Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lampu merah
"Nah, ini pakaian yang dipilih oleh Bryan dan Alan, tapi mama gak akan kasih tahu mana pilihan Alan, dan mana pilihan Bryan."
Mama memberikan dua baju saat kami sudah di dalam mobil.
"Yang ini, Mah." gaun putih lah yang menjadi pilihanku.
"Yaaah, Abang kalah deh."
"Itu Alan yang pilih, Sayang." mama menjelaskan.
"Udah gue transfer," ujar Bryan yang duduk di sebelah kananku.
"Transfer apa?" tanyaku tidak mengerti.
"Kami taruhan, yang kalah transfer 10 juta."
"Ih, kenapa Abang gak kasih kode kalau baju pink ini Abang yang pilih, nanti aku bakalan pilih baju yang Abang siapkan buat Ara."
"CK!"
Aku terkekeh mendengar Alan.
"Nanti kita mampir pom bensin dulu buat kamu ganti baju."
"Ke mini market aja, Pah. Ara mau jajan, laper."
"Kamu gak jajan tadi di sekolah?" tanya Bryan kaget.
"Lupa bawa uang," jawabku enteng.
Aku melihat Alan bereaksi, namun dia kembali diam karena sadar di mana kami berada saat ini. Jika berdua saja, aku pasti habis dimarahi olehnya.
"Ini kenapa papah yang nyetir, kenapa gak Abang atau kakak saja yang di depan."
"Papa yang mau. Katanya papa pengen nyetirin anak-anaknya," papar Mama.
Saat melihat mini market di depan sana, papa memutar setirnya dan parkir di depan mini market tersebut.
"Aku yang antar. Sekalian jajan pakai uang cuma-cuma yang tadi."
"Sialan!" Bryan melempar tisu yang digulung pada Alan. Kami berdua pun masuk.
"Aku tunggu di sini, kamu masuk saja."
"Iya, Kak." Alan menunggu di depan toilet mini market saat aku berganti pakaian. Setelah selesai, aku membeli beberapa cemilan untuk ganjal perut.
"Kenapa tadi gak bilang kalau kamu gak bawa uang, sayang. Aku kan ke sekolah."
"Kan tahu nya pas mau istirahat."
"Jangan diulang lagi ya," ucapnya sambil membelai kepalaku dengan lembut.
"Iya, kakak."
"Ada enaknya dan ada gak enaknya ya kita tinggal di rumah mama."
"Gak enak kenapa?" tanyaku sambil memilih sosis siap makan yang ada di showcase.
"Gak bisa berduaan sama kamu," bisiknya pelan di telinga.
"Ih, dasar!" aku menyikut perutnya. Dia terkekeh.
Selesai membayar, aku dan Alan kembali ke mobil. Cemilan yang aku beli, aku bagikan pada semua orang termasuk Alan.
"Ternyata enak ya makan dari uang cuma-cuma," ledek Alan. Bryan berdecih kesal dengan godaan tersebut.
Perjalan menuju tempat kami makan malam, ternyata lumayan jauh. Bahkan sudah dua jam berlalu papa bilang tempatnya masih sangat jauh.
Lelah setelah belajar, perut terisi oleh cemilan, juga AC yang dengan lembut mengusap wajah membuat aku merasa ngantuk.
"Kamu ngantuk," tanya Bryan.
"Hmmm."
"Kayak bayi aja, perut terisi langsung ngantuk. Sini, bobo." Bryan menarik kepalaku lembut, lalu memeluk dengan penuh kehangatan. Aku tahu, sebenarnya Alan ingin melakukan hal yang sama, pun denganku. tapi kondisinya sungguh tidak mendukung.
"Ra, bangun sebentar. Kamu bobo ke kakak dulu ya. Abang mau ke toilet." samar-samar aku mendengar ucapan Bryan. Entah sudah berapa lama aku tertidur.
Alan membuka tangannya, lalu mendekap tubuhku. Aku pun melingkarkan tangan kananku pada tubuhnya.
Ah, nyaman nya.
Sesekali aku merasakan Alan mengusap-usap lenganku. Dan aku kembali melanjutkan mimpi. Tidak, rupanya tidak bisa. Meski merasa nyaman, tapi aku tidak bisa tertidur lelap seperti saat dipeluk Bryan.
Aku hanya ingin menikmati moment ini tanpa dilwati hanya karena tidur. Alan tersenyum karena dia tahu aku tidak tertidur. Diam-diam aku mencubit pinggangnya, dia berusaha menahan meski merasa geli.
