Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emosi yang Tidak bisa Di bendung
Arjuna masih duduk di sudut ruangan, wajahnya penuh amarah dan kehinaan. Borgol di tangannya mengingatkannya pada kelemahannya saat ini—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Si pria meniupkan asap rokoknya dan menatap Arjuna dengan senyum mengejek. "Oke, dewa tampan, sebelum kita lanjut, kenalin dulu. Nama gue Bara."
Wanita di sebelahnya menyilangkan tangan. "Dan gue Kirana."
Arjuna mengangkat alis, tak tertarik dengan identitas mereka. "Apa urusanku dengan nama kalian?"
Bara terkekeh. "Santai, bos. Lu ada di tempat kami, jadi ada baiknya lu tau siapa yang nolongin lu."
Kirana menghela napas dan menatap Arjuna dengan penuh penilaian. "Gue dulunya mahasiswa kedokteran, tapi dunia nggak selalu adil. Hidup keras, dan sekarang gue harus bertahan dengan cara yang nggak biasa."
Arjuna menatapnya dengan sinis. "Manusia memang lemah. Selalu menyalahkan dunia."
Kirana mendengus. "Dewa atau bukan, lu tetep menyebalkan."
Bara tertawa. "Kirana ini punya otak encer, tapi nasibnya sial. Beda sama gue, mantan preman kelas teri yang sekarang kerja serabutan. Nggak ada gelar, nggak ada tujuan. Dunia ini keras, bro. Nggak ada yang peduli seberapa kuat lu dulu, yang penting gimana cara lu bertahan sekarang."
Arjuna mendengus, masih tak tertarik dengan cerita mereka. Namun, ia sadar bahwa jika ingin keluar dari situasi ini, ia butuh mereka—untuk sementara.
Ia mengangkat tangannya yang masih diborgol dan menatap Bara dengan tajam. "Lepaskan ini."
Bara mengangkat alis. "Emangnya kenapa? Lu takut ketahuan polisi lagi?"
Arjuna mendesis. "Aku tidak bisa berada dalam keadaan seperti ini! Ini penghinaan!"
Kirana menyeringai. "Wah, ternyata bukan cuma tampan, tapi juga drama."
Bara menggeleng. "Gua punya kunci, tapi kenapa gua harus percaya sama lu?"
Arjuna menatapnya tajam. "Karena aku tidak butuh tipu muslihat untuk mengalahkan kalian berdua. Bahkan tanpa kekuatanku, aku lebih dari cukup untuk menghadapi manusia biasa."
Bara dan Kirana saling pandang sebelum akhirnya Bara mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kawat kecil.
"Oke, kita lihat seberapa jauh lu bisa dipercaya, Dewa."****"
Bara mulai mengutak-atik borgol itu, sementara Arjuna hanya bisa menahan rasa frustrasinya.
Ia tak menyadari bahwa ini baru awal dari perjalanan yang akan mengubahnya selamanya.
Klik!
Borgol di pergelangan tangan Arjuna akhirnya terbuka. Namun, sebelum Bara sempat menarik tangannya, Arjuna bergerak lebih cepat. Dalam sekejap, ia meluncur ke arah Bara dengan kepalan tangan yang siap menghantam wajah pria itu.
"Hei—!" Bara terkejut, refleks mengangkat lengannya untuk menangkis, tapi Arjuna jauh lebih cepat. Tinju sang dewa mendarat telak di perutnya, membuatnya tersungkur ke belakang dengan batuk tertahan.
Kirana terlonjak dari tempat duduknya. "Arjuna, hentikan!"
Namun, Arjuna tidak peduli. Matanya menyala penuh amarah dan kehinaan. Baginya, ini bukan hanya soal melawan manusia biasa, tapi soal harga dirinya yang diinjak-injak sejak ia jatuh ke dunia fana ini.
Bara mengusap sudut bibirnya yang sedikit berdarah, lalu menatap Arjuna dengan ekspresi campuran antara kaget dan kagum. "Gila, lu beneran kuat..."
Arjuna mendesis. "Kau berani menahanku, manusia rendahan? Aku adalah Arjuna, putra Arka Dewa! Tak ada satu pun manusia yang boleh merendahkanku!"
Kirana mendekat, menatap Arjuna dengan tajam. "Dan sekarang apa? Mau bunuh dia? Mau buktikan kalau lu lebih baik dari kami? Dari manusia yang menurut lu ‘rendahan’?"
Arjuna mendadak terdiam. Ia menatap Kirana, gadis yang baru dikenalnya tapi berani berdiri menentangnya. Suara Kirana begitu tegas, begitu menusuk, seperti sesuatu yang mengingatkannya pada... ibunya.
"Arjuna..."
Suara ibunya kembali bergema dalam pikirannya. Ia teringat bagaimana Dewi Laksmi memohon pada ayahnya untuk memberinya kesempatan kedua. Bagaimana ia memandang Arjuna dengan mata penuh harapan, bukan kemarahan.
Tangan Arjuna yang tadi terkepal perlahan melemah. Ia menghela napas kasar, lalu mundur selangkah.
Bara, masih terduduk di lantai, tertawa kecil sambil mengusap perutnya. "Lu gampang panas, ya? Gue cuma mau nolongin, bro."
Arjuna mendengus, membuang muka ke samping. "Aku tak butuh pertolongan kalian."
Kirana mendecak kesal. "Ya ampun, ini bocah."
Bara berdiri dan menepuk-nepuk bajunya. "Dengar, gue nggak tau siapa lu sebenarnya. Dewa, manusia, alien, setan—gue bodo amat. Tapi kalau lu masih mau selamat di dunia ini, lu butuh orang lain. Percaya sama gue."
Arjuna menatap Bara dan Kirana bergantian. Sebagian dari dirinya masih ingin menolak, tapi di sudut hatinya, ia tahu... mungkin ini awal dari perjalanan yang akan mengajarkannya arti kerendahan hati.
Untuk pertama kalinya, Arjuna tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri diam, membiarkan kata-kata mereka meresap ke dalam dirinya.