Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#14 - Kedatangan di Akademi Valdris
Di dalam Aula Istana, suasana terasa tegang.
Ravion Belmont berdiri dengan ekspresi gelap, sorot matanya tajam menatap Kaisar Magnus.
Putranya babak belur—karena seorang gadis.
Dan lebih mengejutkan lagi, bukannya menghukum gadis itu, Kaisar malah mengirimnya ke Akademi Valdris saat itu juga.
"Perlindungan terselubung."
Gideon dan Isolde, orang tua gadis itu, bukannya marah. Justru… mereka bangga.
Magnus menyandarkan diri di singgasananya, suaranya terdengar tenang, tapi penuh otoritas.
"Lucian akan menjaganya di sana. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Gideon tertawa kecil. Dalam hatinya, ia berpikir sebaliknya.
"Yang Mulia… jika ada yang harus dikhawatirkan, itu bukan putriku."
"Melainkan Akademi Valdris."
***
Gerbang Akademi Valdris
Angin sore berembus pelan, membawa aroma khas bunga musim semi. Langit keemasan memantulkan cahaya lembut pada dinding batu Akademi Valdris yang menjulang megah.
Di depan gerbang tinggi, seorang gadis berdiri dengan santai, matanya menyapu ukiran kuno di pintu besi.
Bibirnya melengkung dalam senyum kecil.
"Akhirnya aku kembali."
Lalu lalang para murid di sekitar gerbang mendadak melambat. Bisikan-bisikan terdengar.
"Siapa dia?"
"Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya."
Selene melangkah maju—namun dua penjaga bersenjata segera menghadangnya.
"Berhenti. Sebutkan identitas dan keperluanmu," kata salah satu dari mereka dengan suara tegas.
Selene melirik mereka sekilas.
"Kaisar yang mengirimku."
Para penjaga saling berpandangan. Ragu. Tatapan mereka menelusuri pakaian sederhana yang dikenakannya.
"Bangsawan macam apa yang berpakaian seperti ini?"
"Kau pikir kami akan percaya begitu saja?" suara penjaga terdengar mencemooh. "Jika benar, tunjukkan surat perintah."
Selene mendesah, lalu menyandarkan satu tangan ke pinggangnya.
"Tsk. Klasik."
Dia bisa saja menjelaskan lebih lanjut. Tapi untuk apa?
Matanya berkilat emas pekat.
"Buka gerbangnya… atau aku dobrak sekarang."
***
Konflik di Gerbang
"Tunggu sebentar!"
Suara nyaring terdengar dari belakang.
Seorang pemuda berperawakan tegap melangkah mendekat, jubah bangsawannya berkibar diterpa angin.
Wajahnya angkuh, sorot matanya merendahkan.
Para penjaga segera memberi hormat.
"Tuan Muda Louise," salah satu dari mereka menyapa dengan hormat.
Louise melirik Selene, lalu tertawa kecil.
"Gadis kumuh seperti ini mengaku dikirim Kaisar?" Ia tertawa sinis. "Betapa tidak tahu malunya."
Selene menatapnya sebentar, lalu… tertawa.
Bukan tawa geli. Tapi tawa berbahaya.
"Orang bodoh lagi," gumamnya santai.
Louise tersinggung. Ia mengibaskan tangan—dan antek-anteknya segera mengepung Selene.
"Kau pikir tempat ini menerima sampah sepertimu?"
Selene hanya menyeringai.
BAM!
Satu pukulan—murid di depannya terhuyung, darah mengucur dari hidungnya.
"Brengsek!"
Serangan lain datang. Selene merunduk, menangkap tangan lawan, lalu memelintir dengan keras.
KRRAKK!
Jeritan kesakitan menggema.
Dari kiri, murid lain mencoba menendang. Selene berputar, menangkap kakinya di udara—lalu menghantamnya ke tanah.
Louise membeku.
Dalam kurang dari lima detik, tiga anteknya rata dengan tanah.
