Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan menuju tempat para Draconian
Cassius melayang di udara sesaat sebelum tubuhnya ditangkap oleh mulut besar ular itu. Rahang makhluk itu mengatup dengan kuat, dan dalam hitungan detik, Cassius ditelan hidup-hidup.
Mulgur membelalakkan mata dan berteriak, “CASSIUS!!!”
Di dalam perut ular, kegelapan total menyelimuti Cassius. Dinding organik yang hangat dan berlendir menekan tubuhnya, sementara udara di dalam terasa berat dan beracun.
Yang lebih buruk lagi, ia mulai merasakan sensasi terbakar pada kulit. Zat asam dalam perut ular ini jauh lebih kuat dari yang ia duga. Pakaiannya mulai meleleh perlahan, dan kulitnya terasa seperti tersiram cairan panas yang tak henti-hentinya menggerogoti. Napasnya mulai sulit, tetapi bukannya panik, Cassius justru tersenyum tipis.
Dia sama sekali tidak khawatir karena tau loomb-nya akan membiarkan tubuhnya pulih dengan cepat sementara ia mulai memusatkan energi di tangannya. Jika ledakan dari luar bisa menghancurkan banyak hal, bagaimana kalau ia meledakkannya dari dalam?
Cassius membuka tangannya di ruang sempit itu, membentuk bola api putih terang yang berdenyut hebat. Suhunya meningkat dengan cepat, membuat dinding perut ular bergetar dan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan.
“BOOM!!!..”
Ledakan menggelegar memenuhi tubuh ular, dan dalam sekejap mata perutnya tercerai-berai dari dalam. Darah dan uap panas menyembur ke segala arah, sementara Cassius melompat keluar dari celah yang terbuka, mendarat dengan mantap di tanah yang kini dipenuhi serpihan daging, tulang dan cairan tubuh. Tubuh bagian bawah ular raksasa itu tersentak beberapa kali sebelum akhirnya jatuh ke tanah dengan suara berat.
Mulgur berdiri terpaku, mulutnya sedikit terbuka. “Astaga… kau serius keluar dengan cara seperti itu?”
Cassius mengusap wajahnya, menyingkirkan sisa lendir yang masih menempel, lalu menatap Mulgur dengan tenang. “Aku tidak melihat ada cara lain yang lebih cepat.”
Mulgur menghela napas panjang. “Jantungku hampir saja copot tadi…”
Cassius hanya tersenyum tipis, lalu berjalan melewati bangkai ular itu. “Yah, sekarang kita bisa melanjutkan perjalanan.”
Mulgur menggeleng pelan, masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Aku benar-benar harus mengajarimu sihir air dan es secepatnya… Kau terlalu suka bermain dengan api.”
Dengan itu, mereka kembali melanjutkan perjalanan, meninggalkan bangkai ular raksasa yang masih mengepulkan asap akibat ledakan dari dalam.
Setelah melewati daerah berbatu yang dipenuhi uap panas, Cassius dan Mulgur akhirnya mencapai sebuah area datar yang cukup luas. Di tengahnya, terdapat batu besar yang tampak seperti monumen alami, dihiasi dengan ukiran dan simbol-simbol aneh yang tidak bisa langsung mereka pahami.
Cassius berjongkok, memperhatikan sesuatu yang tertinggal di tanah. Ia mengambil sebuah pecahan sisik berwarna abu-abu gelap, lalu ia mengamatinya dengan seksama.
“Ini tidak terlihat seperti sisik binatang biasa,” gumamnya.
Mulgur yang berdiri di sampingnya mengangguk. “Tentu saja. Itu milik Draconian.”
Cassius menatapnya dengan penuh minat. “Draconian?”
Mulgur berjalan mendekati batu besar itu, mengelus permukaannya yang dipenuhi ukiran huruf aneh. “Ya. Mereka sepertinya ada tidak jauh dari tempat ini. Draconian di sini memiliki hubungan erat dengan elemen api karena mereka menyembah Galrath—The Holy Ashes, salah satu naga besar dari zaman kuno. Karena itu, mereka lebih mahir dalam mengendalikan api dibandingkan draconian di tempat lain.”
Cassius menoleh ke arah batu tersebut. “Jadi mereka punya keahlian berbeda, tergantung naga yang mereka sembah?”
