Follow IG @ersa_eysresa
Bagaimana jika kekasih yang kamu cintai ternyata bermain hati dengan adikmu. Dan di hari pertunanganmu dia membatalkan pertunangan kalian dan mempermalukanmu dengan memilih adikmu untuk dinikahi.
Malu sudah pasti, sakit dan hancur menambah penderitaan Rayya gadis berusia 23 tahun. Gadis cantik yang sudah mengalami ketidakadilan di keluarganya selama ini, kini dipermalukan di depan banyak orang oleh adik dan kekasihnya.
Namun di tengah ketidakadilan dan keterpurukan yang dia alami Rayya, muncul sosok pangeran yang tiba-tdi berlutut di depannya dan melamarnya di depan semua orang. Tapi sayangnya dia bukanlah pangeran yang sebenarnya seperti di negeri dongeng. Tapi hanya pria asing yang tidak ada seorangpun yang mengenalnya.
Siapakah pria asing itu?
Apakah Rayya menerima lamaran pria itu untuk menutupi rasa malunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Mama Mertua
Dengan penuh keraguan, Rayya memasuki rumahnya. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Dia sangat takut jika harus menghadapi kenyataan pahit. Kenyataan bahwa suaminya, Saka, berselingkuh.
Rasa trauma masih membekas dalam dirinya. Kemarin, putra calon tunangannya berpaling darinya di hari pertunangan mereka dan malah memilih adiknya sendiri. Luka itu belum sepenuhnya sembuh, dan dia tidak ingin mengalaminya lagi untuk kedua kali.
Hari ini, seperti biasa, dia pulang setelah setengah hari bekerja di toko rotinya. Seharusnya ini menjadi hari yang menyenangkan karena perabotan yang dia beli kemarin akan segera diantar. Namun, suasana hatinya berubah saat dia mendengar suara tawa perempuan dari dalam rumah.
Jantungnya berdegup kencang.
Apakah ini berarti Saka benar-benar berselingkuh?
Dia menelan salivanya dengan susah payah, mencoba menenangkan diri, tetapi tubuhnya menegang. Jelas terdengar suara seorang wanita bersama Saka. Mereka berbicara dengan akrab seolah sudah lama mengenal satu sama lain.
"Apa-apaan ini, kuat-kuat. Kamu harus kuat menghadapi semua ini Rayya. Kamu sudah sejauh ini, jangan sampai kamu jatuh karena ini. " Rayya bicara pada dirinya sendiri dan mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Perasaan takut dan cemas menyelimuti dirinya. Apakah selama ini Saka hanya berpura-pura baik padanya? Apakah dia hanya dipermainkan lagi?
Dengan langkah ragu, Rayya mendekati ruang tamu. Namun, saat dia melihat sosok wanita itu, matanya membulat sempurna.
Wanita itu adalah pelanggan setianya!
Wanita yang selama ini sering datang ke toko rotinya. Wanita paruh baya yang selalu membeli kue dan roti, serta tidak mudah percaya dengan gosip buruk yang menyebar tentang tokonya.
Saka, yang baru menyadari kedatangan Rayya, tersenyum lebar. Dia berdiri dari kursinya dan mendekat.
"Sayang, kau sudah pulang?" tanyanya lembut.
Namun, Rayya masih terkejut. Pandangannya bergantian menatap Saka dan wanita paruh baya itu.
"Mas… siapa wanita ini?" tanyanya dengan suara bergetar.
Saka tersenyum dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang yang sangat penting dalam hidupku."
Wanita itu berdiri, lalu menatap Rayya dengan ekspresi hangat.
"Rayya, aku adalah Mamanya Saka," katanya lembut.
Rayya terkejut. "M- Mama?"
Mama Saka tersenyum lebar. "Aku sama sekali tidak menyangka bahwa pemilik toko roti yang selama ini menjadi langgananku ternyata adalah menantuku sendiri." ucapnya sambil terkekeh.
Rayya diam membeku di tempat.
Jadi, wanita yang mendukungnya tadi, yang tidak percaya pada gosip buruk tentang tokonya, yang tetap membeli roti dan kuenya meskipun banyak pelanggan lain menjauh, ternyata adalah ibu mertua yang bahkan belum pernah dikenalkan oleh Saka!
"Ini benar-benar kebetulan yang luar biasa," lanjut Mama Saka dengan tawa kecil.
Rayya masih belum bisa berkata apa-apa. Perasaan lega bercampur dengan malu karena telah mencurigai suaminya sendiri.
"Perkenalkan namaku Lilian, orang-orang memanggilku Mama Lina. Aku sangat bahagia mengetahui bahwa wanita yang telah menjadi istri anakku adalah seseorang yang berbakat dan pekerja keras," tambah Mama Saka dengan penuh kebanggaan. "Aku selalu menyukai semua makanan di toko rotimu. Roti dan kuenya memiliki cita rasa yang istimewa. Dan sekarang aku semakin bangga karena tahu siapa orang di baliknya."
