Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I love you
Setelah seharian penuh, Chilla dan Raja kembali pulang ke apartemen. Keletihan dan kebahagiaan bercampur aduk di dalam hati mereka. Selama perjalanan pulang, Raja diam, memperhatikan Chilla yang duduk di belakangnya . Ia merasa takjub pada diri Chilla, pada kebaikan hatinya yang baru saja dia lihat lebih jelas, pada sosok wanita yang selama ini sering ia anggap remeh.
Sesampainya di apartemen, Chilla langsung melangkah ke kamar, tapi Raja dengan sigap menahan tangan Chilla. Chilla menoleh, sedikit bingung dengan apa yang dilakukan Raja.
"Kenapa?" tanya Chilla, alangkah lucunya saat dia mengalungkan tangannya di leher Raja, seperti sebuah kebiasaan manja yang sering ia lakukan tanpa disadari.
Raja tak langsung menjawab. Ia duduk di sofa yang ada di ruang tengah, menatap Chilla dengan penuh perhatian. “Ayo, duduk sini,” ujarnya sambil menuntun Chilla untuk duduk di pangkuannya.
Chilla terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda pada Raja malam ini. Ia merasa sedikit canggung, tetapi keingintahuan dalam dirinya membuatnya mengikuti saja. Dengan hati yang sedikit ragu, ia duduk di pangkuan Raja. Posisi ini cukup intim, dan Chilla bisa merasakan detak jantung Raja yang terasa cepat, bahkan lebih cepat dari biasanya.
Chilla menatap Raja, menunggu apa yang akan dia katakan. Raja meraih wajah Chilla dengan lembut, dan memegang pipinya. “Aku nyesel,” ujarnya dengan suara pelan. "Kenapa selama ini aku nggak pernah lihat kamu, padahal kamu cewek yang suka ngejar-ngejar aku, tapi aku kadang maki-maki tingkah kamu di sekolah. Tapi sekarang aku bersyukur karena orang tua kita jodohin kita."
Chilla menatapnya dengan tatapan tajam, sedikit kebingungan. “Apa maksud kamu, Raja?” tanyanya, namun suara hatinya sudah mulai merasa haru.
Raja menghela napas dalam-dalam, menundukkan kepala sejenak, lalu menatap Chilla lagi. "Karena selama dua bulan nikah, kamu nggak seburuk yang aku pikirkan. Kamu cewek manja tapi juga mandiri. Kamu punya hati yang baik. Aku... maaf, kalo selama ini aku udah nyakitin kamu," ujar Raja dengan tulus, suaranya agak bergetar, menandakan ketulusan di dalamnya.
Chilla merasa hatinya terhimpit mendengar kata-kata itu. Semua rasa yang telah ia pendam, yang selama ini ia harapkan, mulai mengalir deras. Di sepanjang pernikahan mereka, Chilla sering merasa bahwa Raja tidak pernah benar-benar melihatnya. Semua perjuangannya untuk membuat Raja menyadari dirinya tampaknya sia-sia. Namun sekarang, pria yang dulu ia kejar, yang selalu mengabaikannya, kini mengakui semua hal yang pernah Chilla rasakan.
Raja mendekatkan wajahnya ke wajah Chilla, menyatukan kening mereka. “Sekarang aku kalah, Chilla,” katanya dengan suara lembut namun penuh penyesalan. "Aku cinta sama kamu, bukan karena kecantikan kamu, tapi karena hati kamu."
Chilla merasa matanya mulai berair. Semua emosi yang terkunci dalam hatinya meledak begitu saja. Dia merasakan betapa Raja memang tidak pernah benar-benar mengerti dirinya, tapi sekarang dia merasa bahwa semuanya mulai berubah. Dua bulan yang mereka jalani dalam pernikahan ini, rasa itu mulai tumbuh. Tak hanya fisik, tapi perasaan yang lebih dalam.
"Raja?" tanya Chilla dengan suara bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Iya, aku cinta sama kamu, Chilla," jawab Raja dengan tegas, lalu dengan lembut, ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Chilla.
