Nyatanya, cinta sepihak itu sangat menyakitkan. Namun, Melody malah menyukainya.
Cinta juga bisa membuat seseorang menjadi bodoh, sama seperti Venda, dia sudah cukup sering disakiti oleh kekasihnya, namun ia tetap memilih bertahan.
"Cewek gak tau diri kayak lo buat apa dipertahanin?"
Pertahankan apa yang harus dipertahankan, lepas apa yang harus dilepaskan. Jangan menyakiti diri sendiri.
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Karena Gian sedang sibuk dengan OSIS, Melody jadi pulang sendirian. Sedangkan Venda sudah pulang bersama Rangga. Entah apa yang merasuki cowok itu hingga mau mengantarkan Venda pulang.
Saat ingin belok ke persimpangan, sebuah motor menghalangi jalannya. Melody menyipitkan matanya untuk melihat si pengendara.
"Raden?" bisiknya.
Melody hanya diam ketika Raden turun dari motor kerennya dan menghampiri dirinya dengan raut wajah datar.
"Turun. Ikut gue," ucap Raden sembari memegang lengan Melody.
"Gak mau!" sentak Melody. Dia hendak melajukan motornya, namun Raden langsung mencabut kunci motornya dan dia masukkan ke dalam kantong celana.
"Balikin! Kita udah gak ada urusan lagi, Raden!"
Raden adalah mantan Melody yang paling toxic. Cowok itu bahkan pernah menampar Melody, meski hanya sekali. Raden satu angkatan dengan Gian, tapi mereka beda sekolah.
"Jangan ganggu aku!" sentak Melody lagi.
"Ohh. Lo udah berani sama gue sekarang? Ini pasti pengaruh buruk dari cowok cupu itu kan?" sinis Raden.
Melody mengerutkan keningnya. "Cowok cupu siapa sih? Mending balikin kunci motor aku sekarang!" Melody turun dari motornya dan berusaha merebut kunci motornya dari Raden.
Kekuatan mereka jelas berbeda. Tentu saja Melody kalah saat Raden menangkup kedua tangannya sekaligus.
"Gak usah banyak tingkah! Lo cukup diam dan turuti apa yang gue mau!"
"Ogah!" Melody memberontak keras, namun sayangnya itu semua sia-sia.
"Lo mau gue bongkar rahasia kita? Hm? Kalau ketua OSIS itu tau kelakuan lo sewaktu dulu, gimana ya reaksi dia?" bisik Raden membuat Melody terdiam kaku. Matanya menatap penuh kebencian pada Raden.
"Bahkan gue masih ada buktinya. Lo mau lihat—"
"CUKUP!" pekik Melody.
Raden tersenyum miring melihat reaksi mantannya itu.
"Kalau gitu, diam dan turuti perintah gue."
Raden menggendong Melody dan menaikkan gadis itu ke atas motornya. Setelahnya ia naik, sebelah tangannya menarik tangan Melody agar memeluknya.
Setelah memastikan si gadis duduk, Raden segera melajukan motornya membelah ibu kota dengan kecepatan tinggi. Untung saja Melody masih memakai helm miliknya.
Padahal sudah sore dan hampir malam. Tapi Raden malah mengajaknya pergi. Melody hanya bisa pasrah.
Nyatanya Melody adalah gadis lemah yang diancam sedikit saja langsung ciut.
***
Hampir 1 jam perjalanan, kini mereka berdua sudah berada di sebuah tempat.
"Turun," titah Raden. Melody segera menurutinya, namun matanya memperhatikan sebuah gedung di depannya.
"Ini tempat apa, Raden?" tanya Melody. Dia membiarkan Raden melepaskan helm yang ada di kepalanya.
"Gak usah banyak tanya." Raden menarik tangan Melody untuk masuk ke dalam.
Samar-samar Melody mendengar suara gelak tawa yang ramai. Langkah kakinya sontak terhenti. Dia memegang tangan Raden yang menarik tangannya.
"Raden, aku takut...," rengek gadis itu.
"Gue bilang nurut ya nurut! Lo mau gue sebar semuanya?" Tatapan mata Raden semakin tajam hingga membuat Melody menciut.
Raden menarik tangan Melody dengan kasar, lebih tepatnya menyeret.
Bruk! Tubuh Melody didorong Raden hingga tersungkur di depan perkumpulan laki-laki berpakaian urakan.
"Lunas!" ucap Raden. Lalu tanpa menunggu lama, ia langsung berbalik meninggalkan Melody yang ketakutan.
"Raden!" Melody berdiri, namun sayangnya salah satu dari para lelaki itu menarik tangannya.
"Eitss! Mau ke mana lo? Raden udah kasih diri lo buat gue. Jadi, jangan main-main!" ucap Jovan.
"Nggak mau! Lepasin!" Melody memberontak keras hingga dia terlepas dari lelaki itu dan ia segera melarikan diri.