Dan sebelum ia sempat bereaksi—Selene sudah di depannya.
Tangannya mencengkram leher Louise, mengangkatnya dari tanah dengan satu tangan.
"Arghhhhh…!"
Wajah Louise memerah, lalu menghitam.
"Le-lepas… kan…"
Lucian muncul dari arah dalam akademi, matanya langsung menangkap kejadian itu.
"Selene, hentikan!"
Selene melirik, lalu menyeringai.
"Ohh, Putra Mahkota? Kau juga di sini?"
Lucian tidak membalas. Ia berjalan cepat mendekat, lalu meraih pergelangan tangan Selene.
"Turunkan dia."
Selene mendesah, lalu…
BRUK!
Louise jatuh terjerembab, terbatuk-batuk.
Dari sudut matanya, Selene melihat bagaimana ekspresi Lucian sedikit berubah.
Dia mirip ayahnya.
Selene menepuk tangannya, lalu tersenyum pada penjaga.
"Bolehkah aku masuk sekarang?"
Penjaga itu buru-buru mengangguk, wajahnya pucat.
Selene melangkah melewati gerbang Akademi Valdris dengan santai.
Dibaliknya, murid-murid masih menatapnya—ada yang terkesima, ada yang takut, ada yang merasa terancam.
Tapi Selene?
Ia tidak peduli.
Dia sudah menaklukkan Valdris sekali.
Dan kali ini…
Dia akan menguasainya.
***
Pertemuan Kembali
Selene berjalan menyusuri lorong Akademi Valdris, mengikuti ingatan yang masih tertanam kuat di benaknya. Tidak banyak yang berubah. Dinding-dindingnya masih dihiasi cat biru tua dan cokelat, warna yang dulu ia benci karena terasa tua dan membosankan. Namun, sekarang, justru warna inilah yang memberinya rasa nostalgia.
Siapa sangka bahwa sesuatu yang dulu ia anggap usang kini terasa begitu akrab dan—entah bagaimana—menenangkan?
Ia sampai di taman kecil di ujung lorong, lalu berbelok ke kiri. Tangga menuju lantai atas masih sama seperti dulu, tangga yang sering ia lewati bertahun-tahun lalu. Langkahnya mantap saat menaiki anak tangga satu per satu, sampai akhirnya berdiri di depan pintu kayu tua dengan ukiran elegan.
KEPALA AKADEMI VALDRIS
Tulisan itu masih jelas terlihat, tetapi nama di bawahnya membuat napasnya tertahan sesaat.
Regis Vermillion.
Jari-jarinya sedikit mengepal. Regis? Dia?
Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan debaran kecil dalam dadanya. Di antara teman-temannya dulu, Regis selalu yang paling sulit dihadapi—terlalu peka, terlalu cerdas, dan terlalu menyebalkan.
Selene mengulurkan tangan dan mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
…Hening.
Ia mengerutkan kening dan mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Tok. Tok. Tok.
Masih tidak ada jawaban.
Dua orang murid kebetulan melintas di dekatnya, dan Selene menghentikan langkah mereka. "Apakah Kepala Akademi sedang pergi?"
Murid perempuan itu menggeleng. "Tidak, dia ada di dalam. Sejak pagi belum keluar sama sekali."
Selene menghela napas. Pria ini…
Baiklah.
Ia mengetuk sekali lagi, kali ini lebih tegas. "Kepala Akademi, aku Selene d’Aragon. Aku datang untuk melapor atas perintah Kaisar Magnus Ignis."
Lagi-lagi, hening.
Alis Selene berkedut. Kesabarannya menipis.
BRAK!
Pintu kayu tua itu terbuka dengan keras setelah satu tendangannya. Beberapa kertas beterbangan ke udara, jatuh berserakan di lantai ruangan.
Dan di sana, duduk dengan santai di balik meja kerjanya, seorang pria dengan rambut hitam pekat dan mata tajam nyaris seperti obsidian. Buku terbuka di tangannya, ekspresinya tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Seolah ia tidak mendengar apapun.