Ciuman itu begitu hangat dan lembut, seperti menghapus semua rasa sakit dan kesedihan yang pernah mereka alami. Chilla menutup matanya, meresapi setiap detik dari ciuman itu. Beberapa detik, ciuman itu terasa begitu dalam, lebih dari sekadar fisik. Seolah-olah semuanya berubah dalam sekejap mata, seolah-olah semuanya menjadi lebih baik.
Setelah ciuman itu berakhir, Raja menatap Chilla dalam-dalam, matanya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Chilla membuka matanya perlahan, melihat wajah Raja yang tampak berbeda, lebih lembut, lebih tulus. “Aku nggak pernah berpikir bakal sampai di titik ini, Chilla. Tapi aku bersyukur kamu ada di hidup aku,” ujar Raja, suaranya serak.
Chilla menghapus air matanya yang mulai mengalir. “Aku juga bersyukur, Raja. Aku sudah lama menunggu kamu, aku nggak pernah menyerah. Tapi aku selalu merasa kamu nggak pernah melihat aku... sampai sekarang,” katanya dengan suara lembut, namun hatinya penuh dengan kebahagiaan yang tak terbendung.
Raja mengangguk pelan, matanya tetap terfokus pada Chilla. “Aku salah, Chilla. Aku terlalu sibuk dengan egoku dan rasa cemburu, sampai aku nggak bisa melihat betapa besar cintamu. Tapi sekarang aku sadar, aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”
Chilla tersenyum, walaupun air matanya masih mengalir, ia merasa bahagia seperti tidak pernah sebelumnya. Cinta yang selama ini ia harapkan, akhirnya datang juga. Raja yang dulu sering menyakitinya, sekarang justru menjadi sosok yang ia harapkan. Dan meskipun perjalanan mereka belum selesai, Chilla merasa yakin bahwa dengan cinta yang tulus, mereka akan melewati segala rintangan bersama.
Raja menggenggam tangan Chilla dengan erat, seperti berjanji tidak akan melepaskannya lagi. "Aku janji, Chilla. Aku nggak akan pernah nyakitin kamu lagi," katanya dengan tegas.
Chilla menatapnya, tersenyum dengan penuh rasa percaya. "Aku juga janji, Raja. Kita jalani semuanya bersama."
Dan malam itu, di antara pelukan dan ciuman yang penuh makna, Chilla dan Raja merasakan kedamaian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Mereka tahu, walaupun hubungan mereka tidak selalu sempurna, mereka memiliki cinta yang kuat untuk menghadapi segala hal. Sebuah cinta yang datang terlambat, tapi lebih indah dari yang mereka bayangkan.
******
Suasana di sekolah pagi itu terasa berbeda. Sekelas penuh dengan bisikan teman-teman yang tak henti-hentinya membicarakan perubahan yang terjadi pada hubungan Raja dan Chilla. Raja, yang biasanya terlihat agak cuek, kini tampak lebih terbuka dan mesra dengan Chilla. Semua mata tertuju pada mereka berdua, terutama setelah Raja dengan santai merangkul pinggang Chilla saat mereka memasuki kelas. Ini adalah pertama kalinya Raja berani menunjukkan perhatian lebih kepada Chilla di depan umum.
Chilla sendiri merasa bahagia. Cinta yang selama ini ia perjuangkan, akhirnya berbalas. Selama bertahun-tahun dia mengejar Raja, selalu merasa seperti tidak dianggap. Tapi sekarang, ada kehangatan dan ketulusan dalam sikap Raja yang membuat hatinya merasa dihargai. Mereka berjalan menuju meja yang sama, duduk berdampingan, dan tak ada lagi jarak di antara mereka.
Tiba-tiba, suara Regas memecah keheningan di kelas. "Kan gue juga udah bilang waktu itu, pasti kalian pacaran kan?" tanya Regas sambil melirik Raja dengan senyum lebar.
Raja hanya terkekeh, lalu membalas, "Iya, iya. Gimana, lo udah bisa nebak juga kan?"
Tian yang duduk di sebelah Regas langsung menimpali, "Iya nih, harusnya lo ngasih kita traktiran, Raja!" serunya dengan nada bercanda. Tian selalu menjadi teman yang aktif dan suka menggoda, dan kali ini dia tak mau kehilangan kesempatan untuk melontarkan lelucon.
