Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.
Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.
Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.
Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan yang Bukan Pilihan
Isi kepala Brian kini dipenuhi dengan perdebatan antara logika dan nuraninya.
Kamu akan menikahi wanita asing yang asal usulnya tidak kamu ketahui dan berstatuskan 'janda'. Sedangkan karir mu, pendidikan mu asal usulmu jelas sangat bersinar. Lantas apa yang akan didapatkan dari wanita ini ? Logikanya berkata.
Tapi .. Dia korban Brian, dia sudah mengalami banyak kesulitan hidup. Karena kesalahan satu malam, dia harus menanggung kesulitan lagi. Dan kamu sebagai penyebabnya malah ingin lari ? Nuraninya menjawab.
Brian bahkan tak bisa tidur semalaman, padahal hari ini ada jadwal rawat jalan yang harus di isinya. Brian berulang kali mengacak rambutnya.
" Sial .. Sial .. Sial " Ucap Brian sambil menggebrak gebrak meja.
Hanya tinggal 40 menit lagi jadwal nya akan dimulai. Meski pikirannya sedang kalut, Brian memaksakan diri untuk bangkit, mandi sejenak lalu berangkat menuju Rumah Sakit dengan melewatkan sarapannya.
Brian memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, bukan karena takut kesiangan tapi berharap emosinya dapat tersalurkan.
" Pagi dok .. " Sapa perawat di bagian informasi.
" Pagi " Brian menjawab singkat berlalu begitu saja.
" Gak biasanya dokter Brian murung gitu. " Ucap salah satu perawat memulai bahan pembicaraan.
" Iya bener, semenjak perempuan di ruang VIP itu dibawa kesini. Dokter Brian dan keluarganya kelihatan panik. Sebenernya apa yang terjadi ? "
" Apa mungkin itu calon istrinya dokter Brian ? "
" Lah ? Kata siapa ? "
" Ya aku cuman menduga aja. Dokter Brian usianya udah 30-an udah mapan juga. Udah waktunya cari pasangan. "
" Ahh mungkin di jodohkan juga ya ? Makannya wajahnya murung terus. "
" Mungkin .. " Perawat lain mengucapkan kata misterius yang memancing rasa penasaran.
" Dokter Brian ngelakuin hal yang gak seharusnya. "
" Ah kamu gila aja. Selama dokter Brian bertugas, jangan kan macem macem. Sama dokter cewe aja cuek. "
" Ya kan kita gak tau, soalnya kata temenku yang jaga di IGD. Dokter Brian bawa perempuan itu dalam keadaan udah gak sadar, banyak memar dan kemarin sempet lihat jadwal dokter Rayhan ada visit ke ruangan VIP. Padahal VIP yang isi cuman perempuan itu aja. "
Kenyataan semakin lama dibiarkan asumsi liar semakin bergulir bagai bola panas.
...----------------...
Ditengah pemeriksaan rawat jalan, ponsel Brian bergetar. Sebuah pesan dari Rayhan.
"Hasil lab udah keluar. Gue butuh lo kesini sekarang."
Brian menelan ludah. Ia tahu, apa pun hasilnya, hidupnya takkan pernah sama lagi.
Brian menuntaskan dulu tugas dan kewajibannya sebagai dokter hingga poli rawat jalan selesai. Dengan segera Brian bangkit meninggalkan ruang kerjanya menuju ke ruangan Rayhan.
Sepanjang lorong menuju ruang Rayhan, pikirannya terus memutar ulang kejadian malam itu—fragmen-fragmen samar yang muncul dan tenggelam seperti ombak.
Di dalam ruangan, Rayhan sudah duduk dengan serius.
“Duduk,” ujar Rayhan singkat.
Brian menurut, duduk berhadapan di meja kerja Rayhan. Tangannya mencengkeram celana jinsnya erat.
Rayhan membuka sebuah amplop, mengeluarkan hasil lab, dan membaca sekilas sebelum meletakkannya di meja.
“Gue gak akan muter-muter,” kata Rayhan. “Hasilnya… ada sisa jejak sperma di dalam. Itu berarti, lo eja*kulasi di dalam, Bi.”
Brian memejamkan mata, rahangnya mengeras. Nafas nya terasa lebih pendek dari biasanya. Sesak itu yang Brian rasakan kini.
Rayhan hanya bisa menatap Brian prihatin. " Gue serius Bi, gue rasa Lo harus segera ambil tindakan. "
Brian mengusap wajahnya, napasnya berat. “Apa… apa menurut lo dia bakal hamil?”
Rayhan menggeleng pelan. “Gue gak bisa pastiin itu sekarang. Kita harus nunggu beberapa minggu lagi buat tes kehamilan. Tapi Lo gak boleh cuman nunggu dan berharap dia gak hamil. Lo tau, semakin lama dibiarin asumsi liar diluar sana semakin panas. Sekalipun Naya gak nuntut Lo, kalau komandan tau ini bisa jadi boomerang buat Lo. " Jelas Rayhan.
Brian mengangguk pelan. “Gue tau…”
Suasana ruangan Rayhan dipenuhi keheningan yang mencekik. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, seolah ikut menghitung waktu yang kini terasa lambat bagi Brian.
Matanya masih terpaku pada hasil lab yang tergeletak di atas meja. Beberapa kata mencolok seperti "sperm detected" terasa memaku pikirannya.
“Ada jejak,” gumam Brian lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Rayhan, yang duduk di seberangnya, memperhatiak Brian, Rayhan tahu betul bagaimana pria itu membangun hidupnya. Teratur, disiplin, dan dingin.
Dan sekarang, semua itu seperti perlahan runtuh.
