"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Setengah jam telah berlalu.
Lingga perlahan membuka mata. Tubuhnya masih terasa berat, tapi napasnya sudah mulai teratur. Ia terduduk di atas batu datar, dikelilingi aroma debu dan kematian yang samar tertiup angin.
"Ah... lumayan setengah jam istirahat..."
Langit kini mulai memucat, tanda malam akan segera berganti fajar. Kabut tipis menggantung di antara puing dan reruntuhan. Suasana masih senyap, seolah dunia pun menahan napas menunggu apa yang akan dilakukan Lingga berikutnya.
Ia menatap cincin di jarinya. Lambang di tengahnya kini berdenyut perlahan pudar, lalu menyala, seperti detak jantung yang sangat pelan.
"Kau di sana, kan? Yang betah yah di dalam sana," gumamnya pelan.
Ia berdiri perlahan. Lalu melangkah beberapa langkah ke tengah tanah lapang, di mana angin tak terlalu kencang dan langit lebih terbuka.
"Baiklah... aku akan mencobanya sekarang."
Ia mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke depan dengan telapak terbuka. Cincin itu langsung merespons dan bergetar ringan, lalu memancarkan semburat cahaya ungu pucat.
Lingga menarik napas dalam.
"Dalam nama cincin Pengekang Tujuh Jiwa... aku perintahkan kau untuk menampakkan dirimu." Ia diam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih tegas.
"Wahai sosok yang mirip iblis... bangkit dan tunjukkan dirimu padaku.”
Hening.
Untuk beberapa detik, tak terjadi apa-apa.
Lalu, tanah tiba-tiba bergetar ringan.
Wush!
Angin berputar pelan, membentuk pusaran kecil di depan Lingga. Dari dalamnya, asap kebiruan mulai muncul, membentuk siluet yang perlahan menjadi semakin jelas.
Tubuh tinggi. Bertanduk. Wajah garang.
Gandhara yang berada dalam bentuk jiwa muncul perlahan di hadapan Lingga. Wujudnya setengah transparan, namun aura kekuatan yang memancar dari tubuhnya begitu nyata hingga membuat bulu kuduk berdiri.
Mata Gandhara kini menyala redup. Ia menatap langsung ke mata Lingga tanpa berkedip.
"Apa kau yang menyerap jiwaku?" tanya Gandhara, suaranya berat, seperti dua batu besar yang bergesekan.
Lingga mengangguk, mencoba menjaga ketenangannya meskipun hatinya berdetak liar.
"Ya. Aku yang tadi menyerapmu dan sekarang aku memanggilmu. Ngomong-ngomong, siapa namamu? Atau bagaimana aku memanggilmu?"
Gandhara menatap sekeliling, lalu kembali menatap Lingga. "Gandhara... panggil saja begitu."
"Ah, baiklah Gandhara. Aku Lingga..."
"Sebelum itu, aku mau memastikan. Kenapa tidak kau bunuh aku sendiri? Kenapa aku tewas oleh tangan orang lain?"
Lingga mengangkat bahu seraya mengernyit. "Mungkin karena aku nyaris mati melawanmu. Orang lain muncul... dan membunuhmu lebih dulu."
Gandhara terdiam. Sorot matanya meredup sesaat.
"Dasar manusia lemah..." gumamnya. "Kau bahkan tak layak menyerapku dan menggunakan kekuatanku... jika kau tak bisa mengalahkanku. Jujur, aku lebih terima jika pendekar tadi yang menyerap jiwaku. Paling tidak, dia terlihat meyakinkan dengan kekuatan yang mampu membunuhku."
Lingga mengepalkan tangan. "Mungkin aku belum cukup kuat waktu itu. Tapi sekarang... kau ada di dalam cincinku. Dan selama jiwamu terikat padaku, kekuatanmu akan kugunakan."
"Hahaha!" Gandhara terkekeh, suaranya seperti gemuruh. "Kau tidak tahu apa yang kau lakukan, manusia. Kekuatan ini... bisa memakan jiwamu."
Lingga melangkah maju satu langkah.
"Aku tahu risikonya. Tapi aku tidak butuh kau untuk menguji keberanianku. Yang aku butuh... hanya satu hal... apakah kau akan tunduk padaku?"
Gandhara menatapnya lekat-lekat. Lama. Suasana di sekitarnya menjadi lebih berat, seolah udara terkompresi. Namun akhirnya, ia menundukkan kepala sedikit. "Ah... Aku tidak punya pilihan. Daripada aku bereinkarnasi menjadi makhluk tak jelas dan mungkin disiksa di akhirat, lebih baik aku mengikutimu untuk saat ini. Mau tak mau... jiwaku ini milikmu sekarang."
Lingga mengangguk pelan.
"Baiklah kalau begitu... mulai sekarang ajarkan aku… satu hal sederhana. Kekuatan pertama yang bisa aku gunakan dari dirimu."
Gandhara tersenyum tipis, senyum yang menyeramkan.
"Jika itu yang kau mau... maka bersiaplah. Mungkin tubuhmu akan merasa sedikit kesakitan."
"Setidaknya aku akan berusaha semampuku..."
Cincin di jari Lingga langsung menyala terang, dan sebuah gelombang energi meledak dari dalam tubuhnya, membuatnya berteriak tertahan. Otot-ototnya menegang. Matanya membelalak.
"ARGH!"
Tubuhnya terlempar ke belakang, terhempas ke tanah. Tapi di tengah rasa sakit itu, sebuah rasa baru mengalir dalam nadinya—panas, berat, namun penuh kekuatan.
Gandhara berdiri di atasnya, lalu berkata dingin. "Itu baru awal. Dan jika kau tidak kuat... maka kekuatan ini akan menghancurkanmu dari dalam."
"Aku pasti bisa! Aku pasti mampu menahan kekuatanmu dan beradaptasi!" Lingga menggertakkan gigi sambil bangkit perlahan, tubuhnya gemetar.
"Kalau begitu... ajari aku bagaimana cara mengendalikannya."
Gandhara menyipitkan kedua matanya yang lebar seraya menyeringai seolah merendahkan. "Hahah... pemuda lemah yang cukup bersemangat ya..."
"Jangan banyak protes! Cepat beritahu aku bagaimana selanjutnya!" seru Lingga sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Langit sudah mengusir sisa-sisa malam. Awan tipis menggantung, diwarnai semburat jingga yang perlahan menyingkap gelap. Di tengah hutan sunyi, Lingga kembali berdiri, meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Napasnya masih berat, tulang-tulangnya seolah memprotes setiap gerakan, namun pandangan matanya memancarkan tekad.
Di depannya, Gandhara berdiri seperti bayangan dari dunia lain yang terlihat transparan, namun begitu mengintimidasi. Cahaya ungu samar dari cincin masih menyelubungi area sekitar mereka.
Gandhara menatapnya lama, kemudian mengangkat tangan. "Baik aku akan mencoba sekali lagi. Tapi jangan menangis saat tubuhmu tak sanggup menampung kekuatan yang kau minta sendiri."
Dalam sekejap, seberkas energi ungu menyambar tubuh Lingga. Rasanya seperti disiram logam cair panas—membakar tanpa meninggalkan luka fisik, tapi mengacak-acak bagian terdalam tubuhnya.
"AAARGH!" teriak Lingga, jatuh tersungkur ke tanah. Tangannya mencakar tanah, mencoba meredam sakit.
Gandhara tak bergeming. "Itu hanya aliran awal. Rasakan. Dengarkan tubuhmu. Chakra-ku mengalir dalam nadimu sekarang—carilah pusatnya."
Lingga menggertakkan gigi. Berkali-kali ia mencoba berdiri, tapi terjatuh lagi. Tubuhnya kejang. Wajahnya basah oleh keringat dingin.