Chilla tertawa, menyadari bahwa teman-temannya sudah mulai mengira-ngira tentang hubungan mereka. “Nanti gue yang traktir kalian, Peti sama Alana juga, tapi nanti kalo ada waktu karena gue mau ajak kalian jalan-jalan,” ujar Chilla dengan senyum manis, merasa bangga bisa memberi kejutan pada teman-temannya.
Keempat orang itu terlihat sangat senang mendengarnya. Mereka tahu, jika Chilla yang bilang akan traktir, pasti mereka akan diajak ke tempat yang seru. Mereka sudah terbiasa dengan sikap Chilla yang baik hati dan murah hati. Tidak ada yang bisa menandingi keceriaan mereka saat ini.
Tapi, Raja yang tidak terlalu suka suasana ramai seperti itu, segera melontarkan kata-kata dengan nada santai. "Udah sana, ke bangku kalian sendiri," usirnya dengan penuh wibawa, tapi tetap dengan senyuman tipis di wajahnya.
Keempat teman mereka langsung mematuhi perintah Raja, meski masih tersenyum lebar karena kegembiraan yang menyertai mereka. Mereka tahu, meskipun Raja tampak cuek dan pendiam, dia sangat peduli pada Chilla, dan itu sudah cukup membuat mereka yakin bahwa hubungan mereka memang sudah berubah. Chilla dan Raja bukan hanya pasangan biasa. Mereka lebih dari itu.
Setelah teman-temannya kembali ke tempat duduk masing-masing, Chilla duduk dengan nyaman di samping Raja. Mereka berdua duduk dengan suasana yang lebih tenang dan intim. Raja menggenggam tangan Chilla, tanda bahwa dia tidak ingin melepaskan wanita itu lagi.
Chilla menatap Raja, senyum di wajahnya semakin lebar. "Makasih ya, Raja," katanya lirih, merasa sangat bersyukur atas apa yang terjadi. Selama ini, dia merasa seperti hanya berjuang sendirian, tetapi sekarang, Raja ada di sisinya, mendukungnya, dan lebih dari itu, mencintainya dengan tulus.
Raja membalas tatapan Chilla dengan lembut. "Enggak usah makasih-makasih, Chilla. Kita sekarang udah saling ngerti, kan?" ujarnya, matanya penuh dengan kehangatan.
Chilla hanya mengangguk, merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan Raja, dia merasa segala sesuatu menjadi lebih baik, lebih mudah, dan lebih bahagia.
Walaupun banyak teman-teman yang masih penasaran dan terkadang menggoda mereka, Chilla dan Raja tetap menjaga satu sama lain dengan penuh perhatian. Mereka tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan, karena mereka tahu, yang terpenting adalah mereka berdua dan hubungan mereka yang baru dimulai.
****
Raja tengah duduk di meja belajarnya, fokus menatap layar laptop. Sudah tiga jam berlalu sejak ia mulai mengerjakan tugas yang diberikan oleh Papa Bian, ayahnya. Tugas itu adalah langkah awal agar Raja mulai belajar menangani urusan kantor keluarga mereka. Papa Bian telah memutuskan untuk memberikan Raja tanggung jawab lebih besar, bukan hanya untuk melatihnya, tetapi juga untuk memastikan Raja bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami.
Raja sadar, uang bulanan sebesar sepuluh juta dari ayahnya tidak akan cukup untuk menghidupi dirinya dan Chilla. Apalagi dengan kebutuhan yang terus meningkat, ia merasa harus segera mandiri dan mencari penghasilan sendiri. Namun, kesibukannya malam ini mulai mengusik Chilla, yang sedari tadi duduk di kasur sambil memainkan ponselnya. Chilla sudah beberapa kali mencoba mengalihkan perhatian Raja, tapi tidak berhasil.
Akhirnya, dengan sedikit gemas, Chilla bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekati Raja. Ia dengan berani duduk menyamping di pangkuan Raja, menghalangi pandangan pria itu ke arah laptop. "Chilla," tegur Raja sambil mendongak ke arahnya.
"Ngeselin banget sih," keluh Chilla dengan nada manja. "Kamu udah tiga jam loh sibuk sama laptop itu. Ini udah jam 10 malam, sayang. Besok kita kan harus sekolah juga. Kamu gak capek apa?"
