Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
“Dek, HP nya bunyi ini, loh.” teriak Wito
Hari telah sore, Wito baru saja selesai mandi setelah pulang dari sawah, saat HP yang berada di atas bufet kecil di dalam kamarnya, berbunyi. Wito memanggil istrinya sedang melipat pakaian di tikar yang digelar di depan TV.
“Eh, iya kah? Tolong bawa sini dong, Mas.” Nina yang sedang sibuk dengan pakaian kering di tangannya, enggan untuk beranjak.
Wito yang baru saja selesai berpakaian pun, segera mengambil HP itu dan membawanya ke depan. “Sudah mati, Dek,” ucapnya seraya mengulurkan ponsel itu yang telah berhenti berdering.
“Siapa yang telepon, Mas?” tanya Nina sambil menerima HP tersebut.
“Dari Bu Ida ini. Nih lihat sendiri saja,” ucap Wito seraya mengulurkan ponsel itu
Nina menerimanya dan menyalakan kembali ponsel yang layarnya telah berubah menjadi hitam. Dan benar, ada nama Ibu Ida di sana. “Bu Ida ngebel jam segini ngapain ya Mas?”
“Ya Mana aku tahu Dek,” jawab Wito sambil mengangkat dua bahunya. “Apa kamu belum bayar arisan? Ini waktunya arisan musim kan?”
Arisan musim adalah arisan yang dikocok satu musim sekali, yaitu di masa panen. Biasanya jaraknya adalah empat bulan sekali, jadi satu tahun akan ada tiga kali pengocokan arisan. Karena dalam satu tahun memang ada tiga kali masa panen.
“Aku sudah bayar kok, Mas. Kemarin aku titipkan sama Mbak Santi,” jawab Nina.
“Ya coba kamu hubungi lagi saja. Siapa tahu ada hal penting,” saran Wito, lalu ikut duduk di tikar, di dekat segunung pakaian yang akan dilipat istrinya. Hanya seragam Agus saja yang akan disetrika oleh Nina, sedang yang lain, cukup dilipat rapi saja.
Nina membenarkan ucapan suaminya. Dia segera membuka aplikasi perpesanan untuk mengirim pesan pada Bu Ida.
“Assalamualaikum Bu. Ibu tadi nelpon ke sini ya? Ada apa ya Bu?”
Pesan segera berubah warna menjadi biru pertanda sudah dibaca, tetapi tidak ada balasan. Malahan ponselnya berdering. Rupanya Bu Ida kembali menelponnya.
Nina pun segera menekan tombol hijau. “Halo, Bu. Assalamualaikum?” sapanya.
“Halo, wa’alaikum salam, Mbak Nina.” suara Bu Ida terdengar ceria di seberang sana.
“Iya Bu Ida. Ada apa ya?” tanya Nina, sedikit gugup.
“Ini, Mbak Nina, aku cuma mau ngabarin, Alhamdulillah, Mbak Nina! Musim panen kali ini rejekimu bagus.”
Kening Nina berkerut mendengar ucapan Bu Ida. Rejeki bagus seperti apa maksudnya? “Maksud Bu Ida gimana, ya?”
“Mbak Nina yang dapat arisan musim ini,” jawab Bu Ida.
Nina tertegun sejenak. Kabar itu begitu mengejutkan. Ia tak menyangka keberuntungan akan berpihak padanya. “Wah, beneran Bu, aku dapet arisan? Alhamdulillah… Terima kasih infonya, Bu.” suaranya bergetar karena tak percaya.
“Iya, Mbak. Terus ini mau dimintai apa arisan nya ini? Mau mebel apa elektronik?”
“Apa ya, Bu, baiknya?”
Arisan musim ini memang tidak diberikan dalam bentuk uang. Yang mendapat giliran, biasanya meminta hasil arisan dalam bentuk mebel atau elektronik, bisa lemari, satu set meja kursi, kulkas, televisi, atau apa saja.
“Ya terserah Mbak Nina mau diminta apa,” jawab Bu Ida.
“Gini aja deh Bu. Aku mau pikir-pikir dulu, apa yang sekiranya bermanfaat. Besok aja Aku ke sana, ya, Bu?” Nina sendiri masih bingung untuk memutuskan.
“Ya udah, oke. Aku tunggu besok ya.”