"Jangan dipaksa!" kata Gandhara ketus. "Tubuh manusia biasa... sangat rapuh."
Lingga mendongak, memaksa tubuhnya untuk duduk. "Diam saja kau! Jangan banyak mulut! Ini bukan tentang kekuatanmu... ini tentang bagaimana aku mengendalikannya!"
Gandhara mendengus kecil. "Hm. Nampaknya manusia lemah ini mulai menunjukkan keberanian. Baiklah, mari kita lihat... sampai sejauh mana tubuh lemahmumu bisa menampung energiku."
Latihan pun berlanjut. Gandhara membimbingnya mengarahkan chakra, mengaktifkan saraf-saraf energi yang selama ini tertutup. Kadang energi menyala terlalu cepat hingga tubuh Lingga terguncang. Kadang tak mengalir sama sekali, membuat Lingga frustrasi.
"Lambat sekali. Bahkan seekor anak babi bisa belajar lebih cepat darimu," cibir Gandhara saat Lingga untuk kesekian kalinya jatuh terduduk dengan wajah pucat.
Lingga mengusap darah dari sudut bibirnya. "Aku bukan makhluk sepertimu... Lihat saja... aku akan segera kuasai ini."
"Kau keras kepala sekali rupanya. Asal kau tahu, aku hanya memberimu sedikit..." Gandhara melipat tangan, seperti juri yang menonton gladiator kesulitan bertarung. "Namun tubuhmu... tidak cukup kuat untuk hal itu. Kau akan tumbang sebelum kekuatan ini benar-benar menjadi milikmu."
Lingga menunduk, bahunya naik turun cepat karena kelelahan. Nafasnya nyaris habis.
"Lalu apa saranmu?" tanya Lingga di antara helaan napas.
"Kau butuh seorang pelatih. Seseorang yang mengerti tubuh manusia dan chakra. Aku... hanya sesosok jiwa. Aku bisa memberimu kekuatan, tapi aku tidak bisa mengajari cara menampungnya tanpa membuatmu meledak dari dalam."
"Apa kau tak bisa membantuku... sedikit saja?" tanya Lingga, setengah memohon.
Gandhara tertawa. "Kau mengira aku ini apa? Tabib? Atau... pemilik padepokan? Aku adalah pembantai. Bukan penyembuh. Aku bisa menghancurkan tubuh orang dalam satu sapuan... bukan membentuknya."
Lingga hanya bisa diam. Ia tak punya pilihan. Tapi dari nada bicara Gandhara, ia tahu makhluk ini tidak sedang main-main.
Fajar pun datang.
Cahaya pagi menembus celah-celah pepohonan. Udara hutan menjadi sedikit lebih hangat, dan suara burung mulai terdengar samar.
Lingga menatap cincin di jarinya.
"Sekarang, bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini?"
Gandhara menunjuk ke arah timur dengan dagunya. "Ikuti arah matahari terbit. Di sana ada sebuah desa. Namanya Jarwadhi. Mungkin... hanya mungkin, kau bisa temukan seseorang di sana yang bisa membantumu."
Lingga mengangguk pelan. Ia menatap Gandhara sekali lagi sebelum mengangkat tangannya, dan cincin bersinar samar.
"Kalau begitu, kau kembalilah."
Dalam satu kedipan mata, tubuh roh Gandhara kembali terserap masuk ke dalam cincin. Lingga merasa sedikit lega, namun kini rasa lelah menyerbu kembali. Lututnya bergetar.
Ia tak punya pilihan selain bangkit. Ia harus berjalan.
Langkah demi langkah ia susuri hutan, menahan nyeri di seluruh tubuh. Dedaunan masih basah oleh embun, dan sinar matahari pagi memantul dari ranting-ranting yang menjuntai.
"Semoga saja aku menemukan suatu petunjuk di Jarwadhi...," gumam Lingga dengan suara serak.
***