NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 Kejadian Aneh

Setelah cukup lama menikmati keindahan taman bunga, Clara dan Herald berpindah ke sebuah bangunan kecil yang terletak di dalam taman. Bangunan itu merupakan tempat peristirahatan bagi para pengunjung yang ingin melepas lelah setelah berjalan-jalan atau sekadar menikmati panorama tanpa harus terpapar terik matahari.

Clara duduk di sana dengan ekspresi penuh kebahagiaan, tangannya menggenggam beberapa tangkai bunga beraneka bentuk dan warna. Di seberangnya, Herald memperhatikannya dengan seksama, seolah ingin mengabadikan keindahan yang terpancar dari wajah gadis itu dalam ingatannya.

Tidak sia-sia ia membawa Clara ke tempat ini. Misinya menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Kurasa ini sudah cukup. Hari ini aku telah membuat kemajuan besar. Sekarang, yang perlu kulakukan adalah membantunya beradaptasi dengan lingkungan barunya ini.

Herald menyadari bahwa meskipun perkembangannya terasa menggembirakan, dia tidak bisa memaksakan semuanya sekaligus. Butuh waktu agar Clara benar-benar bisa menyesuaikan diri. Jika tidak, ada kemungkinan gadis itu akan kembali terjebak dalam dunianya yang sepi, kembali mengurung diri dalam kamar. Adaptasi adalah kunci. Jika Clara bisa merasa nyaman dengan lingkungannya, maka perubahan ini tidak akan sia-sia.

Di saat Clara masih sibuk dengan bunga-bunga di tangannya, ia menyadari sesuatu—sepi. Tidak ada suara. Herald yang biasanya berbicara atau berkomentar kini hanya diam. Meskipun begitu, Clara tahu dia masih ada di sana. Keberadaannya terasa, tetapi tanpa suara.

Kenapa Herald tidak berbicara sama sekali? Apakah dia sedang melamun?

Clara mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Herald sebelum akhirnya bertanya, "Herald… apakah kamu sedang memikirkan sesuatu?"

"Eh? Tidak, bukan apa-apa. Aku tidak memikirkan apa pun. Jangan khawatir," jawab Herald cepat, seolah baru saja tersadar dari lamunannya.

Menyadari bahwa diamnya tadi mungkin membuat Clara merasa sendirian, Herald segera mengubah suasana. Dengan sedikit canggung, ia bertanya, "Jadi, Clara… bagaimana menurutmu? Apakah kamu menikmati semuanya?"

Seketika, Clara tersenyum. Senyuman yang begitu tulus, dipermanis oleh lesung pipit yang muncul di kedua sisinya. Seolah cahaya kecil menyinari wajahnya yang selama ini lebih banyak tertutup bayangan.

"Mm! Aku sangat menikmatinya," jawabnya dengan antusias.

Senyuman itu seketika menghantam perasaan Herald. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan tanpa sadar, tubuhnya sedikit mundur, terkejut oleh efek yang ditimbulkan senyum itu padanya.

Clara kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih dalam. "Aku merasa hari ini adalah hari terbaik yang pernah kualami setelah sekian lama mengurung diri di kamar. Untuk sesaat, aku bahkan mulai melupakan kekuranganku ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa ada cara lain untuk menikmati dunia ini. Dunia yang selama ini kupandang gelap… sekarang mulai berwarna."

Di dalam benaknya, ia mulai membayangkan warna-warna yang sebelumnya hanya bisa ia dengar dari orang lain. Merah yang membara, biru yang menenangkan, ungu yang elegan, kuning yang ceria—semuanya membentuk garis-garis yang saling terhubung, menciptakan pola yang indah dalam imajinasinya.

Meski matanya tidak dapat melihatnya, Clara kini bisa "merasakan" warna-warna itu.

Ia mengangkat wajahnya ke arah Herald, tepat di tempat di mana ia tahu pemuda itu duduk. Masih dengan senyum yang sama, ia berbisik lembut, "Semua ini berkatmu. Terima kasih, Herald."

Senyuman itu begitu tulus, begitu indah. Mata Clara yang tertutup menambah kesan damai pada wajahnya. Herald menatapnya dalam diam, tubuhnya membeku, pikirannya kosong sejenak.

Senyuman itu…

Sebuah kebahagiaan yang murni terpancar dari seorang gadis yang perlahan menemukan kembali cahayanya.

[Sial, kenapa dia begitu cantik saat tersenyum? Apakah ini yang disebut dengan senyuman yang diimpikan oleh semua orang di sini?]

Sekali lagi, Herald terdiam. Bukan karena tidak bisa menjawab, tetapi karena pikirannya masih terjebak dalam lamunannya. Ia baru saja menyaksikan sesuatu yang seharusnya dilihat oleh semua orang di mansion ini—senyuman tulus Clara. Kini, dia memahami alasan mengapa semua orang ingin melihat Clara tersenyum.