“Bi, kalau Naya hamil, ini bakal jauh lebih rumit.” Rayhan berusaha memecah kesunyian.
Brian mendongak, tatapannya tajam namun kosong. “Lo pikir gue gak tau itu?”
Rayhan menghela napas panjang. “Gue gak bilang gitu. Gue cuman ngingetin, lu gak bisa terus denial. Ini udah kejadian. Lo udah tidur sama dia, dan sekarang ada bukti.”
Brian mengepalkan rahangnya, kedua tangannya mengusap wajahnya dengan kasar.
“Sial!” desisnya.
Kepalanya penuh. Bukan cuma soal Naya, tapi juga orang tuanya, terutama ibunya, Ratna, yang pasti akan semakin mendorongnya untuk menikahi wanita itu. Bukan karena cinta, bukan karena niat tulus, melainkan demi menjaga nama baik keluarga.
Ya… nama baik keluarga — itu selalu jadi alasan.
“Lo udah ngomong sama Naya?” tanya Rayhan, memecah pikirannya.
Brian menggeleng. “Gak. Gue ke rumah sakit tadi pagi, tapi cuma buat ngecek keadaannya. Gak ada obrolan serius.”
Rayhan mengernyit. “Terus, lo gak ngomong apa-apa soal rencana lu buat ke depannya?”
Brian tertawa sinis. “Rencana? Gue bahkan gak tau harus ngapain sekarang. Lo pikir gue bisa tiba-tiba bilang, ‘Naya, kita nikah aja biar beres’? Lo pikir semudah itu?”
Rayhan diam sejenak, lalu bersandar ke kursinya. “Bukan soal mudah atau enggak, Bi. Ini soal tanggung jawab.”
Brian memejamkan matanya. Kata itu lagi. Tanggung jawab.
Sejak malam itu, hidupnya tidak lepas dari dua kata tersebut. Semua orang memaksanya bertanggung jawab, seolah-olah pernikahan adalah satu-satunya jawaban dari kekacauan ini.
Tapi bagaimana dengan dirinya?
Apakah dia tidak berhak mempertanyakan semua ini?
Naya adalah wanita asing baginya. Mereka hanya bertemu dua kali. Satu pertemuan begitu singkat, dan yang kedua… adalah malam terkutuk itu.
Naya memang korban, Brian tak membantah. Tapi itu tidak serta-merta menghapus semua pertanyaan di kepalanya.
Siapa Naya sebenarnya?
Apa yang dia cari?
Mengapa dia memilih diam dan tidak menuntut?
Semua pertanyaan itu berputar di benaknya, menambah sesak yang sudah memenuhi dadanya.
“Gue tau lo lagi banyak pikiran,” suara Rayhan melemah. “Tapi jangan sampai lo jadi kehilangan arah, Bi.”
Brian hanya mengangguk kecil, kemudian berdiri.
“Gue balik dulu.”
Rayhan hanya bisa menatap sahabatnya melangkah keluar ruangan, membawa beban yang tak terlihat namun jelas terpampang di bahunya.
Sore itu
Brian memacu mobilnya menuju rumah, hasil Lab harus segera ia informasikan pada keluarganya. Jangan sampai keluarga tau dari orang lain terlebih dulu atau Brian akan semakin disalahkan jika itu terjadi.
Setibanya di rumah, suasana sudah terasa mencekam.
Ibunya, Ratna, duduk di ruang tamu dengan wajah tegang. Ayahnya, Wisnu, berdiri sambil memegang rokok yang belum dinyalakan.
Mereka sedang menunggu Brian.
Begitu ia masuk, Ratna langsung berdiri.
“Gimana hasilnya?” tanya Ratna tanpa basa-basi.
Brian terdiam sejenak, lalu berjalan ke arah mereka. “Ada jejak.”
Ratna langsung menutup mulutnya dengan tangan, sementara Wisnu memejamkan mata.
“Jadi… kamu benar-benar melakukannya,” suara Ratna bergetar.
Brian mengangguk pelan.
“Dan…” Wisnu melanjutkan, “kemungkinan dia hamil?”
“Masih belum pasti. Harus nunggu beberapa minggu lagi,” jawab Brian singkat.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Ratna akhirnya angkat bicara. “Brian… kamu tau apa yang harus kamu lakukan.”
Brian mendongak, matanya tajam. “Mama masih ngomong soal pernikahan?”
“Ini bukan soal pernikahan, Brian,” suara Ratna meninggi. “Ini soal tanggung jawab!”
Brian terkekeh sinis. “Tanggung jawab itu artinya harus menikah, gitu? Gak ada jalan lain?”
Wisnu menatap tajam ke arah Brian. “Kamu mau Naya hamil dan kamu gak ada di sampingnya? Kamu pikir keluarga kita bakal diam kalau itu terjadi?”
Brian menggeram. “Kenapa semuanya cuma mikirin reputasi keluarga?”
“Ini bukan cuma soal reputasi!” suara Ratna pecah. “Ini soal harga diri seorang perempuan yang udah kamu sakiti!”
Brian diam.
Dalam pikirannya, dia sadar… semua ini adalah kesalahannya.
Tapi menikahi Naya?
Hanya karena itu dianggap jalan satu-satunya?
Dia tak yakin.
Brian tahu, dia bisa bersikap bertanggung jawab. Tapi bukan berarti dia akan membiarkan perasaannya dipaksa ikut ke dalamnya.
Jika pernikahan ini terjadi…
Itu bukan karena cinta.
Hanya karena beban.
Dan Brian memutuskan — jika memang harus menikahi Naya, dia akan melakukannya tanpa melibatkan hatinya.