Raja menghela napas, mencoba menenangkan dirinya dari gangguan kecil ini. "Chilla, aku harus selesaikan ini. Aku harus punya penghasilan sendiri biar bisa nafkahin kamu. Uang jatah bulanan dari Papa gak cukup kalau aku terus mengandalkannya," jelas Raja, meski nada suaranya tetap lembut.
Chilla mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku bosen, kamu gak peduli sama aku malam ini," protesnya. Namun, ia tahu ada keseriusan di mata Raja yang membuatnya tidak bisa melanjutkan rengekannya.
Raja menatapnya serius. "Aku cuma minta satu hal sama kamu, boleh?" tanyanya.
"Apa?" Chilla menatapnya balik, penasaran.
Raja mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Kamu mau kan berhenti pakai uang dari ayah kamu? Aku janji, aku bakal penuhi semua keperluan kamu. Kamu sekarang udah jadi istri aku, dan aku ngerasa gak pantas kalau kamu masih pakai uang dari ayah. Itu tanggung jawab aku sekarang."
Mata Chilla sedikit membulat, tidak menyangka permintaan Raja akan sejauh ini. Namun, setelah beberapa saat terdiam, ia bangkit dari pangkuan Raja dan berjalan menuju meja nakas. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah dompet kecil. Tanpa banyak bicara, ia mengambil tiga kartu dari dalam dompet itu, lalu kembali menghampiri Raja.
Chilla menyerahkan ketiga kartu itu kepada Raja. "Ini, kamu kembalikan sendiri ke ayah aku," ucapnya dengan nada tegas, meskipun ada senyuman kecil di sudut bibirnya.
Raja terkejut dengan respons itu. Ia tidak menyangka Chilla akan menyerahkan kartu-kartu itu begitu saja, tanpa perlawanan. "Serius kamu gak keberatan?" tanyanya, memastikan.
Chilla mengangguk. "Aku percaya sama kamu, Raja. Kalau kamu bilang kamu bakal penuhi semua kebutuhan aku, aku percaya. Tapi kamu harus ingat, aku gak cuma butuh uang. Aku butuh perhatian kamu juga," ucapnya sambil menatap Raja dengan penuh keyakinan.
Raja tersenyum kecil, merasa bangga sekaligus tersentuh dengan sikap Chilla. Ia menggenggam tangan Chilla, menatapnya dalam-dalam. "Makasih, Chilla. Aku janji, aku gak akan ngecewain kamu," katanya tulus.
Chilla tersenyum manis, lalu kembali duduk di pangkuan Raja, kali ini dengan sikap yang lebih santai. "Tapi untuk sekarang, kamu tutup laptop itu dulu. Kita istirahat, ya? Besok kamu bisa lanjut lagi," pintanya.
Raja tertawa kecil. "Iya, iya. Kamu menang malam ini," ucapnya sambil menutup laptopnya. Ia meletakkannya di atas meja, lalu memeluk Chilla dengan erat. Mereka berdua akhirnya beranjak ke tempat tidur, meninggalkan pekerjaan untuk sementara waktu. Raja merasa lega, sementara Chilla merasa bahagia karena akhirnya bisa mendapatkan perhatian penuh dari suaminya.
Chilla merasa cintanya semakin dihargai. Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka siap melaluinya bersama.
*****
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Cahaya matahari sudah menembus tirai kamar, tetapi Raja dan Chilla masih terlelap di tempat tidur mereka. Keduanya tampak nyaman dalam pelukan, seolah waktu bukanlah masalah. Namun, Raja tiba-tiba terbangun karena ponselnya berbunyi, mengingatkannya akan alarm yang ia pasang semalam. Ketika melihat layar ponselnya, Raja terkejut.
"Chilla, hei, bangun," ujarnya lembut sambil mengusap pipi istrinya.
Chilla hanya melenguh pelan, memeluk bantal lebih erat tanpa membuka matanya. Raja sedikit gemas, tetapi tetap mencoba membangunkannya. "Chilla, bangun. Kita telat! Ini udah hampir jam tujuh," katanya dengan nada lebih tegas.
Chilla terkejut mendengar ucapan itu, matanya langsung terbuka lebar. Ia buru-buru duduk di tempat tidur. "Gimana dong? Kita belum mandi!" serunya panik, melihat jam dinding di kamar mereka.
