, pahit.
"Sial. Dia bilang aku pantas dapat wanita yang lebih baik. Tapi bagaimana jika dia sendiri satu-satunya yang kuanggap cukup? Yang kuanggap segalanya?"
Pikirannya kembali memutar sorot mata Laras. Dingin, tapi penuh luka. Tegas, tapi bergetar. Ia tahu mata itu tak bisa bohong. Cinta masih ada di sana. Tapi Laras memilih menguburnya hidup-hidup.
"Dia keras kepala. Terlalu keras bahkan untuk menyakiti dirinya sendiri."
Bayu menggenggam kemudi lebih kuat. Ada getir yang menyesakkan di dada, rasa tak berdaya yang menelanjangi semua harapan yang sempat tumbuh.
"Dia memilih bertahan demi harga diri. Demi martabat. Demi... aku? Tapi kenapa pengorbanannya terasa seperti penghinaan? Seolah aku terlalu lemah untuk menanggung cinta yang patah."
Ia menoleh ke kanan, jendela menampilkan bayangannya sendiri. Lelah. Kosong. Pria yang berdiri tadi siang penuh keyakinan kini hanya tinggal sisa-sisa.
"Laras pikir aku akan aman tanpa dia. Tapi dia salah. Aku hancur... karena dia."
Bayu menghela napas berat, matanya memanas. Tak ada air mata yang jatuh, hanya diam yang menggantung terlalu lama.
"Kalau cinta harus berarti pergi, aku sudah kehilangan sejak awal. Tapi... bagaimana jika aku tak bisa berhenti mencintainya? Bagaimana jika aku tetap menunggu, meski tak pernah dijanjikan apa pun?"
Ia membanting kemudi ke kiri, menepi. Menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Malam menelannya dalam sepi.
"Laras bilang, pernikahan bukan permainan. Tapi bagaimana jika hidupnya adalah taruhan... dan dia yang selalu kalah?"
Bayu memejamkan mata.
"Aku akan berhenti. Mungkin. Tapi bukan karena aku ingin. Hanya karena dia memintaku dengan air mata yang tak pernah sekalipun ia izinkan jatuh di depanku sebelumnya."
Diam.
Hening.
Dan di antara desir hujan yang mulai turun, satu kalimat menggema dalam batinnya:
"Kalau mencintaimu berarti melepaskan... maka izinkan aku mencintaimu dari kejauhan, seumur hidupku."
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka