NovelToon NovelToon
TERPAKSA DINIKAHI PAK DOSEN

TERPAKSA DINIKAHI PAK DOSEN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:13.6k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.

Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.

Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.

Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DUA PULUH EMPAT

Usai berbincang di ruang baca, Caca dan Faza turun ke lantai bawah karen Faza meminta Caca untuk membuatkannya kopi.

Sambil menunggu Caca membuatkan kopi, Faza membaca buku yang ia bawa dari perpustakaan mininya di lantai atas. 

Selang berapa menit, kopi yang Faza minta sudah selesai, ternyata Caca tak hanya membawa secangkir kopi, Caca pun membawakan Faza cemilan yang Caca beli di market dekat rumah.

"Kopinya Pak.." dengan hati-hati Caca meletakkan cangkir kopi di atas meja.

"Eem..wangi.."Faza meresapi setiap aroma kopi dalam cangkir batu itu.

Caca tersenyum, melihat ekspresi Faza yang  tengah menyeruput kopi, ada rasa bahagia saat melihat Faza begitu menikmati kopi buatannya.

"Sejak kapan kamu bisa buat kopi seenak ini, Ca?" Faza menatap Caca dengan mata penuh rasa ingin tahu. Pujian itu tiba-tiba membuat pipi Caca memanas. Caca mencoba menutupi rasa tersanjungnya dengan senyum tipis. 

"Emang seenak itu ya, Pak?" tanya Caca sambil menyipitkan mata, setengah bercanda. Faza mengangguk kecil, tak segan melontarkan pujian lagi.

"Hem... kopi buatanmu ini gak kalah sama kopi di kafe-kafe atau hotel bintang lima, lo, Ca," ucapnya penuh keyakinan.

"Pak Faza bisa aja," jawab Caca malu-malu, merasa ucapan itu terlalu berlebihan. Namun, tatapannya tetap serius, meyakinkan.

"Kok ekspresimu gitu? Saya serius, lo," ujar Faza sambil kembali menyeruput kopinya dengan tenang, seperti sedang menikmati sesuatu yang luar biasa. Rasanya Caca ingin terus mendengar pujian itu, tapi Caca takut jika nanti terlalu terpancing. Tak ingin obrolannya  berlanjut ke godaan berikutnya, Caca berdiri dan berjalan ke kamar, berpura-pura hendak mengambil ponsel. 

Tapi di balik pintu, Caca masih bisa mendengar langkahnya bergeser pelan meraih buku baca. Faza pasti kembali pada kebiasaannya—membenamkan diri dalam buku yang tadi ia bawa. Kedamaian itu, sayangnya, hanya bertahan sebentar. Tak berapa lama, suara kaca berderai memenuhi ruang tengah.

Langkah Caca spontan terhenti. Menoleh ke ruang tengah,"kenapa, Pak...?" seru Caca dari ambang pintu, rasa cemas membuat langkah Caca cepat menuju sumber suara. Saat tiba di ruang tamu, mata Caca langsung tertumbuk pada cangkir kopi yang pecah di lantai. Cairan hitam menyebar di lantai seperti tinta yang menyimpan cerita.

Faza berdiri kaku di samping meja, raut wajahnya antara terkejut dan merasa bersalah. Aku tak mengatakan apa-apa untuk sesaat, hanya memandangnya.

"Kopinya tumpah,Ca.." ujar Faza sambil memungut pecahan cangkir yang berserakan di lantai. Segera setelah itu, Caca menuju dapur untuk mengambil kain pel. Namun, saat kembali dengan peralatan di tangannya, mata Caca terpaku pada sesuatu yang membuat dadanya mencelos—darah menetes dari jari Faza.

"Pak Faza, tangan Bapak berdarah," Caca berseru dengan refleks, lalu tanpa berpikir panjang, Caca meraih tangannya. Sesuatu dalam dirinya membuat Caca ingin segera menghentikan pendarahan itu. Dengan cepat, Caca menempelkan bibirnya pada jari yang terluka.

Faza yang kaget dengan tindakan Caca, menatapnya lekat tanpa berkedip, bibirnya melengkung merasa gemas dengan tingkah Caca yang spontan. Namun, sebelum sempat menyadari apa yang baru saja Caca lakukan, suara langkah terdengar yang mengejutkan mereka berdua.

"Eh...Caca. Kalian...ngapain...?" Caca dan Faza  menoleh berbarengan. Di sana, di ambang pintu, berdiri Pak Alfin. Mata mereka bertemu sesaat, dan tubuh Caca terasa kaku.

"Pak Alfin..." ucap Caca dengan suara tercekat. Tenggorokannya seperti tersumbat. Situasi ini berubah sangat cepat dari sekadar kecelakaan kecil menjadi sesuatu yang menyeramkan bagi Caca. Caca buru-buru melepas tangan Faza dari bibirnya, merasa malu dan panik. 

Pak Alfin melangkah mendekat, wajahnya serius. Tatapan matanya seakan menguliti Caca, seolah-olah ia ingin menggali lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan.

"Ca... kamu ngapain di rumah Faza...?" Suaranya terdengar dingin namun mengusik. Jantung Caca berpacu lebih cepat. Apa yang harus Caca jawab? Caca menatap Faza dengan harapan dia akan membantu menjelaskan, mengurai kebingungan yang memenuhi ruangan itu. Namun, alih-alih berkata sesuatu, Faza hanya tersenyum tipis, seakan menikmati kekacauan yang melibatkan kami bertiga. 

Senyum Faza yang entah kenapa membuat wajah Caca semakin pucat, dan Caca semakin kehilangan kata-kata.

Akhirnya, dengan separuh keberanian, Caca membuka mulut menjawab pertanyaan Pak Dosennya itu, walaupun jantungnya seperti ingin melompat keluar.

"Saya... ini..." Aku tergagap, mencoba merangkai kebohongan yang terasa konyol di telinga sendiri. "Saya... kerja di sini, Pak. Sebagai asisten pribadi Pak Faza," ucap Caca  akhirnya, spontan dan penuh kepanikan. Caca  bisa merasakan mata Pak Alfin sekilas mencuri pandang ke arah Faza, yang tampak hampir tertawa mendengar jawaban Caca.

"Ya Tuhan, kenapa aku mengatakan itu?" Dalam hatinya, Caca merutuki diri sendiri karena terlalu asal bicara. Tapi, tak ada jalan untuk menarik kembali kata-katanya sekarang. Semuanya sudah terlanjur keluar.

"Asisten pribadi? Sejak kapan kamu jadi asisten pribadinya Faza, Ca?" tanya Alfin, menatap Caca dengan sorot penuh selidik. Rasa curiganya begitu kentara, membuat tubuh Caca terasa semakin kecil. Suasana diruang itu terasa makin sesak saja.

Caca tak menjawab, Alfin pun meminta jawaban Faza, melalui tatapannya yang menuntut jawaban dari sahabatnya itu. Sadar akan tatapan Afin, Faza pun bersuara.

"Kamu tanya langsung saja sama orangnya," ujar Faza, suara santainya malah menambah tekanan di dada Caca. Faza  jelas ingin Caca ayang menjawabnya, dari pancaran matanya, Caca melihat Faza menikmati kegelisahan yang terpancar dari diri Caca. Wajahnya yang diliputi senyum tipis itu seperti sedang meledeknya.

"Ca, tuh ditanya. Sejak kapan kamu jadi asisten pribadi saya?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang terang-terangan mengejek. Dalam hatinya, Caca ingin mendorong meja atau memukuli kepala Faza dengan buku—tapi apa daya, Caca hanya bisa berdiri di situ, dengan suara terbata-bata.

"Eeem... sejak... eemmm..." Oh Tuhan, kata-kata seperti lenyap dari otaknya. Caca tahu wajahnya pasti memerah saat ini, entah karena malu atau frustasi—atau mungkin keduanya. 

Caca bisa melihat Faza menahan senyum lagi. Wajahnya memancarkan keasyikan, seolah dia benar-benar menikmati kebingungan Caca yang membuat Caca hampir kehilangan akal. 

"Sudah... nggak usah dijawab, Alfin itu cuma bercanda saja." Suara Faza akhirnya memecah ketegangan, meskipun ucapannya jauh dari menenangkan. Caca menarik napas, mencoba menenangkan diri, walaupun hatinya tetap penuh dengan kekesalan. 

"Bersihkan dulu lantainya, Ca," tambahnya, seperti bos yang menyuruh pekerja, membuat Caca ingin memutar bola mata sepuasnya. Namun, Caca hanya mengangguk pasrah, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Apa Caca punya pilihan lain? tentu tidak.

Faza kemudian mengajak Alfin ke lantai atas, meninggalkan Caca dengan segala rasa jengkel, bingung, dan… ah, sudahlah. Caca tak dapat mengatakan apapun lagi.

Alfin mengangguk pelan, mengikuti langkah Faza menuju lantai atas rumah Faza, tetapi pikirannya terus saja tertahan pada adegan yang tadi dia lihat—Caca, dengan santainya, menghisap jari Faza. Ada sesuatu yang menggelitik di dada Alfin, rasa tak nyaman yang sulit dia jelaskan.

Saat kakinya menapak anak tangga pertama, Alfin menoleh ke belakang. Pandangannya  tertuju pada Caca, yang kini sedang membersihkan lantai, sibuk dengan noda kopi yang berserakan.

"Kenapa dia bisa ada di sini?" pikir Alfin, keningnya mengernyit. Alfin mengenal Faza, dia tahu persis Faza bukan tipe pria yang sembarangan memperbolehkan wanita, apalagi yang bukan mahram, masuk ke rumahnya. Apalagi ini bukan situasi biasa. 

"Tidak mungkin juga kalau Caca ini asistennya. Faza bukan orang yang akan bertindak sembarangan seperti itu," Alfin bergumam dalam hati, semakin terusik oleh berbagai spekulasi yang muncul di pikirannya.

Pertanyaan-pertanyaan itu bergulir semakin tajam di benaknya, seperti teka-teki yang jawabannya tak kunjung jelas. Alfin berusaha menguatkan logikanya, mencoba menemukan alasan yang masuk akal. Namun, semakin Alfin  mencoba, semakin hatinya terasa sesak, dan ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit untuk disingkirkan—seperti kerikil yang terus mengganjal di sepatu, membuat langkahnya terasa berat.

1
partini
betul sekali pak dosen boleh poligami,,tapi jaman sekarang poligami ga kaya jaman nabi tercinta kita
Yus Tia
bagus banget ceritanya
Alina Amaliyah
karyanya luar biasa bagus thor,,jd byk bljr sy tentang rumah tangga yg SAMAWA.Lanjut thor
Zizi Pedi: makasih Kk🥰
total 1 replies
Ria Agustina
lanjut tor
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Mercenary of El Dorado
D
Semangat kak author, aku mampir di novelmu kak hihi salam hangat kak🥰🫶🫶
Zizi Pedi: makasi kk🥰
total 1 replies
Narti Narti
lanjut thor aku suka dengan penjelasan faas sangat menyentuh
Zizi Pedi: siap kk🥰
total 1 replies
Ghafari probolinggo
terpaksa dinikahi dosen
Ghafari probolinggo
bagus
Ghafari probolinggo
sangat menyentuh hati
Bubble
Luar biasa
Ria Agustina
lama up ny tor
Zizi Pedi: iya kk, kemaren sibuk di dunia nyata, ujian TAM PPG
total 1 replies
Zizi Pedi
bentar lagi up Kk
Ria Agustina
kapan up ny tor
Zizi Pedi
soap kk
Ria Agustina
upload ny jangan lama2 tor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!