Nina mengakhiri panggilan telepon, setelah sama-sama saling mengucap salam. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Senang, tapi dia masih bingung.
“Ada apa sih Dek? Kok kelihatannya kamu senang tapi bingung gitu?” Wito yang memang tidak bisa mendengar suara Bu Ida merasa penasaran.
“Ini lho Mas. Musim ini aku dapat arisan, tapi aku bingung mau dimintain apa,” jawab Nina. Barangkali suaminya bisa memberikan solusi atau ide cemerlang.
“Lha Kamu pinginnya apa, Dek? Dulu katanya pingin beli kulkas biar bisa jualan es batu sama es lilin?”
Sambil melanjutkan melipat pakaian, Nina memikirkan ucapan suaminya. Memang benar, dulu Nina ingin punya kulkas. Tapi kalau sekarang…
Nina merasa kulkas tak lagi terlalu penting. Mau jualan es batu juga siapa yang mau beli. Di desa ini sudah banyak yang punya kulkas. Dulu sempat ingin punya satu set meja kursi dari kayu jati seperti punya tetangga. Tapi sekarang keinginan itu sudah memudar.
Di rumah sudah ada meja kursi. Walaupun tidak sebagus punya tetangga yang terlihat mengkilat, tapi itu adalah buatan ayahnya yang memang seorang tukang. Dan itu juga dari kayu jati asli. Ingin terlihat mengkilat tinggal perbarui vernisnya saja.
***
“Aku mau minta mesin cuci saja, Bu.” Saat ini Nina sudah berada di tempat Bu Ida, ketua arisan.
Setelah berpikir masak-masak semalaman, akhirnya Nina memutuskan untuk minta mesin cuci saja. Barangkali dengan begitu dia bisa membuka laundry. Tidak apa kecil-kecilan dulu. Siapa tahu nanti bisa semakin berkembang. Karena di daerahnya memang belum ada yang buka laundry.
Pertimbangan lainnya adalah, para ibu-ibu di desanya adalah para kaum pekerja keras yang biasa berangkat pagi pulang sore. Ada kemungkinan terkadang mereka tidak sempat mencuci karena sudah lelah di sawah.
“Kira-kira kalau yang dua tabung itu harganya berapa, ya? Takutnya uangnya kurang banyak,” tanya Nina lagi.
“Ya macam-macam, Mbak. Tergantung merek dan kapasitasnya,” jawab Bu Ida. “Mbak Nina, maunya yang seperti apa?” tanya Bu Ida kemudian.
“Kalau yang sedang-sedang saja gimana Bu? Ya gak terlalu murah, tapi gak terlalu mahal juga.”
“Ada yang Polytron, dua tabung kapasitas tujuh kilo, harganya satu juta tujuh ratus ribu, Mbak. Kalau yang agak besar, kapasitas sembilan kilo harganya sekitar dua juta, gimana?” Bu Ida memberikan pilihan yang barangkali sudah disesuaikan dengan budget Nina.
“Kalau yang sembilan kilo itu, berarti uangnya kurang lima ratus ribu ya, Bu? Boleh gak kalau itu saja. In Syaa Allah dalam dua musim sudah lunas lah.” Nina akhirnya membuat pilihan. Sebenarnya mau yang satu juta tujuh ratus saja, tapi kalau kapasitas cuma tujuh kilo, kayanya kurang kalau mau buat buka usaha laundry. Walaupun ini juga belum pasti, tapi tetap saja, Bismillah aja dulu, baru Aamiin kemudian.
“Boleh saja, Mbak Nina. Aku sudah hafal lah sama Mbak Nina. Mbak Nina Raportnya kan selalu bagus sejak dulu,” gurau Bu Ida, dan keduanya tergelak bersama.
Akhirnya jadilah Nina memesan mesin cuci itu, yang katanya akan diantar dua hari kemudian, bersama dengan kulkasnya Mbak Ana. Tetangganya yang juga dapat arisan dari kelompok lain.
Setelah semua selesai, Nina pulang dengan hati ringan. Menatap masa depan dengan penuh semangat dan keyakinan. Semua akan menjadi lebih baik atas ijin Allah.
“Bismillah,,,” ucap Nina dalam hati.
duh, wit wit..mulakno to ora usah kakean polah, duwe bojo pinter golek duit kok yo isih bertingkah... ckckck
tak or yak?