Alvaro Ardiwinata adalah seorang remaja berusia 16 tahun yang terlahir dari keluarga kaya. Namun, meskipun hidup dalam kemewahan, dia merasa tidak pernah menjadi bagian dari keluarga tersebut. Dia lebih dianggap sebagai "anak pelayan" oleh kedua orangtuanya, Jhon dan Santi Ardiwinata. Setiap kesalahan, besar atau kecil, selalu berujung pada hukuman fisik. Meskipun ia berusaha menarik perhatian orang tuanya, mereka tidak peduli padanya, selalu lebih memperhatikan adiknya, Violet. Violet yang selalu mendapat kasih sayang dan perhatian lebih, tapi di balik itu ada rasa iri yang mendalam terhadap Alvaro.
Sementara itu, Alvaro berusaha menjalani hidupnya, tapi luka psikologis yang ia alami semakin mendalam. Saat ia beranjak dewasa, ia merasa semakin terasingkan. Tetapi di balik penderitaan itu, ada harapan dan usaha untuk menemukan siapa dirinya dan apakah hidup ini masih memiliki makna bagi dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wèizhī, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
—-
“Nah, Baby. Langsung ke kelas, jangan berkeliaran” ucap Angga saat mereka sudah sampai di sekolah dan tengah menuju kelas masing-masing.
“Bang, kalo di sekolah jangan manggil 'Baby'. Aku bukan bayi” ucap Alvaro
“Kenapa?“ Tanya Xavier
“Ya… kan aku emang bukan bayi. Lagian juga, ini sekolah. Aku tuh malu, bang” jawab Alvaro menundukkan wajahnya dengan semu merah. Xavier dan Angga yang melihatnya merasa gemas.
“Aduh, Baby. Tenang saja, jika ada yang tak menyukainya atau mereka mengejekmu. Kami akan menyelesaikannya” ucap Angga yang di angguki Xavier.
“Tapi, bang”
“No tapi tapi. Sekarang ayo kita ke kelas” ucap Angga tak ingin di bantah.
“Huft… nasib..“ batin Alvaro meratapi nasibnya yang entah harus di syukuri atau bagaimana. Tapi yang jelas ia memang harus bersyukur akan hal ini.
“Woy, Bos!“ Panggil seseorang dari arah belakang. Sontak hal itu membuat Xavier dan Angga juga Alvaro menoleh kearahnya.
“Wah, si bocil sekolah. Dah sembuh kau?“ Tanya anak itu yang tak lain adalah Bagas.
Bagas, Hendra, dan Reza mendekati mereka dan lalu berjalan bersama menuju kelas.
Alvaro tak menjawab pertanyaan Bagas, ia malah bersembunyi dibelakang tubuh Xavier. Ia tak terbiasa dengan hal ini, dulu saja saat diajak masuk ke markas abangnya ini dia panik gak ketolong.
“Kenapa, cil?“ Tanya Reza heran.
“Jangan deket-deket, nanti kamu nularin hal gak baik” ucap Angga sarkas yang lalu di jawab decakan oleh sahabatnya itu.
“Tck. Emang gue virus, gitu?!“ Reza tampak tersinggung dengan hal tersebut.
“Heh, jamet. Lu jangan pake bahasa gak baik di depan adek gue ya. Atau lu mau nerima bogeman mentah dari kita, hah?!“ ucap Angga berbisik pada mereka bertiga dengan serius dan tak main-main.
“Kenapa emangnya?“ Tanya Hendra berbisik juga
“Lakuin aja, gosah banyak tanya lu” balas Angga sinis.
Mereka lalu kembali berjalan dengan ketiga sahabat yang di buat cengo tapi juga heran.
“Positif thinking aja, si kembar gasuka adek barunya dapet didikan gak baik” ucap Reza kemudian.
“Tumben lu berfikir positif” ucap Bagas
“Maksud lu apa?!“ Tanya Reza yang entah kenapa ia merasa Bagas memiliki maksud lain.
“Ya biasanya kan lu rada bego” jawab Bagas santai.
“Lu juga sama” Hendra yang kemudian sedikit berlari untuk mengejar langkah bos nya.
“Sialan” umpat Bagas.
—-
Di kelas. Alvaro masuk dengan langkah nya yang pelan. Saat ia sudah benar-benar masuk, ia cukup terkejut karena melihat sosok perempuan sedang duduk di kursinya sembari memainkan gadget nya.
“Maaf, permisi” Alvaro mendekati gadis itu dan sontak membuat sang empu melirik kearahnya.
“Ya? Kenapa?“ Tanya gadis tersebut yang lalu ia menyimpan ponselnya di atas meja.