Mulgur mengangguk. “Benar. Draconian di tempat lain bisa memiliki spesialisasi elemen yang berbeda. Ada yang menyembah naga es, naga petir, bahkan naga yang berhubungan dengan kegelapan. Itu sebabnya mereka memiliki variasi kemampuan yang cukup luas.”
Cassius memperhatikan lebih dekat ukiran di batu itu. “Tulisan ini… apakah kau bisa membacanya?”
Mulgur mengusap jenggotnya, berpikir sejenak. “Hmm… Aku tidak bisa membacanya secara langsung, tapi aku tahu ini semacam doa atau mantra penangkal. Mungkin mereka melakukan ritual di sini.”
Cassius mengamati lingkungan sekitar, mencoba mendeteksi apakah ada tanda-tanda aktivitas baru-baru ini. Namun, selain bekas sisik dan ukiran di batu besar, tidak ada tanda-tanda kehadiran langsung.
“Kita harus tetap waspada,” ujar Cassius akhirnya.
Mulgur tertawa kecil. “Sudah jelas, bocah. Kau baru saja meledakkan ular raksasa, dan sekarang kau ingin waspada? Kalau ada draconian di sekitar sini, mereka pasti sudah tahu keberadaan kita sejak tadi.”
Cassius hanya tersenyum tipis, lalu berdiri kembali. “Bagus kalau begitu. Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri seperti apa wujud mereka.”
Mulgur mendesah, menggelengkan kepala. “Kadang aku lupa siapa di antara kita yang harusnya lebih waras…”
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, meninggalkan batu besar itu sambil tetap mengawasi sekeliling. Jejak Draconian yang tertinggal mungkin hanyalah sisa-sisa keberadaan mereka, tapi ada kemungkinan besar mereka masih berada di sekitar.
Langkah kaki Cassius dan Mulgur perlahan mendekati wilayah berbatu yang mulai terasa panas. Aroma belerang mulai terasa di udara, menandakan mereka semakin dekat dengan daerah vulkanik yang menjadi rumah para draconian. Saat mereka berjalan, tiba-tiba suara langkah cepat terdengar, disertai gemuruh kecil yang mengguncang tanah di bawah mereka.
Dari celah bebatuan, seekor makhluk besar muncul dengan tubuh bersisik merah kehitaman dan semburan magma yang menetes dari mulutnya. Makhluk itu menyerupai kadal raksasa dengan punggung berlapis batuan vulkanik yang tampak retak dan melepaskan asap tipis. Namun, yang menarik perhatian Cassius adalah luka bakar yang tampak jelas di beberapa bagian tubuh kadal itu, seolah disambar oleh api yang lebih panas daripada suhu alaminya.
Sebelum Cassius sempat bereaksi, dua sosok muncul dari balik bebatuan di kejauhan. Tinggi mereka jauh melebihi manusia, dan juga tubuh mereka lebih kekar dengan sisik berwarna abu-abu gelap kehijauan dan merah tua yang berkilauan di bawah sinar matahari. Mata mereka menyala dengan cahaya merah, seperti bara api yang terus membara. Mereka adalah para draconian.
Salah satu dari mereka membawa tombak panjang dengan ujung yang tampak membara, sementara yang lain hanya mengandalkan cakar tajam yang tampak seperti bisa mencabik batu sekalipun. Mereka tampak fokus, hanya memperhatikan mangsa mereka tanpa menghiraukan keberadaan Cassius dan Mulgur.
Namun, sesaat sebelum mereka melanjutkan perburuan, salah satu dari draconian itu menoleh ke arah Cassius. Tatapan tajamnya seolah menilai apakah mereka berdua ancaman atau bukan. Cassius menatap balik, tidak bergerak, tetap mempertahankan ketenangannya. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, draconian itu akhirnya mengalihkan pandangannya dan kembali berlari, mengejar kadal magma yang mulai kehabisan tenaga.
Mulgur menghela napas pelan, lalu berbisik, "Kita sebaiknya tidak mengganggu mereka."
Cassius mengangkat alis. "Mereka tidak akan menyerang kita?."
"Tentu saja tidak," jawab Mulgur, menatap ke arah para draconian yang mulai mengelilingi mangsanya. "Mereka lebih suka menghindari konflik yang tidak perlu. Tapi jangan salah paham, itu bukan berarti mereka lemah atau bisa diremehkan."