"Apakah kau sudah tuli sekarang?" Selene menyipitkan mata, melipat tangannya di dada.
Regis akhirnya melirik ke arahnya, sejenak mengamati, lalu kembali membaca bukunya tanpa berkata apa-apa.
Kesal, Selene maju lebih dekat dan mengetuk meja kayu di depannya. Tok. Tok. Tok.
"Permisi, Tuan. Jika kau mengalami masalah pendengaran, sebaiknya pergi ke dokter. Bukan duduk di sini dan berpura-pura sibuk."
Regis masih tidak merespons.
"REGIS VERMILLION!"
Akhirnya, pria itu meletakkan bukunya dengan santai. Sepasang mata hitamnya menatapnya dalam diam, sebelum akhirnya ia berkata dengan nada datar,
"Kau siapa?"
Jari-jari Selene gemetar. Pria ini benar-benar…!
Dulu, Regis selalu seperti anjing kecil yang mengibaskan ekornya setiap kali melihatnya. Tapi sekarang? Dia bertingkah seperti pria bodoh yang kehilangan ingatan!
Selene menatapnya tajam. "Aku Putri Gideon d’Aragon. Selene d’Aragon. Dan aku di sini atas perintah Kaisar. Aku bahkan sangat enggan untuk menemuimu."
Tatapan Regis sedikit berubah saat nama itu disebut, matanya bergerak tipis seolah mengingat sesuatu. Tapi, alih-alih menjawab, dia malah kembali menatap bukunya.
"Oh," gumamnya santai.
"Oh?" Selene memiringkan kepalanya, menahan diri agar tidak melempar sesuatu ke arah pria itu.
"Apa kau belum membaca surat dari Kaisar?" tanyanya lagi, setengah putus asa.
Regis melirik sepucuk surat di mejanya yang masih tertutup segel lilin berlogo bunga lily.
"...Belum."
Selene memijat pelipisnya. "Ya Tuhan, kau masih belum membacanya."
Tanpa basa-basi, ia meraih surat itu dan meletakkannya di depan Regis. "Baca. Sekarang."
Regis akhirnya mengambil surat itu, memecahkan segelnya, dan membuka isinya. Tatapannya langsung berubah saat ia membaca kalimat pertama.
> "Regis Vermillion. Aku tahu jika kau tidak akan membaca suratku."
"Dan jika kau membacanya, artinya kau sudah bertemu Selene."
"Dia adalah putri Gideon. Gideon dan Isolde baru saja kembali hari ini, dan putrinya sudah membuat debut yang spektakuler."
"Jadi aku mengirimkan dia padamu. Jika kau melihatnya dengan baik, kau akan tahu mirip siapa dia. Hahahahaha."
"Bertahanlah, kawan."
—Magnus.
Selene menyilangkan tangan, menunggu reaksinya.
Regis menutup surat itu, menghela napas berat. "Bajingan itu."
Ia lalu mengangkat wajahnya, menatap Selene dari kepala hingga kaki. Sorot matanya menilai, memperhatikan posturnya yang tegap dan bahu yang lebar untuk seorang perempuan. Dari caranya berdiri saja, dia bisa menebak bahwa Selene adalah pemain pedang yang tangguh.
"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Selene curiga.
"Kau tidak takut padaku?" balas Regis.
Selene mendengus. "Mengapa aku harus takut?"
"Semua murid kabur saat melihatku."
"Dan? Apa aku harus bersujud di hadapanmu?"
Regis menyeringai kecil, tatapan hitamnya menyala dengan niat jahil. "Kau asistennya mulai sekarang."
Selene mengerjapkan mata. "Tidak mau."
"Ini perintah."
"Aku tetap tidak mau."
Regis tersenyum, tetapi ada kilatan bahaya dalam sorot matanya. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan menolaknya."