Rayya menundukkan kepala, merasa terharu. "Maafkan aku, aku sempat berpikir yang tidak-tidak–"
Saka tertawa kecil dan menarik Rayya ke dalam pelukannya. "Aku mengerti. Kau masih trauma dengan yang kemarin. Tapi, aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu padamu."
Rayya menatap suaminya, dan kali ini dia melihat sesuatu yang berbeda di mata Saka, keyakinan yang begitu dalam.
"Jadi, kapan kau akan mengenalkanku pada orang tuamu yang lain?" tanya Rayya setengah bercanda, mencoba mengalihkan rasa malunya.
Saka tertawa. "Sebentar lagi. Tapi sepertinya, Mama sudah lebih dulu menemukanku daripada aku yang mengenalkanmu padanya."
Mereka bertiga tertawa bersama.
Hari itu, tidak hanya perabotan baru yang mengisi rumah mereka, tetapi juga rasa kehangatan dan kebersamaan yang semakin erat antara mereka. Rayya belajar bahwa tidak semua orang akan mengkhianatinya, dan Saka membuktikan bahwa dia adalah pria yang bisa dipercaya.
Dan yang paling mengejutkan, ternyata dunia ini memang kecil. Hingga seorang pelanggan setia bisa menjadi bagian dari keluarga sendiri.
************
Di tempat lain, Putra melangkah gontai memasuki rumahnya. Tubuhnya terasa lelah, pakaiannya kusut, dan wajahnya terlihat jauh berbeda dari saat ia meninggalkan rumah kemarin. Seluruh tenaganya seperti telah terkuras habis, meninggalkan dirinya dalam keadaan berantakan.
Dia berharap bisa pulang dan mendapat sambutan hangat dari kedua orang tuanya, setidaknya sedikit ketenangan setelah kekacauan yang terjadi. Namun, yang ia dapatkan justru tatapan tajam penuh kemarahan dari kedua orang tuanya.
Putra ingin melewati mereka, dan menghindari perdebatan yang sudah pasti akan terjadi jika dia tetap disana. Namun, langkahnya terhenti ketika suara bentakan mamanya menggema di ruangan.
"PUTRA!"
Tubuhnya menegang. Perlahan, ia menoleh ke arah sang mama, yang kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya merah padam menahan emosi. Di sampingnya, ayahnya menatapnya dengan sorot mata kecewa.
"Kau tahu kami sudah mendengar semuanya, bukan?" suara mamanya tajam. "Kami tahu tentang penangkapan Livia kemarin. Dan lebih dari itu, kami akhirnya tahu siapa sebenarnya Rayya!"
Putra menelan salivanya, tidak bisa menyangkal atau mengelak.
"Seorang pemilik toko roti terkenal di daerah ini!" lanjut ibunya dengan nada mencemooh. "Seorang wanita berbakat, pekerja keras, dan memiliki reputasi baik! Dan kau–, kau malah membuangnya demi Livia wanita licik yang mencoba menjatuhkan nama baik toko milik Rayya. "
Putra menundukkan kepala. Dia tahu dirinya bersalah.
"Kau benar-benar bodoh, Putra," kali ini papanya yang berbicara. Suaranya tidak sekeras sang mama, tetapi penuh kekecewaan yang mendalam. "Kau sudah memilih batu kerikil dan membuang batu berlian yang berharga. Benar-benar bodoh, "
Putra mengepalkan tangannya. Kata-kata itu menyakitkan, tetapi dia tidak bisa membantahnya.
"Dulu kami percaya kau cukup bijak untuk memilih pendamping yang baik," mamanya melanjutkan, suaranya penuh kemarahan dan luka. "Tapi apa yang kau lakukan? Kau berpaling dari Rayya, seorang wanita yang benar-benar mencintaimu, dan malah memilih Livia, wanita yang hanya membawa kehancuran!"
"Dari awal kami sudah tidak setuju dengan caramu menyakiti Rayya di hari pertunangan kalian demi Livia, wanita ular itu. Karena suatu hari nanti kamu akan mendapatkan karma atas perlakuan mu kepada Rayya. Dan lihatlah sekarang, Karma dibayar tunai. "
Putra mengangkat wajahnya, mencoba berkata sesuatu, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya.
"Dan lihat hasilnya sekarang," sang papa menambahkan. "Rayya bahagia dengan kehidupan barunya, dan kau– kau hanya kembali ke rumah dalam keadaan menyedihkan seperti ini."
Putra memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan rasa sakit yang mengoyak dadanya. Dia tahu semua ini adalah kesalahannya. Dia yang membuat pilihan, dan kini dia harus menerima konsekuensinya.
Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah menuju kamarnya, membiarkan ucapan orang tuanya terus bergema di pikirannya. Hari ini, dia menyadari sesuatu yang menyakitkan, bahwa tidak semua kesalahan bisa diperbaiki, dan tidak semua yang telah hilang bisa kembali.