"Oi, Herald! Apa kau mendengarkan?" Clara bertanya dengan ekspresi cemberut.

Suara itu menarik Herald kembali ke kenyataan. Ia tidak menyadari bahwa telah melamun begitu lama hingga membuat Clara kesal. Padahal, gadis itu baru saja mengucapkan 'terima kasih' dengan begitu tulus, namun ia malah terdiam, tidak memberikan respon apa pun. Senyuman yang begitu jarang muncul kini telah menghilang, digantikan oleh ekspresi cemberut.

"Oh, maaf, Clara. Aku tadi melamun," ucapnya buru-buru.

Clara menyilangkan tangan di dadanya dan menatapnya tajam. "Hmp! Kenapa denganmu, Herald? Dari tadi kau hanya melamun. Katakan, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tidak ada apa-apa kok. Aku tidak sedang memikirkan sesuatu yang tidak penting. Yang terpenting adalah kau menikmati hari ini."

"Hee, begitu, ya...?" Clara masih mengerutkan dahinya, menatap Herald dengan penuh selidik. Namun, beberapa detik kemudian, dia menghela napas dan berkata, "Hm, baiklah."

Herald diam-diam menghela napas lega. Syukurlah, Clara tidak bertanya lebih lanjut.

Namun tiba-tiba, gadis itu kembali berbicara sambil meraba beberapa bunga di dekatnya. "Ngomong-ngomong soal bunga ini... Herald, apa kau punya bunga favorit?"

Mendengar pertanyaan itu, Herald sedikit terkejut. Mungkin Clara ingin tahu selera bunga seorang lelaki seperti dirinya. Tidak ada salahnya membahas hal ini.

"Hmm, bunga yang paling kusukai..." Herald berpikir sejenak. Dia tidak pernah benar-benar memikirkan bunga favoritnya. Baginya, semua bunga yang indah dipandang mata sudah cukup. Semua bunga yang Clara pegang dan yang tumbuh di taman ini sama baginya—tidak ada yang lebih istimewa dari yang lain.

Namun, tiba-tiba sebuah kenangan muncul dalam benaknya. Bunga yang pernah ia lihat di desa. Bunga yang melayang terbawa angin, menciptakan pemandangan yang memukau dan membekas dalam ingatannya.

"Sepertinya ada..." gumamnya pelan.

Herald pun bangkit dan mulai berjalan mengitari tempat persinggahan itu, mencari sesuatu.

Melihat kepergian Herald, Clara memanggilnya. "Herald, kau mau ke mana?"

"Tunggu saja di situ. Aku akan segera kembali," jawabnya tanpa menoleh, terus melangkah menjauh dari taman.

**

Sepuluh menit berlalu, tetapi Herald belum juga kembali. Clara yang masih duduk di sana mulai merasa bosan. Ia tidak tahu ke mana Herald pergi, tetapi rasanya sudah cukup lama.

[Kemana sih dia? Kenapa lama sekali?]

Ia tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Kini ia hanya duduk menunggu, merasa sedikit gelisah. Namun, tak lama kemudian, Herald akhirnya muncul kembali.

"Clara, aku kembali," katanya sambil membawa sesuatu di tangannya.

Perasaan risi Clara pun perlahan menghilang. Ia segera menoleh ke arah Herald dan berkata, "Kau ke mana saja, Herald? Lama sekali."

Herald duduk kembali di dekatnya, lalu menyerahkan sekumpulan bunga yang ia bawa. "Yah, maaf, maaf. Aku tadi mencari bunga ini. Aku menemukannya di ujung taman, jadi agak lama."

Clara menerima bunga itu dan mulai merabanya dengan jemarinya. Sambil menyentuh kelopaknya, ia bertanya, "Jadi, apa nama bunga ini?"

"Dandelion."

Saat tangannya menyentuh bunga itu lebih lama, tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi. Clara merasakan sesuatu yang tidak biasa.

[Eh, apa aku tidak salah? I-ini kan…]

Tanpa ia sadari, saat meraba bunga itu, ia bisa melihat bentuknya. Walaupun tidak begitu jelas, tetapi gambaran bunga itu terlintas dalam benaknya. Pandangan yang selama ini gelap perlahan mulai berwarna.

[Kok aku bisa melihat bunga ini?]

Clara terdiam, kedua matanya membelalak. Ia bisa melihat sesuatu—sekumpulan tangkai bunga kecil berwarna putih, dengan bulu-bulu halus yang menempel di setiap bijinya. Gambaran itu jelas tergambar dalam benaknya, seolah-olah matanya menangkapnya secara langsung.

Herald yang duduk di sebelahnya mulai menyadari keanehan yang terjadi. "Clara, ada apa? Kenapa kau terlihat aneh?"

Clara bergumam, tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. "Herald... kenapa aku bisa melihat bunga ini?"

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!