“Ah tidak, hanya saja ini kursiku. Apa kau murid baru?“
“Sungguh? Aku memang murid baru dari beberapa hari yang lalu. Guru bilang tak apa untuk duduk disini karena pemiliknya sedang sakit”
“Em… yasudah, tak apa”
Alvaro berjalan kearah meja yang ada di sudut belakang dan duduk disana. Gadis itu menatap merasa bersalah, lalu dia berdiri dan menghampiri Alvaro.
“Jika mau, aku yang akan duduk disini” ucap gadis tersebut
“Tak apa. Sepertinya kau memang lebih butuh duduk disana” ucap Alvaro karena memang ia lihat gadis tersebut memakai sebuah kacamata.
Sontak gadis itu tersenyum tipis membuat Alvaro tampak bingung.
“Baiklah. Kalau begitu perkenalkan, namaku Zeany Ashtary. Kau bisa panggil aku Zea” ucap gadis tersebut yang ternyata bernama, Zeany. Gadis yang ada di chapter sebelumnya.
“Alvaro… Gintara. Kau bisa panggil aku Alvaro” ucap Alvaro yang lalu mereka saling berjabat tangan.
“Hai Alvaro~. Bisakah kita berteman?“ Zea tampak tersenyum tipis namun terlihat cantik, dalam beberapa detik terakhir Alvaro tampak terpesona dengan hal tersebut.
“Ah… memangnya tak apa?“ Alvaro terlihat tampak minder dengan hal itu. Ia tak menyangka akan ada yang mengajaknya berteman karena sebelum-sebelumnya semua orang menghindarinya.
“Kenapa tidak? Aku belum punya teman. Yahh… mereka semua disini tampak hanya saling memanfaatkan saja” ucap Zea dengan berbisik pada ujung kalimatnya. Lalu matanya itu tampak melirik kearah anak kelas yang sudah tiba dikelas pada pagi ini.
“Em.. ya, baiklah. 'Apa maksud nya itu?'.“ Pada akhirnya Alvaro juga setuju saja karena jujur dia sedikit tertutup dengan orang asing.
Zea tersenyum dan lalu mengangguk kecil. Ia tampak senang karena ajakannya yang diterima baik oleh Alvaro.
Beberepa menit, Zea mengobrol ringan dengan Alvaro. Menanyakan pertanyaan kecil mengenai apa yang disukai dan bagaimana keseharian Alvaro. Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol sampai semua murid telah masuk ke kelas dan beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring, membuat mereka harus duduk di tempat masing-masing.
Guru pun datang dan mulai menjelaskan mengenai materi pembelajarannya. Sesekali guru tersebut menanyakan beberapa pertanyaan pada Alvaro. Alvaro sendiri menjawabnya dengan baik karena pada dasarnya ia adalah anak yang pintar. Awalnya guru tersebut memberi sedikit tekanan pada Alvaro, namun karena Alvaro menjawab pertanyaan dengan baik, maka akhirnya ia berhenti.
Jam pertama hingga ketiga berakhir dan Alvaro bebas karena bel istirahat akhirnya berbunyi. Sangat melelahkan baginya karena hari ini hari Selasa. Ya, Alvaro tak bersekolah pada hari senin karena mendapat penolakan keras dari Ayah juga para abang nya itu.
Alvaro menyimpan buku nya kedalam tas dan yang lainnya ia simpan di dalam kolong meja. Tampak Zea yang di kerubungi oleh para siswa perempuan, Zea sepertinya merasa tertekan namun gadis itu tampak cuek dengan semua hal disekelilingnya sampai akhirnya mata mereka saling beradu pandang. Zea tersenyum kecil dan berjalan mendekati meja Alvaro.
“Baby, ayo kita pergi ke kantin” ajaknya dan… huh? Baby? Kenapa Zea memanggil Alvaro dengan itu?
“Huh? Iya… tapi kenapa kau memanggilku 'Baby'? Aku laki-laki dewasa” ucap Alvaro dengan kebingungan dan justru malah terlihat manis dan menggemaskan bagi Zea.
“Tak suka? Kalau begitu, Bunny saja. Ayo Bunny, kita ke kantin” ajaknya lagi yang lalu ia menarik tangan Alvaro lembut dan mereka pun keluar menuju kantin.
“Zea… kenapa kau terlihat tak suka dengan mereka?“ Tanya Alvaro tiba-tiba saat ia teringat ekspresi datar Zea saat dikelilingi oleh para gadis dikelas nya.
“Huft… kau tahu, Bunny? Niat mereka tak baik, aku tak suka kecuali aku yang memilihnya. Kita itu harus pilih-pilih teman agar tak di khianati” jawab Zea dengan helaan nafas ringannya.