Raja menenangkan Chilla sambil menggaruk belakang kepalanya. "Ya udah, kamu cepet mandi. Tapi jangan lama-lama, ya. Kita harus gantian."
Chilla menatapnya sejenak, lalu tersenyum jahil. "Kenapa nggak mandi bareng aja?" tanyanya dengan nada menggoda.
Raja menghela napas dalam-dalam. "Chilla," tegurnya dengan nada memperingatkan.
"Ck! Kita kan udah nikah, sayang. Lagian, ini udah telat banget kalau harus mandi sendiri-sendiri. Kamu mau kita dihukum gara-gara telat ke sekolah?" ucap Chilla, berusaha meyakinkannya.
Raja memandang istrinya dengan ragu. Ia tahu Chilla bukan tipe yang akan menyerah begitu saja. "Chilla, kalau mandi bareng malah tambah lama," bantah Raja.
"Nggak, aku janji cuma mandi doang. Nggak ada alasan lain, serius. Ayo dong, aku nggak mau dihukum," desaknya dengan nada memohon sambil menarik-narik tangan Raja. Wajahnya terlihat begitu manis, membuat Raja akhirnya menyerah.
"Oke," jawab Raja pasrah. "Tapi jangan macam-macam, ya."
Chilla mengangguk dengan antusias, tetapi sebelum pergi ke kamar mandi, ia berhenti dan berkata, "Gendong."
Raja mengerutkan kening. "Hah? Gendong? Chilla, kamu bisa jalan sendiri."
Chilla merengek, "Ayolah, sayang. Biar lebih cepet. Kita kan lagi buru-buru."
Raja menghela napas panjang, tapi akhirnya menurut. Ia memutar bola matanya, kemudian menunduk sedikit untuk menggendong Chilla dengan gaya koala. Chilla melingkarkan tangan dan kakinya di tubuh Raja sambil tertawa kecil. "Udah kaya drama romantis, ya," goda Chilla.
"Drama apaan? Udah, jangan banyak ngomong. Kita mandi biar nggak makin telat," balas Raja sambil melangkah menuju kamar mandi.
Saat di kamar mandi, suasana cukup kocak. Meskipun Chilla mencoba serius, ia tidak bisa menahan diri untuk menggoda Raja sesekali. Raja, di sisi lain, hanya fokus menyelesaikan semuanya secepat mungkin agar tidak membuang waktu.
"Chilla, udah. Kamu kelamaan," tegur Raja saat melihat istrinya malah sibuk memutar-mutar shower.
"Kan aku cuma nyoba airnya," sahut Chilla dengan senyum jahil.
"Nyoba apaan? Cepet selesai, kita harus ganti baju habis ini," ujar Raja sambil memberikan sabun padanya.
Meskipun ada sedikit kegaduhan, akhirnya mereka berhasil selesai dalam waktu yang relatif singkat. Setelah keluar dari kamar mandi, keduanya segera berganti pakaian sekolah. Raja mengenakan seragam putih abu-abunya dengan cepat, sementara Chilla berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang masih basah.
"Ayo cepet, Chilla. Kita udah telat banget," ujar Raja sambil memakai sepatu.
"Iya, iya. Aku udah siap kok," jawab Chilla sambil meraih tasnya. Mereka segera keluar dari apartemen, menuju parkiran di mana motor Raja terparkir.
Dalam perjalanan ke sekolah, Chilla memeluk pinggang Raja erat-erat sambil bersandar di punggungnya. "Raja, makasih ya udah mau mandi bareng tadi," ucapnya pelan, hampir seperti berbisik.
Raja hanya tersenyum kecil. "Iya, tapi jangan bikin kebiasaan, ya. Aku nggak mau kalau telat terus," jawabnya.
Chilla tertawa kecil. "Nggak kok. Tapi seru juga, kan?"
Raja hanya menggelengkan kepala, berusaha menahan senyum. Meski awalnya kesal, ia tidak bisa memungkiri bahwa kehadiran Chilla membuat harinya jadi lebih berwarna. Di balik keisengannya, Chilla selalu berhasil membuat Raja merasa nyaman dan bahagia.