Para lelaki yang tadinya sedang bersantai pun berbondong-bondong mengejar Melody atas perintah bos mereka.
Raden anjing! Batin Melody.
Ketika sudah di luar, Melody melihat motor Raden yang sudah menjauh dari tempat itu.
Jalanan sekitar cukup sepi, tidak ada ojek ataupun taksi yang bisa ia stop.
Melody terus berlari menyusuri jalan tersebut tanpa mau menoleh ke belakang. Dia bisa mendengar teriakan para lelaki itu menyuruhnya untuk berhenti, namun Melody menulikan telinganya.
Jika terus berlari, ia bisa kehabisan nafas. Tapi tidak ada cara lain, ingin melawan pun rasanya percuma.
Tak hilang akal, gadis itu mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Venda. Tangannya gemetar dan matanya berkaca-kaca saking takutnya. Seumur-umur, dia tak pernah membayangkan ada di posisi seperti ini.
"Hallo—"
"Nda, tolongin gue!" Suara Melody sedikit bergetar.
"Mel?! Lo kenapa?!"
"Tolongin gue pliss! Gue share lokasinya sekarang!"
Melody mematikan sambungannya dan beralih mengirimkan lokasinya saat ini pada Venda.
"Sialan!" geram Melody. Dia semakin mempercepat larinya, hingga ia menemukan sebuah warung kopi yang terdapat beberapa orang warga.
Seakan mendapat jackpot, mata yang tadinya berkaca-kaca kini langsung berbinar cerah.
"Pak! Tolongin saya!" seru Melody heboh. Dia segera menuju warung kopi tersebut dan bersembunyi di belakang bapak-bapak yang sedang berkumpul.
"Ada apa ini?" Seorang pria paruh baya pemilik warung kopi itu berdiri lantaran melihat Melody ketakutan. Dia menatap segerombolan lelaki yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Mereka nyulik saya, Pak." Melody berusaha mengatur nafasnya agar sedikit tenang. "Mereka orang jahat, telepon polisi aja Pak!"
Mendengar kata polisi, para lelaki tadi mulai ketakutan.
"Apa-apaan lo! Gak usah bawa-bawa polisi! Raden kalah taruhan, dan lo sebagai jaminannya. Jadi, di sini yang harusnya lo laporin ke polisi itu si Raden!"
"Tetap aja kalian jahat!" balas Melody tak kalah berteriak.
"Sudah sudah!" lerai salah satu pria paruh baya.
"Kalian—" Bapak tersebut menunjuk para laki-laki yang mengejar Melody tadi. "Pergi dari sini atau saya akan panggil warga yang lain untuk menyeret kalian ke kantor polisi?!"
Melody tersenyum miring, dia mengibaskan tangannya mengusir para lelaki tadi. Kalau sudah ada backingan, Melody berani. Tapi kalau sendirian, mana berani dia bertingkah konyol. Cupu memang.
"Urusan kita belum selesai!" Jovan menunjuk Melody dengan marah.
"Gak peduli, wlee!" ejek gadis manis itu.
Setelah komplotan itu pergi, Melody bisa bernafas lega. Ia menatap bapak-bapak di sana dengan senyum tulus.
"Makasih ya, Pak. Maaf kalau saya mengganggu." Melody membungkuk beberapa kali di hadapan bapak-bapak tersebut.
"Nggak apa-apa, Neng. Mereka emang sering bikin onar di sini. Lain kali hati-hati, ya."
Melody mengangguk. "Iya, Pak. Makasih sekali lagi.."
"Minum dulu, Nak." Pemilik warung kopi itu memberikan segelas air putih pada Melody dan Melody menerimanya dengan senang hati, tak lupa ia mengucapkan terimakasih.
Melody duduk di sana sebentar sambil memainkan ponselnya, lebih tepatnya membalas chat dari Venda yang sudah berangkat menjemputnya.
"Mau diantar pulang sekarang?" tawar si pemilik warkop.
"Dijemput teman saya, Pak," jawab Melody sembari tersenyum.
Si bapak mengangguk paham.
Tiba-tiba ponsel Melody berdering tanda telepon masuk.
"Kak Gian?!" bisiknya terkejut. Melody segera menjawabnya tanpa menunggu lama.
"Di mana?"
"Hah?" Melody menoleh ke sekelilingnya dan benar saja, dia mendapati Gian yang duduk di atas motornya berada di depan gang yang tak jauh dari warkop.
"Melody?"
"Aku di warkop. Dari sini aku bisa liat Kakak kok." Melody segera ke tengah jalan dan melambaikan tangannya pada Gian. Untung saja cowok itu cepat merespon.
"Gue ke sana."
Panggilan terputus. Melody tetap berdiri di sana sambil menunggu Gian menghampirinya.
"Bukannya Venda yang jemput gue?" gumamnya kebingungan.
Sedetik kemudian dia tersenyum malu. "Temen gue peka banget!"
bersambung...