Alvaro melamun sejenak memikirkan apa yang Zea katakan. Apakah benar kita harus memilih-milih teman, pikirnya. Sampai ketika ada sebuah suara memanggil mereka, yang mana membuat mereka diam di tempat.
“Baby!!“ Teriak seseorang dari belakang. Seorang pria tampan berlari dan mendekap erat Alvaro, sedang yang satunya terlihat kesal dan menarik Alvaro kembali.
Ya, itu adalah si kembar. Xavier dan Angga. Tampak si kembar itu saling menatap tak suka pada satu sama lain. Alvaro sendiri bingung dan tak mengerti, baru saja mereka datang dan kenapa malah jadi begini. Sedang Zea hanya memperhatikan dengan wajah datarnya sembari tangannya memegang ujung lengan seragam Alvaro.
“Oh ya. Baby, kenapa kau pergi? Bukankah kami bilang akan menjemputmu di kelas?“ Tanya Xavier yang kemudian beralih menatap adik bungsunya itu.
Alvaro sendiri lupa dan ia tak ingat. Ia tampak terkejut dan salah tingkah dengan pertanyaan abangnya ini.
“Em.. Al lupa…” jawabnya kecil.
“Aku yang mengajaknya keluar” ucap Zea yang langsung mendapat tatapan tak percaya dari si kembar.
“Wanita?! Baby sudah ternodai oleh wanita!!“ Heboh Angga yang membuat orang lain mulai menaruh perhatian pada mereka.
“Ada apa ini?“
“Si kembar Gintara dengan anak culun itu”
“Gadis itu, apa dia murid baru?“
“Kenapa dengan mereka?“
“Apa merebutkan seorang wanita?“
“Hey, jangan bercanda. Masa sih..“
“Xavier gue ganteng banget, tapi cewek itu siapa sih”
“Tauk, deket-deket ayang Angga gue”
Yah, kurang lebih begitulah bisik-bisik murid lain disekitar mereka.
“Baby, kemari. Jangan dekat-dekat dengan rubah” ucap Xavier membawa Alvaro kedalam dekapannya.
“Rubah? Siapa itu? Apa kakak kelas kita ini sedang mengejekku?“ Zea merasa tersindir dengan hal tersebut. Ia menatap Xavier datar namun dengan senyuman manis di bibirnya.
“Bang. Kenapa bilang gitu?“ Tanya Alvaro tak percaya
“Diamlah Baby. Tak seharusnya kau tercemar dengan hal tak baik” ucap Angga
Zea menatap tak suka pada si kembar. Ia kemudian dengan lantang menunjukkan sikap menantang pada kembar Gintara tersebut.
“Begitu ya. Tapi aku dan Bunny sudah berteman, tuh” ucap Zea dengan menyidekapkan lengannya ke dada.
“Bunny, huh? Beraninya kau memanggilnya sembarangan!“ Angga tampak tak suka dengan panggilan yang dibuat gadis didepannya ini untuk Alvaro.
“Kenapa, tak suka? Apakah Gintara memang se rendah ini untuk meladeni seorang gadis tak bersalah?“
“Tak bersalah? Kau…”
“Bang, kenapa marah begitu? Dia memang teman Al” ucap Alvaro yang lalu membuat si kembar langsung beralih menatapnya.
“Jangan, dek! Dia itu rubah. Bahkan ekornya sudah mau keluar yang ke sembilan!“ Tegas Angga melarang.
“Baby, jika ingin teman, cari yang lain saja” ucap Xavier terdengar setuju dengan ucapan Angga.
“Apa-apaan sih kalian ini. Dasar Gintara bau taik, aku hanya ingin berteman baik dengan adik baru kalian. Jangan terlalu banyak berfikir, aku tak akan melakukan apapun” ucap Zea memegang kepalanya merasa pening dan mulai kesal dengan tingkah si kembar.
“Rubah dan kelinci itu tak pernah akur. Hanya pemangsa dan mangsa. Bagaimana aku bisa percaya padamu?!“ tanya Xavier datar
“Heh. Kelinci dan beruang kutub juga tidak akur. Ah sudahlah, jika memang tak percaya kau bisa menyelidiki alasanku pindah sekolah. Jadi sekarang, kembalikan Bunny”
“Bang. Al udah laper, berapa lama lagi?“ Tanya Alvaro polos yang memang dia sudah merasa lapar. Xavier, Angga, juga Zea menatapnya gemas. Namu seketika mereka langsung waras.
“Nah, kalau begitu Bunny dan aku akan makan di kantin. Bye es kutub~~” Zea pergi menarik Alvaro dan berlari kecil meninggalkan si kembar dengan asap mengepul dikepala mereka.
“Dasar rubah sialan!“ Umpat Angga geram dengan mengepalkan satu lengannya.
—-
End of Chapter 18