"Andai Lo bisa bersikap baik dan manis kayak gini dari dulu."
"Kenapa memangnya?"
"Dia udah terlalu sering menangis gara-gara sikap Lo sama dia."
"Iya, Alan. Memangnya kamu gak bisa ya kalau kamu bersikap baik sama Ara? Mama tahu dia bukan adik kamu, tapi setidaknya bukalah hati kamu buat dia. Tanamkan dalam pikiran kamu jika dia itu adik kamu sendiri."
"Gak bisa, Mah."
"Kenapa? Coba lihat, Ara nampak sangat nyaman dalam dekapan kamu."
"Ada alasan yang tidak bisa Alan jelaskan."
"Jangan-jangan Lo suka ya sama Ara? Hahahaha."
"Ngomong apa sih, Yan!" bentak Mama.
"Gak bisa, kamu jangan sampai suka sama Ara. Bagaimana pun juga dia anak kesayangan papa. Papa gak mau kalau tiba-tiba dia berubah statusnya jadi menantu."
Setelah mendengar ucapan papa, aku merasakan denyut jantung Alan semakin cepat. Dia seolah marah dan tidak terima. Dengan lembut aku mempererat pelukanku agar dia bisa menenangkan diri.
"Tapi bagus gak sih, Pah. Selama ini kan eyang ngelarang papa dan mama masukin Ara ke dalam daftar keluarga. Dia bahkan melarang kalian memajang foto keluarga yang ada aranya, kalau Ara nikah entah sama aku atau Alan, kan Ara otomatis jadi keluarga kita."
"Apapun alasannya, papa tetap tidak setuju!"
"Kalau menurut mama, gimana?" tanya Bryan.
"Aneh sih ya, tiba-tiba anak menjadi menantu. Sebenarnya gak apa-apa kalau memang diantara kalian ada yang jatuh cinta sama Ara, cuma aneh aja rasanya."
"Tidak! Papa bilang tidak, titik."
Suara papa meninggi. Aku membenamkan wajah pada dada Alan. Rupanya gerakan tersebut disadari oleh Bryan.
"Papa, sih, teriak. Ara jadi bangun."
Telanjur ketahuan, aku pun pura-pura membuka mata seolah memang tertidur sejak tadi. Mengucek mata, lalu mengusap wajah.
"Kenapa sih, berisik banget?" tanyaku dengan suara yang sengaja dibuat serak.
"Berisik ya, Nak. Papa minta maaf, papa kesal sama Abang mu tadi."
Aku menoleh pada Bryan.
"Bukan apa-apa. Biasalah anak cowok. Mau bobo lagi, Ra?"
Aku menggelengkan kepala pelan. Mengambil minum, lalu kembali memakan ciki. Mengalihkan pikiran yang sebenarnya sangat kalut.
Sengaja aku membelakangi Alan, dan duduk menghadap Bryan. Mengajaknya becanda dan membicarakan banyak hal. Namun aku merapatkan tubuhku pada Alan, bahkan sesekali menyandarkan punggung saat aku tertawa terbahak-bahak.
Apa yang aku rasakan, pasti dirasakan oleh Alan. Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini? Tidak ada.
"Nah, sekarang giliran aku yang ngantuk. Tidur bentar ah." Bryan menyandarkan kepalanya pada pintu mobil. Suasana kembali hening. Aku pun bingung harus melakukan apa. Akhirnya aku memutuskan mengambil ponsel dan mulai mengetik pesan.
[Are you oke?]
Alan mengambil ponselnya dengan tangan kiri. Lalu dia membalas chat dariku. sengaja dia tidak mengangkat tangannya agar tidak ketahuan oleh papa dan mama.
[No.]
[I love you, honey]
[Me too]
[Jangan sedih ya, Kak. Nanti Ara ikutan sedih juga]
[Aku tidak sedih, aku memikirkan kamu.]
[Kenapa]
[Takut kamu mundur dari hubungan kita]
Aku hendak mengetik untuk mengatakan tidak padanya. Namun, saat melihat papa dan mama sedang ngobrol di depan, aku merasa jadi anak yang jahat telah mengkhianati mereka. Bahkan papa jelas mengatakan jika dia tidak suka andai Alan dan aku berhubungan lebih dari sekedar adik kakak.
Aku kembali menyimpan ponsel, lalu bersandar pada bahu Bryan yang mulai terlelap.