Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Biang Resek
...Asta...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Ini bukan kencan.
Gue ulang-ulang kalimat itu sambil memperhatikan baju yang mau gue pakai. Biasanya sih, gue bodo amat. Jeans sama kemeja udah cukup. Tapi entah kenapa, kali ini gue malah mikirin ini terlalu dalam.
Selma pasti punya kesan tertentu soal gue. Pertama kali dia lihat gue, gue basah kuyup, babak belur, dan berdarah-darah. Kesan pertama yang benar-benar jelek. Tapi di sisi lain, gue juga nggak mau tampil terlalu formal, karena... ya, seharusnya ini bukan kencan.
Udah, Asta, jangan overthinking.
"Iya, iya, dia di sini kok."
Gue dengar suara Dino dari lorong, terus kepala dia nongol di celah pintu kamar gue yang setengah kebuka.
"Lo udah siap?" Dia ngecek gue, terus langsung melotot pas melihat gue masih pakai boxer doang. "Bukannya lo mau pergi? Ah, terserah deh."
Dino masuk, terus balik HP-nya biar layarnya ngadep gue. Di layar, ada seseorang yang lagi berdiri di dapur, kelihatan sibuk melakukan sesuatu. Rambut hitamnya berantakan, dan dia nggak pakai baju. Di sisi dadanya, kelihatan jelas tato baru yang dia bikin beberapa bulan lalu.
"Brooo!" Anan menyapa dengan senyum lebarnya, senyum yang nunjukin deretan gigi lurus sempurna, senyum khas keluarga Batari.
"Ey." Gue menyapa balik, masih agak kaget. Sambil buru-buru ambil jeans, gue berharap Anan nggak nyadar gue lagi galau milih baju. Dia kenal gue.
"Dino bilang lo ada kencan." Nada suaranya santai, tapi jelas dia lagi ngejek.
Gue langsung ngasih tatapan maut ke Dino, tapi dia malah pura-pura polos. "Hah? Apa?"
"Ini bukan kencan."
"Terus kenapa lo masih setengah telanjang?" tanya Anan sambil nyender di meja dapurnya, mukanya datar tapi jelas dia nahan ketawa.
"Karena lo berdua ngeganggu gue."
Tiba-tiba gue dengar suara lain.
"Siapa itu?"
Gue langsung kenal suara lembut itu. Dari dulu nggak pernah berubah. Anan nyebutin nama gue, terus nggak lama dia muncul di layar.
"Asta!"
Gue otomatis senyum.
"Hai, Zielle."
Zielle langsung menyerobot layar, dorong Anan ke samping.
"Asta gue, lo makin gede aja."
"Eh, eh!" Anan mencoba dorong dia balik, tapi Zielle nggak peduli. "Dia adek gue!"
"Wah, gue nggak disapa?" Dino pura-pura kaget, naruh tangan di dada kayak orang kena jantung. "Benaran deh, Zielle, nggak nyangka lo kayak gini ke gue."
"Oooh! Kecoak kesayangan, lo tahu kan lo favorit gue." Zielle nyosor ke kamera, ngasih ciuman lebay terus mundur. habis itu dia nanya penasaran. "Nih kita lagi bahas apa sih?"
Kita emang suka video call gini, kangen ngobrol bareng. Makanya, gue juga nggak merasa risih masih pakai boxer doang depan mereka.
"Asta ada kencan." Anan nyeletuk santai.
Gue langsung mendesah, males.
"Bukan kencan."
Dino tiba-tiba berbisik, "Itu cewek yang nyelametin dia! Romantis, kan?!"
"Serius? Itu Selma? Gue nggak percaya." Zielle langsung duduk lebih nyaman. Jelas dia udah tahu ceritanya dari awal.
"Gue cuma mau ketemu buat ngucapin makasih."
"Ya..." Anan balik badan lagi, lanjut sibuk sama masakannya.
"Eh, itu di punggung lo bekas cakaran, Anan?" Dino nyeletuk santai, jelas dia emang jago baca detail kecil. Bekasnya juga lumayan kelihatan di kulit punggung Anan yang pucat.
Zielle langsung merah padam, buru-buru ganti topik.
"Eh, eh, tadi kan kita lagi bahas Asta."
"Zielle, gila juga lo ya, gue sampai syok." Dino geleng-geleng, pura-pura prihatin.
Gue cuma bisa mengelus dada. "Lo semua bisa nggak sih pergi? kalau begini terus, gue nggak bakal bisa milih baju."
Anan balik ngadep kamera lagi, mukanya sok polos. "Kalau ini bukan kencan, kenapa lo masih belum ganti baju? Lo jelas mikirin banget mau pakai apa. Kalau emang nggak ada apa-apa, kenapa ragu?"
Gue benci betapa tajamnya mata kakak gue.
"Gue cuma mau tampil santai."
Percuma, klarifikasi gue nggak mempan.
"INI KENCAN! Aaaah, gue seneng banget!" Zielle girang sendiri. Kalau gue protes juga percuma, jadi yaudah, gue pasrah aja.
"Bisa nggak lo semua nggak lebay seolah ini kencan pertama gue?" Gue ngedumel, setengah malu.
"Oh? Ini bukan yang pertama?" Anan ngeledek. "Wah, gue baru nggak ngawasin lo sebentar, eh tiba-tiba..."
"Udahlah, jangan dibecandain mulu, Anan." Zielle membela gue, senyum lebarnya masih menempel di mukanya.
"Makasih, Zielle. Serius, dia masih aja nyebelin."
"Si paling nyebelin." Anan kedipin mata, sementara gue cuma bisa menyengir setengah hati.
"Gue milih jeans sama sweater hitam yang ada tulisan merah." Zielle kasih saran. "Hitam cocok banget di lo, Asta. Lo kelihatan imut, tapi seksi juga."
"Gue masih di sini, loh." Anan nyosor buat cium pipinya.
Zielle ketawa, dan gue juga jadi ikut senyum melihat mereka berdua. Apa pun artinya cinta, mereka jelas punya itu.
"Ey! Stop ciuman di depan gue yang jomblo!" Dino ngeluh sambil manyun.
"Hah? Jomblo? Bukannya lo punya cewek?" tanya Zielle. "Vey, kan?"
"Nah, kita nggak pacaran."
Gue menjilat bibir, merasa agak canggung. Setelah insiden mabok dan curhat gue ke Vey dan Dino, suasana jadi agak aneh. Vey juga jarang mampir ke apartemen lagi, mungkin nunggu semuanya adem dulu.
Akhirnya, gue nurut sama saran Zielle. Jeans sama sweater hitam jadi pilihan final.
"Eh, btw, please lo semua stop bikin TikTok bucin, ya. Gue udah enek." Dino nambahin dengan nada males.
Zielle ngakak.
"Tapi lo tetap nonton semuanya, kan? Bahkan selalu jadi yang pertama nge-like." Dia ngeledek sambil julurkan lidah.
"Gue cuma dukung teman gue, tapi serius, udah cukup lah."
Gue nyemprotin sedikit parfum ke sweater, pura-pura nggak dengar suara dari mereka bertiga.
Setelah pamitan, gue langsung cabut sebelum mereka makin resek soal ini.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